Munu, Mursal dalam Pandangan Akar Rumput
Oleh : Yandi
Dalam sebuah kesempatan DR. Tafsir ketua PWM Jateng, menegaskan bahwa, fenomena Munu, Mursal, dan varian sejenisnya, adalah sebuah bentuk “kelebihan” Muhammadiyah. Tidak ada ormas yang memiliki irisan dengan kelompok Islam lain kecuali Muhammadiyah.
Munu adalah Muhammadiyah yang memiliki irisan dengan kelompok kultural. Disini Muhammadiyah bertemu dititik apresiasi budaya dengan NU. Dengan konsep dakwah kulturalnya, tidak ada gerakan puritan yg membahas tentang budaya kecuali Muhammadiyah, tegasnya.
Mursal, Muhammadiyah rasa salafy titik temunya ada pada pemurnian akidah, bendera yang diusung sama yaitu menghidupkan kembali sunnah.
Pertanyaannya sekarang adalah benarkah varian tersebut sebagai bentuk “kelebihan” Muhammadiyah atau justru bagian dari problematika yang dihadapi cabang dan ranting ?
Sebagai seorang akademisi terkesan DR. Tafsir, hanya mengambil “snapshot” dari permukaan, yang tidak menggambarkan situasi dan kondisi sesungguhnya, secara lebih utuh dan real, tentang dinamika cabang dan ranting sebagai basis jama’ah.
Pernyataan ini terkesan mengambang dan tidak beririsan dengan perjuangan susah payah di akar rumput dalam membina ideologi jamaah. Secara implisit cara pandang elit seperti ini menunjukan “kurang turba” , sehingga menciptakan gap antara pimpinan yg berada diatas dengan akar rumput dalam memahami persoalan dibawah.
Di akar rumput yang dibutuhkan adalah konsep yang simpel, sederhana, karena menyangkut hal yang praktis dan pragmatis. Tidak dibutuhkan pemikiran yang canggih dan rumit. Yang penting adalah apa yg telah direncanakan dan diprogramkan bisa terwujud dengan keterlibatan semua pimpinan dan anggota secara kolektif kolegial.
Para pimpinan berjibaku agar jamaah tetap padu, kompak dan solid. Pengajian rutin setiap pekan selain menjadi sarana bersilaturahmi, juga menjadi wadah untuk merawat, membina dan menjaga manhaj, dan ideologi Muhammadiyah.
Dibutuhkan kesabaran dan ketelatenan dalam membina jamaah. Bukan cuma sekedar pembinaan yg bersifat verbal belaka, yang sudah terjadwal, namun lebih dari itu yg dibutuhkan adalah engagement, serta kedekatan dan kehangatan hubungan interpersonal dengan jamaah. Yang sakit dijenguk, yang lama tidak hadir di pengajian disambangi.
Di grass root fenomena Munu, Mursal dan sejenisnya tidak dirasakan sebagai kelebihan atau keunggulan komparatif bernama “fleksibilitas”, sebagaimana dipahami elit. Dilihat dari terminologinya saja kedua varian tersebut sudah menunjukan “antinomi”, yang menegaskan bahwa didalamnya terdapat persoalan. Ada benturan dengan entitas lain baik dari perspektif manhaj, paham agama maupun ideologi.
Terutama Mursal, mereka adalah jamaah yg bermuhammadiyah secara “ekstrinsik”, kelompok ini berada di Muhammadiyah murni karena kepentingan pragmatis , mereka membawa ideologi lain diluar Muhammadiyah. Lahiriahnya ada di AUM dan mendapat gaji setiap bulan dari Muhammadiyah tapi tidak pernah mau hadir di pengajian Muhammadiyah. Setiap hari ikut shalat berjamaah di masjid dan mushala Muhammadiyah tapi mereka “kabur” saat acara pengajian Muhammadiyah dimulai, Itulah Mursal.
Jadi jelaslah corak Muhammadiyah yang “ekstrinsik” model begini sama sekali bukan merupakan bentuk kelebihan, tapi justru sebuah constraint yang menghambat kemajuan, dinamika dan gerak langkah cabang dan ranting.
Keberadaan mereka adalah sebuah “anomali” yang mendatangkan ketidaknyamanan, dishamoni dan friksi di akar rumput. Para pimpinan di basis jamaah, sama sekali tidak memiliki kepentingan dengan terma fleksibilitas sebagai konsep yang dipahami elit , karena yang dipikirkan adalah bagaimana memelihara dan menjaga soliditas.
Wallahu ‘ alam bishawab
Yandi, Aktivis Muhammadiyah Akar Rumput, ketua PCM Ciawi – Tasikmalaya