Oleh: Fokky Fuad Wasitaatmdja
(Dosen Program Magister Hukum, Universitas Al Azhar Indonesia)
Organisasi Persyarikatan Muhammadiyah yang didirikan KH Achmad Dachlan sebagai pemikir Islam modernis acapkali dianggap sebagai penentang tasawuf. Muhammadiyah seringkali dianggap sebagai kaum anti tasawuf, karena KH Achmad Dachlan tidak menjelaskan sama sekali pemikirannya karena beliau tidak menulis buku yang dapat difahami alur dan kerangka berfikirnya. Walau demikian jejak ide dan gagasan beliau tampak dari karya yang dihasilkannya berupa sebuah gerakan yang peduli terhadap sesama umat manusia yaitu Muhammadiyah.
Konsep Muhammadiyah hakikatnya sesuai dan sejalan dengan gagasan dan prinsip-prinsip tasawuf akhlaqi yang mengedepankan pada prinsip pembentukan akhlaq melalui perbuatan nyata. Gagasan modernitas Islam tampak pada sebuah prinsip Muhamamdiyah Berkemajuan meletakkan tasawuf dalam bentuk yang aktif, konstruktif, substantif dan aplikatif. Gerakan Muhammadiyah menujukkan sebuah ide pergerakan dan perjuangan kaum tariqah tasawuf yaitu demi terciptanya sebuah kesejahteraan umat manusia.
Gerakan Muhammadiyah berbuat seperti halnya sebuah gerakan tariqah tasawuf. Beberapa gerakan tariqah tasawuf seperti: Naqsbandiyah, Khalwatiyah, Syadzilliyah, Qadiriyah wa Naqsbandiyah terlibat aktif dalam usaha membangun nilai kemanusiaan melalui upaya pendidikan, balai-balai kesehatan dan pengobatan, serta menumbuhkan kesadaran cinta tanah air dalam berbangsa dan bernegara tanpa kehilangan jati diri sebagai bagian dari umat Islam yang berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Inilah gerakan tasawuf sosial, bahwa tasawuf tidak berarti menyendiri dan menjauhi kehidupan sosial. Tasawuf sosial menurut KH Sahal Mahfudz justru hadir di tengah kehidupan masyarakat sebagai solusi di bidang sosial kemasyarakatan (Republika, 2022).
Gerakan tasawuf bersendikan pada dua hal pokok, yaitu sikap ihsan dan akhlaq. Muhammadiyah seringkali dituduh sebagai gerakan anti tasawuf, untuk itu perlu dilihat sejauh mana nilai-nilai ihsan dan akhlaq itu tercermin dalam gagasan dan pemikiran para tokoh ulama Muhammadiyah untuk menunjukkan relasi tasawuf dalam tubuh gerakan Muhammadiyah. Dalam tulisan dibawah akan diulas pemikiran beberapa tokoh Muhamamdiyah yang menunjukkan karakter ihsan dan akhlaq sebagai fondasi tasawuf dalam tubuh Muhammadiyah.
Gagasan Tasawuf Para Ulama Muhammadiyah
K.H. Achmad Dachlan seorang pendiri organisasi Islam modernis terbesar di dunia, Muhamamdiyah, lahir Yogyakarta, 1 Agustus 1868. KH Achmad Dachlan tidak menulis buku seperti halnya saudaranya Hadaratussyaikh KH Hasyim Asyari (w.1947) yang menulis puluhan buku tentang fiqih dan tasawuf. KH Achmad Dachlan mengedepankan konsep pragmatisasi sufi. Beliau meletakkan ide dan gagasan sufistik dalam wilayah praksis. Gagasan pemikiran Achmad Dachlan tidak merujuk sama sekali pada ide dan pemikiran puritanisme Salafi-Wahabi di dalam seluruh gagasan dan kerja pembaruan sosial budaya yang beliau lakukan (Mu’thi, et.al, 2015: 70-71). Gerakan Muhammadiyah lebih terfokus pada penggunaan rasionalitas akal, modernisasi, serta memiliki hubungan yang intens dengan kebudayaan Jawa (Burhani, 2010: 95-96).
KH Achmad Dachlan walau tidak menjelaskan gagasan pemikirannya melalui buku tetapi beliau menjelaskan pemikirannya melalui tindakan aktif. KH Achmad Dachlan sejak awal tertarik dengan pemikiran-pemikiran Imam al-Ghazali. Bagi beliau gagasan Imam al-Ghazali bersifat reflektif ke dalam dan juga kritis terhadap permasalahan sosial, serta memberikan solusi yang nyata terhadap problematika masyarakat (Damami Zein, 2022; Mulkhan, 2003). Al-Ghazali mengungkapkan dalam bukunya Ihya Ulumuddin bahwa kebaikan sebuah akhlaq merupakan cermin dari sehatnya jiwa (al-Ghazali, 2012).
KH Achmad Dachlan menggunakan kata “hati yang suci”, “kesucian hati dan pikiran”, “akal pikiran yang suci” dalam memahami pelaksanaan ajaran Islam serta inti dari kesalehan syariat. Inilah yang menunjukkan adanya kesamaan pemikiran KH Achmad Dachlan dengan ajaran sufisme al-Ghazali dan membedakannya dengan Mu’tazilah (Mulkhan, 2003). Pemikiran Imam al-Ghazali ini tampaknya merupakan ide dasar yang melandasi bagaimana Muhammadiyah menjadikan organisasi yang dipimpinnya berkembang ke arah kemajuan, karena al-Ghazali yang membuahkan ide kritis dan solutif terhadap permasalahan umat. Pemikiran tersebut sekaligus menjadi bantahan bahwa Al-Ghazali dituding sebagai penyebab kemunduran umat Islam.
Gagasan serta praktik tasawuf dalam tubuh Organisasi Persyarikatan Muhammadiyah bukan hal yang baru. Perilaku kesufian yang dijalankan oleh ulama-ulama Muhammadiyah tidak terlembagakan dalam organisasi tariqah, tetapi ia bersifat substantif membentuk sikap dan perilaku manusia. Otensitas perilaku tasawuf dalam tubuh Muhammadiyah terdapat dalam ide Ma’rifat ‘ala Minhajul Muhammadiyah. Bukan seberapa banyak wirid yang dilantunkan melainkan lebih pada buah tasawuf yang melembaga dalam perilaku tasawuf otentik para ulama Muhammadiyah (Yusuf, 2021).
Semboyan klasik Muhamamdiyah yang diucapkan oleh KH Achmad Dachlan dengan: “Hidup-hidupkanlah Muhammadiyah jangan mencari hidup di Muhammadiyah” sangat berkarakter tasawuf dengan intinya pada pengorbanan diri untuk kepentingan umat manusia. Pengorbanan KH Achmad Dachlan yang melelang harta bendanya untuk membayar gaji para guru Sekolah Muhammadiyah hingga terkumpul 4000 Gulden (Sukriyanto, 2020). Tindakan ini menunjukkan sebuah karakter perilaku tasawuf, sebuah tindakan mengorbankan diri untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia. Tindakan inilah yang menurut al-Ghazali adalah sebuah perilaku mujahaddah atau perjuangan mewujudkan cita-cita meninggalkan syahwat dan keinginan duniawi (al-Ghazali, 2012: 219).
Buya Hamka sebagai ulama besar Muhammadiyah dalam buku Tasawuf Moderen yang menjelaskan pemikiran yang mendalam tentang tasawuf. Beliau melakukan kritik konstruktif terhadap perilaku manusia yang diperbudak oleh harta. Ia lebih sayang kepada hartanya dibandingkan agamanya. Semangat tasawuf dalam Islam adalah semangat berjuang, berkurban, dan bekerja. Bukan semangat yang malas, lemah, dan melempem (Masrur, 2019). Tasawuf di mata Buya Hamka adalah tasawuf dalam tindakan dan perilaku yang diwujudkan dalam perilaku yang konkrit membentuk akhlaq umat. Hal ini sesuai pula dengan gagasan tasawuf yang dikembangkan oleh KH. A.R. Fakhruddin.
- A.R. Fachrudin (w.1995) sebagai tokoh sekaligus Ketua Umum PP Muhammadiyah 1968-1990 menjelaskan bahwa tasawuf adalah orang yang hidup atas kehendak Allah. Kaya, sehat, sakit, kesemua itu adalah kehendak Allah menjadi pakaian bagi orang yang hidup. Bila sedang miskin janganlah bingung, banyak yang miskin tetapi hatinya tetap tabah dan yakin akan adanya pertolongan Allah. Ia bekerja, berikhtiar, dan rezeki yang datang tidak dapat seorangpun yang menolaknya. Orang yang menerima nikmat hendaknya ia bersyukur dan menjadikan anak dan isterinya lupa kepada Allah. Pak AR lebih menekankan pada buah tasawuf yaitu mendekatkan diri pada Allah dalam berbagai keadaan (Rohimah, 2017).
- AR Fachrudin mengemukakan secara nyata konsep tasawuf akhlaqi dalam berperilaku dan berMuhammadiyah. Sebagai ulama Muhammadiyah beliau mengembangkan konsep penerimaan dan kesabaran yang dibalut oleh sebuah ikhtiar manusia. Pemikiran ini mirip dengan bentuk tasawuf akhlaqi yang dikembangkan oleh Imam al-Ghazali yang menekankan pada perilaku etik manusia dalam berhubungan dengan Allah Ta’ala dan dengan sesama manusia.
Pemikiran tentang relasi Tuhan dan manusia dalam pendekatan filsafat eksistensialisme dan tasawuf juga bukan hal yang asing. KH. Syamsul Anwar selaku Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah mengemukakan bahwa Muhammadiyah berkeyakinan pada konsep wujud memiliki dua bentuk, yaitu: wujudul mutlaq dan wujudul khalqi. Wujudul mutlaq adalah Allah sebagai sebuah Zat Maha Mutlak, sedangkan wujudul khalqi adalah wujud manusia dan semua makhluk sebagai ciptaan Allah. Dalam pandangan Muhammadiyah dalam dua bentuk wujud ini, yang terutama adalah aksiologi dari konsep wujud ini. Bagi ulama Muhammadiyah dunia sebagai bagian wujudul khalqi adalah penting sebagai tempat manusia sebagai khalifah untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik (Anwar, 2021).
Konsep epistemologis eksistensialisme di atas dengan menempatkan kosmologi dua wujud, menunjukkan bahwa bentuk tasawuf Muhammadiyah berbeda dengan konsep wahdatul wujud yang mengedepankan kosmologi satu wujud yang dikembangkan oleh Ibn Arabi. Konsep dua wujud ini umum dikembangkan dalam gagasan tasawuf sunni syariah atau tasawuf akhlaqi yang melihat relasi kosmologi dua wujud, dan lebih mengedepankan proses pembentukan akhlaq manusia. Pembentukan akhlaq dengan mengutamakan kepedulian terhadap sesama manusia melalui gerak aktif dan kepedulian lebih dikembangkan di dalam konsep bertasawuf para ulama Muhammadiyah dibandingkan dengan pembentukan konsep-konsep yang berkarakter teologis seperti yang dianut oleh kelompok tasawuf falsafi pada umumnya.
Salah satu tokoh tasawuf akhlaqi konstruktif Muhammadiyah adalah Buya Syafii Ma’arif (w.2022). Gagasan Buya Syafii Maarif melihat pada beragam permasalahan bangsa yang dihadapi: semakin massifnya korupsi sehingga perlu digencarkannya anti korupsi hingga gerakan anti politisi busuk. Buya Syafii menjelaskan bahwa gerakan intelektualisme Islam sebagai fondasi masa depan Islam Indonesia akan bergantung pada berhasil tidaknya umat Islam merumuskan hukum syariah yang sesuai dengan kondisi masyarakat Islam Kontemporer di Indonesia. Perlu ada bingkai kerja intelektual yang kukuh, prinsip-prinsip moral dan etik al-Qur’an diformulasikan dengan penuh makna dan sistematis (Nassar, 2022).
Pemikiran konstruktif Buya Syafii Maarif tersebut menunjukkan sebuah pemikiran pembentukan akhlaq umat yang bersih dari perilaku koruptif. Beliau mendorong umat Islam memiliki peran penting dalam membentuk sebuah ruang hidup yang lebih beradab. Problematika bangsa Indonesia dari maraknya pelaku korupsi hingga politisi busuk di tengah masyarakat kontemporer ini menuntut kerja umat dengan mendayagunakan segenap kemampuan intelektualnya secara etis. Menggunakan nilai-nilai moralitas etik al-Qur’an yang telah diformulasikan untuk menghadapi segenap tantangan problematika bangsa. Disinilah konsep tasawuf akhlaqi dikembangkan secara sistematis oleh Buya Syafi’i untuk dapat dijalankan secara operasional guna menghadapi berbagai tantangan Bangsa. Buya Syafi’i yang begitu tegas dan istiqomah dalam menjaga akhlaq bangsa menjadikan KH Mustofa Bisri menyebut Buya Syafi’i sebagai waliyun min auliya Illah atau wali dari wali-wali Allah (muhammadiyah.or.id, 2022).
Konklusi
Tasawuf dalam gagasan dan pemikiran Ulama Muhammadiyah tidak dilakukan seperti halnya tasawuf pada umumnya yang ketat melalui gerakan tariqah. Walau bagaimanapun juga konsep tasawuf Muhammadiyah seperti halnya kelompok tasawuf dan tariqah lainnya memiliki kesamaan, yaitu berpegang pada nilai-nilai Ihsan dalam pembentukan akhlaq, sebagaimana hadits Rasulullah Saw:
”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim).
Gerakan tasawuf Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan tasawuf sosial akhlaqi mendampingi gerakan tariqah tasawuf lainnya yang mengajarkan tasawuf melalui perubahan akhlaq, adalah sikap tindak serta perilaku seperti yang dicontohkan oleh KH Achmad Dachlan, Buya Hamka, hingga Buya Syafi’i Ma’arif. Tasawuf sosial dan akhlaqi Muhammadiyah meletakkan dasarnya pada prinsip berkemajuan, sebuah konsep tasawuf yang melihat dan peduli terhadap penderitaan sesama umat manusia, mempersiapkan umat menghadapi tantangan masa depan. Hal ini sejalan dengan konsep para ulama tasawuf yang selalu berperan dan menjadi solusi bagi problematika umat manusia.