Menyingkat Nama (Shalawat) Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan Kata SAW

Mahallul-Qiyam rasulullah

Foto Dok Ilustrasi

Menyingkat Nama (Shalawat) Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan Kata SAW

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Izin bertanya. Saya Achmad Zamroni dari Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Apakah boleh kita menyingkat nama Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam cukup dengan Nabi Muhammad SAW dalam penulisan? Termasuk juga Allah Subhanahu wa Ta‘ala disingkat dengan Allah SWT? Terima kasih.

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Achmad Zamroni (Disidangkan pada Jum’at, 4 Muharam 1443 H/13 Agustus 2021 M)

Jawaban:

Wa ‘alaikumus-salam wr.wb.

Sebelumnya, kami ucapkan terima kasih kepada bapak Achmad Zamroni atas pertanyaannya. Sebagaimana yang diketahui,  shalawat dan salam kepada Nabi saw adalah tindakan yang terpuji dan dengan demikian diperintahkan kepada setiap muslim. Hal ini sesuai dengan firman Allah, surah al-Ahzab (33): 56,

اِنَّ اللهَ وَمَلٰىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya berselawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.

Kaitannya dengan ayat ini, ath-Thabari dalam tafsirnya menjelaskan bahwa bentuk  shalawat dan salam Allah kepada Nabi Muhammad adalah dengan memberikan rahmat dan ampunan. Sementara bentuk  shalawat dan salam dari malaikat, adalah doa kepada Nabi saw. Hakikatnya, manusia berada pada posisi malaikat dalam hal ini, dengan kata lain,  shalawat dan salam yang diperintahkan kepada kita, adalah bagian dari doa.

Untuk lafal  shalawat dan salamnya sendiri, Imam ath-Thabari menukil beberapa hadis, di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan dari Ka’ab bin ‘Ujrah,

عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَهِ، أَمَّا السَّلاَمُ عَلَيْكَ فَقَدْ عَرَفْنَاهُ، فَكَيْفَ الصَّلاَةُ عَلَيْكَ؟ قَالَ: قُولُوا: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ [ص:121]، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

Dari Ka’ab bin ‘Ujrah (diriwayatkan), ditanyakan kepada Nabi, Ya Rasulullah, terkait dengan perintah ber shalawat salam kepada engkau, telah kami ketahui, lalu bagaimana (lafal)  shalawat untuk Engkau? Nabi menjawab, ucapkanlah oleh kalian, allahumma shalli ‘alaa Muhammad wa ‘ala aali Muhammad, kama shallaita ‘ala Aali Ibrahim innaka hamidun majid, allahumma barik ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad kama barakta ‘ala ali Ibrahim innaka hamidun majid

(Ya Allah berikanlah  shalawat kepada Muhammad dan atas keluarga Muhammad sebagaimana  shalawat yang engkau berikan kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau adalah Zat yang Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana keberkahan yang Engkau berikan kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau adalah Zat yang Maha Terpuji lagi Mulia).

Adapun as-Sa’di menyebutkan, ayat di atas menunjukkan tingginya derajat dan mulianya posisi Nabi di sisi Allah dan di sisi seluruh makhluk (raf‘atu darajatih wa ‘uluw manzilatihi ‘inda Allah wa khalqihi). Dengan begitu,  shalawat dan salam yang diucapkan oleh manusia kepada Nabi saw hakikatnya adalah bentuk pengakuan atas kehormatan dan kemuliaan beliau. Itulah kenapa hal ini disyariatkan di setiap waktu (masyru‘un fi jami’ al-awqat), utamanya ketika mendengarkan atau membaca nama Nabi Muhammad.

Dalam kebiasaan masyarakat muslim di Indonesia,  shalawat kepada Nabi saw diungkapkan dengan beberapa variasi, di antaranya: shallallahu ‘ala Muhammad wa sallam; allahumma shalli ‘ala Muhammad; allahumma shalli wa sallim ‘alaih; shallallahu alaihi wa sallam, dan beberapa variasi lainnya. Hal yang kemudian menjadi pertanyaan, seperti yang ditanyakan bapak, adalah bolehkah menyingkat lafal  shalawat tersebut sebagaimana sering ditemukan dalam tulisan, baik tulisan lepas maupun tulisan ilmiah?

Beberapa ulama kontemporer telah memberikan pendapat mengenai hal ini. Seperti Abdullah bin Baz, ia menyatakan ketidakbolehan menyingkat  shalawat kepada Nabi dan bentuk ketidakbolehan ini dalam timbangan hukum fikih minimal berada pada sangat dimakruhkan (fa aqallu aḥwālihi al-karahah at-tasydid) [https://binbaz.org.sa/fatwas/]. Sepenulusuran kami, kelompok ulama yang tidak memperbolehkan tersebut berargumentasi dengan menukil pendapat Ibn Shalah dalam Muqaddimah Ibn Shalah. Lebih jelas pendapat itu berada pada bagian ke-dua puluh lima: Fi Kitabah al-Hadis, wa Kaifiyyati Dhabth al-Kitab wa Taqyidihi.

Pada bagian tersebut, Ibn Shalah menyebutkan bahwa hendaknya untuk senantiasa bagi para penulis hadis mempertahankan penulisan  shalawat dan salam kepada Nabi setiap kali menyebutkan beliau (yanbagi lahu an yuhafizha ‘ala kitbah ash-shalah wa al-taslim ‘ala rasulillah -shallallahu ‘alaihi wa sallama- ‘inda dzikrihi). Pada tempat yang lain, Ibn Shalah juga menyatakan dua hal yang harus dihindari. Pertama, menuliskan  shalawat dengan menggunakan simbol dua huruf (an yaktubaha manqushah shurah ramizan ilaiha bi harfaini). Kedua, menyingkat  shalawat yang menyebabkan maknanya kurang, seperti hanya menuliskan  shalawat tanpa salam (an yaktubaha manqushah ma’na bi an laa yaktuba wa sallama).

Namun demikian, pendapat Ibn Shalah ini sejatinya bisa dilihat dengan cara pandang yang berbeda dengan mencermati keseluruhan dari apa yang ia jelaskan. Sebab jika melihat secara komprehensif, dapat disimpulkan bahwa semangat ketidakbolehan tersebut adalah agar orang tetap memperhatikan perintah  shalawat sehingga tetap mendapatkan keutamaan-keutamaannya, khususnya bagi para pencari hadis.

Kesimpulan ini bisa dilihat dari beberapa alasan. Pertama, ketidakbolehan menyingkat  shalawat tidak didasarkan pada nas sharih. Baik itu Al-Qur’an maupun Hadis. Ibn Shalah sendiri yang menyatakan bahwa ketidaklayakan menyingkat  shalawat kepada Nabi ini didasari oleh mimpi-mimpi orang saleh (qad ruwwinaa li ahli dzalika manamat shalihah). Sementara dalam Manhaj Tarjih, mimpi orang saleh tidaklah dapat menjadi dalil primer. Untuk menetapkan hukum akan sesuatu, ia harus dibarengi dengan dalil yang jelas dari al-Quran dan Hadis.

Kedua, Ibn Shalah sendiri menyatakan bahwa terdapat pula para ulama yang menyingkat salawat, bahkan tidak menyebutkannya ketika menulis nama Nabi saw. Seperti Ahmad bin Hanbal yang tidak menuliskan lafal  shalawat itu karena khawatir dianggap bagian dari matan hadis (wa maa wujida fi khatthi Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal -radhiyallahu ‘anhu- min igfal dzalika ‘inda dzikri ismi an-Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallama, fa la‘alla sababahu annahu kaana yara al-taqayyud fi dzalika birriwayah). Fakta sejarah ini menunjukkan bahwa penyingkatan yang dilakukan oleh Imam Ahmad bukanlah sebuah ketercelaan karena memiliki alasan. Seandainya larangan itu bersifat mutlak, maka tentu ulama sekelas imam Ahmad tidak akan melakukannya.

Ketiga, Ibn Shalah sendiri juga menyatakan alasan baiknya selalu menuliskan  shalawat kepada Nabi secara lengkap, karena di dalam penyebutan  shalawat terdapat faidah yang besar bagi para pencari hadis sehingga ditakutkan orang yang lalai tidak menuliskannya, akan terhalang untuk mendapatkan manfaat yang besar itu (fa inna dzalika min akbar al-fawaid allati yata‘ajjaluha thalabah al-hadis wa kitabatuhu, wa man agfala dzalika hurima hazzan ‘azhiman).

Beberapa aspek inilah yang kiranya menjadi pertimbangan dalam menempatkan ketidakbolehan dari Ibn Shalah di mana dalam pencermatan kami, ketidakbolehan tersebut tidak berada pada keharaman atau pun kemakruhan mutlak, melainkan disebabkan oleh sesuatu.

Dengan demikian, maka menilai penyingkatan  shalawat haruslah melihat motif yang mendasarinya. Jika motifnya memang dalam rangka merendahkan atau tidak mengakui kemuliaan Nabi saw maka hal itu yang masuk dalam kategori tidak diperbolehkan. Lain halnya jika apabila penyingkatan itu tidak memiliki motif negatif, tetapi hanya agar memudahkan di dalam menulis atau memang mengikuti ketentuan penulisan ilmiah yang berlaku tanpa ada unsur merendahkan Nabi saw, seperti pada ketentuan tulisan-tulisan ilmiah di Indonesia yang menggunakan singkatan saw.

Penyingkatan  shalawat dengan motif seperti ini bukanlah sesuatu yang dilarang dan menjadi penghalang mendapatkan keutamaan salawat. Kaitannya dengan ini, dapat dilihat pada al-Quran dan Terjemahnya versi penyempurnaan yang diterbitkan oleh Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama). Dalam cetakan terbaru 2019 disebutkan, bahkan kata Nabi Muhammad tidak lagi dituliskan kata “saw” di belakangnya. Tentu ini tidak bisa disebut sebagai bentuk pelecehan dan tidak menghormati Nabi, tapi hanya persoalan teknis penulisan semata.

Adapun kekhawatiran tidak bersalawatnya seseorang apabila terjadi penyingkatan itu, sebenarnya jika dicermati adalah hal yang kemungkinan kecil terjadi -jika tidak dikatakan mustahil. Sebab secara kultural, semua orang sudah mengetahui bahwa istilah “saw” adalah singkatan dari  shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad. Sehingga, ketika menemukan kata tersebut, maka hal yang justru sangat mungkin adalah tidak membacanya secara tekstual saw, tetapi akan membaca kepanjangan dari itu, baik secara keras maupun di dalam hati. Hal ini pun dibuktikan dengan tidak adanya seseorang yang menyebutkan nama Nabi Muhammad lalu dibarengi dengan mengucapkan “saw” karena terpengaruh dengan singkatan yang tertulis itu.

Dari semua keterangan di atas, kami dapat menyimpulkan bahwa menyebutkan dan menuliskan kalimat  shalawat dan salam secara lengkap adalah hal yang dianjurkan dalam rangka memenuhi perintah Allah dalam surah al-Ahzab (33): 56 dan agar mendapatkan manfaat bersawalat sebagaimana yang termuat di dalam banyak keterangan hadis. Adapun menuliskan  shalawat tersebut dengan singkatan tidak menjadi masalah selama memang ada keperluan yang dibenarkan untuk itu dan selama tidak menjurus kepada penghinaan dan tindakan merendahkan kemuliaan Nabi Muhammad saw. Hal ini juga berlaku pada penyingkatan nama Allah Subhanahu wa Ta‘ala menjadi Allah swt.

Demikian jawaban dari kami, semoga mencerahkan.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 14 Tahun 2022

Exit mobile version