In Memoriam : Prof. Dr. (H.C.) Drs. H. Abdul Malik Fadjar, M.Sc.
Mochlasin Sofyan
Saat kumandang adzan memanggil umat Islam untuk menunaikan shalat isya, saat itu juga Allah memanggil salah satu hamba yang saleh, Prof Malik begitu orang sering menyapanya. Hari Senin 7 September seakan menjadi isyarat keringnya salah satu mata air kearifan bangsa. Beliau pulang dengan usia yang sangat senja untuk ukuran saat ini, 81 tahun. Seakan Allah memberi kesempatan agar mata air kearifan itu bisa mengalir sampai jauh tidak hanya di Muhammadiyah, tapi juga bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Saya tentu bukan apa-apanya dengan Prof. Malik dan tidak pernah mengenal secara langsung. Pepatah Arab mengatakan, kalau ingin tahu tentang kepribadian maka sal qarinahu (Tanya orang terdekat). Alhamdulillah saya punya kesempatan untuk itu. Tulisan ini hanya mengungkap memori terpendam sebagai rasa terima kasih atas segala jasa-jasa beliau.
Tahun 1999, saat beliau menjadi Menteri Agama RI saya adalah satu mahasiswa yang diuntungkan dengan kebijakan beasiswa S2. Selesai S1 bertepatan era reformasi tahun 1998, tentu bagi fresh graduate harus cepat dan tepat untuk mengambil keputusan. Pada saat kondisi keuangan tidak menentu, sampailah informasi tentang beasiswa Pascasarja IAIN Suanan Kalijaga Yogyakarta sebanyak 40 orang. Seingat saya, kini semua lulusan program tersebut telah sukses menjadi PNS yang mayoritas adalah dosen. Beberapa orang sudah menduduki jabatan dekan, wadek bahkan ada yang sudah profesor.
Sekitar tahun 2003, saya sempat dikenalkan (taaruf) dengan salah satu keponakan beliau putri dosen IAIN Sunan Kalijaga. Sebut saja, namanya bunga yang ternyata takdir tidak menjodohkan kami berdua. Tentu di sini saya tidak akan bercerita tentang kisah kasih yang tak sampai. Dalam obrolan santai tapi agak grogi, saya mencoba mengajukan pertanyaan, kenapa Anda tidak ke Pak Dhe saja untuk minta diterima jadi PNS.
Mbak Bunga cerita, meskipun Pak Dhe menduduki posisi penting tetapi beliau profesional dan menghindari nepotisme. Sungguh jawaban yang sangat langka di zaman ini yang kental dengan nuansa hedonis dan materialistis. Integritasnya menjadikannya pribadi yang seharusnya dicontoh bagi tiga kementerian yang pernah dinakhkodainya, yaitu Kemenag, Mendiknas dan Menko Kesra.
Membicarakan Prof. Malik, saya teringat tentang pribadi lain yang langka di zaman modern ini. Beliau adalah alm. KH AR Fachrudin ketua Umum PP Muhammadiyah selama hampir 30 tahun yang tidak memiliki rumah sampai akhir hayat. Kedua pribadi tersebut sosok bersahaja, tidak memanfaatkan kedudukan untuk pribadi dan keluarga serta kolega. Cintanya terhadap amanah lebih besar dari kepentingan lainnya.
Kalau dirunut sanat keduanya, tentu akan bermuara pada sang Mahaguru, KH Ahnad Dahlan. Tidak berlebihan kiranya menempatkan keduanya sebagai pengamal sejati tasawuf modern, meminjam istilah Buya Hamka. Tasawuf modern mengajarkan bahwa keberadaan Tuhan di luar dan terpisah dari makhluk tetapi sekaligus terdekat dalam hati (qalb). Beliau menempatkan Tuhan tidak hanya sembahan semata, tetapi memancar dalam tindakan nyata.
Maqam-maqam tasawuf klasik yaitu mulai dari taubat, wara’, sabar, faqir, zuhud, tawakal, mahabbah, ma’rifah dan ridha telah mewujud pada pribadi Prof. Malik dalam tindakan positif. Perspektif tasawuf modern, tindakan posisitif membentuk etos kerja tinggi dan akhlak karimah (etika). Sikapnya beliau sejak jadi guru agama di daerah pedalaman NTB sampai menjadi Wantimpres tetap konsisten yaitu semangat, rendah hati dan bersahaja. Salah satu buah produktivitasnya, Universitas Muhammadiyah Malang yang sangat terkenal itu. Kepribadiannya telah menunjukkan, bahwa maqam ridha sebuah capaian tersulit dalam tasawuf telah disinggahi.
Sugeng tindhak Prof. Malik, Allah tentu sudah sangat merindukan panjenengan… karena panjenengan sudah ridha jauh sebelum ajal menjemput. Semoga jejak langkah panjenengan menginspirasi bagi warga Muhammadiyah dan bangsa Indonesia.
Mochlasin Sofyan, Penerima beasiswa S2 Kemenag 1999, Dosen FEBI IAIN Salatiga