SURAKARTA, Suara Muhammadiyah – Di tengah masyarakat yang diwarnai dinamika perbedaan paham yang terkadang meruncing, maka dibutuhkan pemahaman keagamaan yang lebih moderat. Media merupakan lembaga yang sangat strategis sebagai instrumen untuk membangun pemahaman yang baik tentang agama. Diharapkan media tidak tersusupi paham radikan sehingga menyampaikan konten-konten yang tidak baik bagi masyarakat.
Pandangan tersebut disampaikan Kepala Balitbang Kementerian Agama Republik Indonesia, Suyitno, saat memberikan sambutan pada kegiatan “Diskusi Publik Moderasi Bergama: Urgensi Syiar Moderasi dalam Bingkai Kerukunan Beragama di Media Massa” yang diselenggarakan Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama RI bekerjasama dengan Lembaga Uji Kompetensi Wartawan (LUKW) UMJ dan FKI Universitas Muhammadiyah Surakarta pada Senin (14/11/2022).
Kegiatan yang juga dihadiri oleh pengurus LUKW UMJ, pengurus Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah dan Direktur TVMU ini mendatangkan peserta dari puluhan media afiliasi Muhammadiyah dari beberapa Provinsi di Indonesia.
Menurut Asep Setiawan, sebagai perwakilan LUKW UMJ, media harus dapat menyampaikan informasi secara benar, clear dan tidak mengandung fitnah. “Walaupun pada zaman Rasulullah tidak ada media, namun apa yang dilakukannya yaitu penyebaran informasi pada saat itu selalu dilakukan secara benar dan akurat,” ujarnya. Sehingga apa yang terjadi pada ummat Islam pada saat itu tidak dikacaukan oleh informasi yang tidak benar yang menyebabkan perpecahan.
Secara program, moderasi beragama menurut Staft Balitbang Kemenag RI Haris Burhani, hingga saat ini lebih menyasar lembaga-lembaga seperti Ormas keagamaan, namun ke depan akan diarahkan kepada penguatan moderasi di kalangan media. “Ini sangat penting agar moderasi lebih menyebar lagi dan media lebih moderat, sehingga tahun depan diharapkan program moderasi bisa menyasar media,” ungkapnya.
Sedangkan Diirektur TVMU dan dosen Komunikasi UMJ Makroen Sanjaya membeberkan data dimana ada arus yang kuat dari aliran atau idiologi tertentu yang sangat aktif dalam menggarap media tetapi cenderung kontra moderasi. “Ini adalah fakta dan saya punya datanya, keaktifan ideologi anti moderasi sangat kuat dan mereka sangat solid termasuk dalam mengelola media,” jelasnya. Sehingga yang harus dilakukan oleh pemerintah menurut Makroen yaitu harus menindak media-mediia yang membahayakan ideologi bangsa ini termasuk yang merusak moderasi.
Senada dengan Makroen, Wakil Ketua MPI PP Muhammadiyah Roni Tabroni juga memastikan bahwa sudah banyak temuan dimana media khususnya Lembaga Penyiaran seperti di Jawa Barat yang tidak moderat. Ada beberapa fakta media anti moderasi seperti tidak menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, menolak narasumber perempuan, mempersoalkan ideologi Pancasilan dan Demokrasi, hingga kampanye khilafah. “Dalam kondisi seperti ini, negara harus memperjelas keberpihakannya, selain menindak yang tidak moderat dan membahayakan NKRI, juga harus mendukung dan memberikan support kepada media-media yang semala ini mengkampanyekan moderasi, selalu mengedukasi dan mencerahkan ummat. (Riz)