Muktamar Yang Kurindu
Oleh: Abdul Muin Malilang
Bila tidak ada aral melintang, tiga puluh delapan hari lagi dari sekarang para loyalis matahari bersinar utama dua belas yang tersebar dari Sabang hingga Merauke akan membanjiri kota Surakarta. Selain melakukan runi akbar untuk mengobati kerinduan, karena Muktamar telah tertunda dua tahun karena covid. Perhelatan ini juga akan menentukan rumusan langkah-langkah strategis dalam bentuk program. Selain itu musyawwirin akan memilih tiga belas figur yang tepat mengemban Persyarikatan tingkat nasional, unyuk lima tahun ke depan.
Pagelaran musyawarah dengan siklus lima tahunan sebenarnya suatu biasa. Namun seiring dengan beragamnya perubahan dan perkembangan masyarakat serta peta politik yang masih fluktuatif serta hadirnya isu-isu strategis yang menuntut penyikapan, maka rmusyawarah kali ini memiliki nuansa lain yang agak berbeda dari yang sebelumnya. Setidaknya tiga hal yang menjadi perhatian kita sejak Muktamar hingga Musyran, yaitu :
Pertama, Penguatan ideologi dan kontrol pelaksanaan program. Seiring dengan perjalanan panjang Muhammadiyah yang telah bekerja keras untuk terciptanya sebuah tatanan masyarakat utama, yang diformulasikan dengan kalimat “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”, kiranya kita patut menahan sejenak rasa bangga. karena cukup banyak daftar rencana kerja yang belum terealisir. Dan bila tujuan organisasi yang digunakan sebagai alat ukur menilai keberhasilan, maka tampaknya kita masih memerlukan cukup banyak lagi untuk mewujudkan tujuan mulia tersebut. Betapa tidak, hanya sekedar mewakafkan waktu selama empat puluh delapan jam untuk bermusyawarah kita begitu enggan.
Kita sering menyaksikan suasana penutupan setiap musyawarah yang begitu lengang. Kursi-kursi kosong menjadi saksi bisu ditinggalkan sebagian musyawirin. Mungkin mereka beranggapan bahwa inti dari permusyawaratan adalah pemilihan pimpinan. Agenda lain hanya sunnah, termasuk pembahasan program menjadi nonor sekian setelah wisata dan berbelanja. Padahal kita telah dipercaya sebagai wakil warga Persyarikatan untuk mengikuti kegiatan tersebut. Lalu dimana letak keadaban kita dalam berorganisasi?
Berkenaan dengan gerak organisasi, ada pertanyaan yang mendasar sebagai bentuk muhasabah. Dalam usianya yang lebih dari satu abad Muhammamdiyah masih tertatih-tatih dalam geraknya dan belum mampu menyuguhkan tata kelola persyarikatan yang tertib secara organisasi dan administrasi. Hal ini dapat dilihat dengan kasat mata, LPCR telah terbentuk, tapi banyak Cabang apalagi Ranting yang tidak mempunyai kantor sebagai pusat perencanaan dan penataan gerakan, walaupun cabang atau ranting tersebut memiliki amal usaha yang cukup membanggakan.
Demikian pula, bila dibaca secara seksama segala hasil keputusan persyarikatan ini, pasti kita akan dibuat tertegun. Karena semua rumusan pasti bermuara pada keinginan luhur terwujudnya organaisasi yang baik serta pribadi muslim yang memiliki kadar keislaman tingkat tinggi. Namun realitas di lapangan belum menggembirakan. Peningkatan jumlah Amal Usaha Muhammadiyah, tidak berbanding lurus dengan jumlah pimpinan AUM yang sadar akan peran AUM yang dipimpinannya.
Demikian pula peningkatan secara kuantitatif kelembagaan seperti cabang dan ranting tidak serta merta dibarengi dengan bertambahnya manusia yang mau menjadi anggota persyarikatan ini. Dengan kata lain cabang dan ranting mekar, namun anggota stagnan. Bahkan banyak cabang dan ranting terbengkalai di tengah berjubelnya sarjana yang lahir dari rahim perguruan tinggi Muhammadiyah. Dengan ungkapan lain “Muhammamdiyah ramai di kala menikmati hidangan, tapi sepi di saat mencuci piring“. Maknanya, banyak yang aktif di amal usaha, tetapi sedikit yang berkiprah di persyarikatan. Ironi memang, tapi itulah fakta yang tidak bisa dibantah. Di sinilah tampaknya urgensi pengawalan pelaksanaan program hingga tingkat ranting. Tanpa usaha kontrol, mimpi kita untuk menjadikan organisasi ini menjadi modern seyogianya kita tahan sejenak.
Kedua, Muhammadiyah akan datang diharapkan dapat melakukan kajian ulang terhadap sistem perkaderan yang telah dikembangkan selama ini, baik materi maupun metodologi. Sistem yang baik pada masa silam mungkin belum tepat bila kita gunakan saat ini. Demikian pula materi harus disesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan dewasa ini. Kita masih melihat atau mendengar di beberapa tempat ada atau banyak warga kita melompat dan jatuh cinta pada ormas lain. Baitul Arqam atau Darul Arqam yang dilaksanakan perlu dikaji efektifitasnya pada peserta. Bahkan untuk sebuah kaifiyat ibadah mahdhah pun masih banyak ragam perbedaan di kalangan warga Persyarikatan. Tentunya peristiwa ini jangan hanya dilihat dari dari aspek tanawwu’ul ibadah (keragaman ibadah).
Terlebih lagi saat ini telah banyak dikembangkan model pendalaman ad-Dien al-Islam oleh ormas lain, maka tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali merumuskan sistem dan strategi perkaderan yang dapat menghidupkan ruh Islam pada setiap peserta. Bila hal ini tidak segera dilakukan, tidak mustahil banyak generasi muda kita yang terbius pada paham lain.
Ketiga, adalah persoalan kepemimpinan dalam Muhammadiyah. Di masa mendatang pimpinan persyarikatan di semua tingkat hendaknya memiliki daya tahan oleh tarikan atau kooptasi pihak eksternal. Walaupun tidak ada pimpinan ideal. Langgam dan gaya setiap pemimpin dapat berbeda dari waktu ke waktu. Namun hal yang tidak dapat ditawar, ialah pada setiap pimpinan Muhammadiyah wajib maujud sikat tafaqquh fiddiin, rendah hati, bijaksana, tegas, dan dapat menjadi payung bagi para pihak. Bila sikap-sikap itu hilang, maka akan meredup pamor Muhammadiyah sebagai “ konsultan spritual ” berbagai kalangan.
Kepemimpinan, khususnya ketua menjadi penting. Sebab, sekalipun Muhammadiyah menganut sistem kepemimpinan secara kolektif kolegial, namun warna dan corak ketua tidak dapat diabaikan dan dihindari. Tentu kita merasakan benar nuansa yang berbeda ketika Muhammadiyah dipimpin oleh figur yang berbeda dari masa ke masa.
Catatan pendek ini hanyalah bentuk kecintaan penulis kepada persyarikatan. Slogan dan tema besar Muktamar Memajukan Indonesia Mencerahkan Semesta akan berlalu tanpa arti, bila perhelatan ini tidak menghasilkan keputusan yang bernilai strategis dan memajukan, serta jauh dari substansial yang mencerahkan. Bangsa ini sangat merindukan dekapan hangat Muhammadiyah, untuk ikut serta memberikan sumbangsih mengurai kekusutan kehidupan bangsa di semua lini. Tapi mungkinkah kita mewujudkan tema itu, bila kita sendiri masih menjauh dari dari kemajuan dan kecerahan? Wallahu A’lam bish shawab
Abdul Muin Malilang, Ketua PDM Pemalang