Demokrasi yang Melampaui Batas Duniawi
Oleh: Agusliadi Massere*
Sudah dua kali, dengan dua sekolah yang berbeda, saya hadir berbagi ilmu sebagai narasumber. Sekolah tersebut adalah SMA Negeri 1 Bantaeng, dan SMA Negeri 2 Bantaeng. Kegiatannya adalah Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Pelaksana atau pihak sekolah mengamanahkan kepada saya, “Suara Demokrasi” sebagai judul materi yang harus diupayakan untuk diinternalisasi ke dalam diri para pelajar.
Dalam menyiapkan bahan/materi, saya berjalan menelusuri rimba referensi di antara tumpukan ribuan buku yang menghiasi koleksi pustaka pribadi di rumah, yang bernama “Cahaya Inspirasi”. Di balik perjalanan dalam rimba tersebut, ada hal menarik yang saya temukan sehingga terinspirasi untuk merumuskan judul tulisan ini dengan “Demokrasi yang Melampaui Batas Duniawi”.
Sebelum memulai tulisan ini, saya sudah menyiapkan diri ketika ada pembaca yang mengkritik, menggugat bahkan menghujat sekalipun, ketika hanya membaca judul dan tidak membaca tuntas tulisan ini. “Bagaimana mungkin bisa ditarik garis relasinya, demokrasi sebagai produk pemikiran manusia yang ruang mekanisme kerjanya berada dalam realitas kehidupan duniawi, kemudian diarahkan ke ranah yang seakan mengalami proses transendensi”, kira-kira kurang lebih seperti ini kemungkinan gugatan yang anak panahnya diarahkan pada diri ini sebagai penulis.
Kesiapan saya bukan hanya sebatas modal psikologis, di mana salah satunya, ada yang lazim dikenal dengan memutus “saraf malu dan/atau marah”. Saya pun menyiapkan argumentasi yang selogis mungkin, berbasis pandangan dan referensi yang bisa dipertanggungjawabkan. Minimal ini.
Sebagaimana yang saya kutip dari Umi Salamah, dkk. dalam buku karyanya Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi” (2017), bahkan telah kita ketahui bersama, bahwa “demokrasi berasal dari kata Yunani, yaitu ‘demos’ yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat, dan ‘cratein atau cratos’ yang berarti kekuasaan atau kedaulatan”. Secara terminologi sebagaimana dikutip Umi Salamah, dkk. dari Abraham Lincoln—dan bagi saya, ini yang paling populer—“Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.
Dalam perjalanan sejarahnya, demokrasi pernah dipandang sebagai sistem yang rapuh, bahkan sempat tenggelam pada abad pertengahan. Namun, seiring berjalannya waktu dengan berbagai momentum yang melatarinya,—seperti gerakan renaissance (pencerahan) dan reformasi (sebagai gerakan revolusi agama di Eropa pada abad ke-16)—demokrasi kembali bangkit dan hingga kini banyak negara-negara di dunia yang menerapkan sebagai sistem pemerintahannya, tanpa kecuali di Indonesia.
Jika pun demokrasi, masih ada yang menilainya buruk, bagi saya masih bisa dinilai “yang terbaik di antara yang buruk”. Dari Umi Salamah, dkk., kita bisa memahami bahwa demokrasi lahir sebagai antisipasi dari pemerintahan diktator yang otoriter yang membawa dampak buruk bagi rakyat, yaitu penindasan dan eksploitasi terhadap rakyat, selalu mengorbankan rakyat di atas penguasa, dan kesejahteraan hanya untuk penguasa.
Di Indonesia, dinamika perjalanan demokrasi pun sangat dinamis. Pernah suatu ketika dalam perjalanan sejarah Indonesia, yang berlangsung disebut Demokrasi Parlementer, termasuk pula ada yang disebut dengan Demokrasi Terpimpin. Di era Soeharto disebut Demokrasi Pancasila. Kini, banyak yang menyebutnya bahwa kita sedang menerapkan Demokrasi Liberal, yang pada pada masa Soekarno, khususnya tahun 1950-1959, Demokrasi Liberal ini dikenal pula dengan Demokrasi Parlementer, yang tentunya konteks dan penerapannya berbeda.
Dinamika perjanalan demokrasi yang sangat dinamis tersebut dalam konteks kehidupan Indonesia, terasa masih perlu pembenahan di sana-sini. Apa yang menjadi harapan, cita-cita, dan tujuan nasional, begitupun nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, belum sepenuhnya bisa tercapai dan diterapkan. Banyak yang menduga dan saya sepakat, bahwa capaian luar biasa proses demokratisasi kita di Indonesia masih sebatas demokrasi-prosedural. Belum maksimal menyentuh demokrasi-substansial.
Dalam konteks permasalahan dan harapan yang terakhir inilah, sehingga saya ketika menemukan insprasi judul tersebut di atas, sangat tertarik dan berniat untuk segera menuntaskan tulisannya, meskipun pada kenyataannya terlambat juga selesai karena kesibukan dan kewajiban di kantor. Namun sebelumnya, saya menjelaskan bahwa inspirasi ini ditemukan dari untaian penegasan Umi Salamah, dkk., terkait pengertian demokrasi dalam konteks Indonesia.
Dari dirinya (baca: Umi Salamah, dkk.) kita bisa memahamai bahwa pengertian demokrasi dalam konteks Indonesia bukan hanya sesuai dengan pemaknaan sila ke-4 Pancasila. Bahkan ditegaskan pula bahwa ke-5 sila dalam Pancasila harus mendasari pelaksanaan demokrasi Indonesia.
Ada yang menegaskan bahwa demokrasi Indonesia sekaligus sebagai demokrasi politik, ekonomi, dan sosial budaya dalam satu sistem pemerintahan rakyat. Umi Salamah, dkk. kembali menegaskan bahwa “Pancasila tidak hanya mengandung politik, ekonomi dan sosial budaya. Pengertian tersebut belum mencakup seluruh nilai dalam Pancasila melainkan baru mencakup tanggungjawab duniawi. Sedangkan, falsafah Pancasila juga meliputi tanggungjawab kemanusiaan terhadap Tuhan Pencipta Alam”.
Penegasan terakhir dari Umi Salamah, dkk. inilah, saya mendapatkan inspirasi judul tersebut di atas. Saya ingin demokrasi Indonesia, bukan hanya berdasarkan sila ke-4, termasuk bukan hanya dalam konteks politik, ekonomi, dan sosial budaya. Saya pun berkeinginan demokrasi yang diterapkan di Indonesia mengandung falsafah Pancasila yang juga meliputi tanggungjawab kemanusiaan terhadap Tuhan Pencipta Alam (saya lebih senang menyebut “Allah”). Inilah yang saya maksud sebagai “Demokrasi yang Melampaui Batas Duniawi”, karena mengalami transendensi, menyentuh langit teologis, dan/atau mendapatkan sentuhan religious-spiritualistik.
Sederhananya, saya menginginkan Demokrasi-Pancasila sebagai nafas kehidupan dalam berbangsa dan bernegara di Indonesia. Meskipun, jika membaca sejarah, di era Soeharto, Demokrasi-Pancasila pun pernah diterapkan dan terkesan gagal. Saya yakin kegagalan tersebut, bukan karena sistemnya tetapi karena penerapannya belum sesuai substansi, dan faktor lainnya karena sikap dan perilaku oknum dalam kekuasaan tersebut.
Seperti apa, Demokrasi-Pancasila yang menjadi nafas kehidupan dalam berbangsa dan bernegara? Salah satu jawaban dari pertanyaan ini, saya terinspirasi dari buku karya Yudi Latif—tidak keliru dan berlebihan, jika orang-orang menyebutnya bahwa beliau adalah Pakar Pancasila di Indonesia—Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (2012).
Dalam buku tersebut, khususnya pada bagian Fase Perumusan [Pancasila] Yudi Latif mengutip pendapat Mohammad Hatta—Wakil Presiden Indonesia yang pertama—“dengan perubahan prinsip ketuhanan [maksudnya sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa] dari posisi pengunci ke posisi pembuka, ‘ideologi negara tidak berubah karenanya’, melainkan negara dengan ini memperkokoh fundamennya, negara dan politik negara mendapat dasar moral yang kuat”. Untuk diketahui bahwa sila “Ketuhanan” awalnya berada di sila kelima pada Pancasila.
“Dengan demikian, fundamen moral menjadi landasan dari fundamen politik (dari sila kedua sampai dengan sila kelima”, inilah penegasan Mohammad Hatta dalam Yudi Latif (2012). Yudi Latif pun melalui catatan kakinya menjelaskan bahwa “Bung Hatta berulangkali mengungkapkan hal itu, antara lain, dalam Kongres Kesatuan Pemuda Kristen seluruh Indonesia dan pada pidato penganugerahan doctor HC dalam Ilmu Hukum di UGM tahun 1956.
Dari uraian ini pun saya ingin bermaksud mengatakan atau menyampaikan dan mengharapkan agar kelak terjadi proses habitus ala Pierre Bourdieu, di mana spirit dan posisi sila pertama sebagaimana pandangan Mohammad Hatta, dan falsafah Pancasila dalam konteks Demokrasi Indonesia sesuai harapan Umi Salamah, dkk. bisa mengalami proses internalisasi eksterior (penyerapan, pemahaman mendalam, dan menjadikannya “darah kehidupan”) dan eksternalisasi interior (penerapan atau pengaplikasian, dan menjadi nafas kehidupan) pada diri anak bangsa terutama pada diri yang berstatus sebagai penyelenggara negara dalam fungsi dan bidang apapun. Meskipun ini berat, tetapi bisa diupayakan.
Para penyelenggara negara, dalam melaksanakan fungsi, tugas, kewenangan dan kewajibannya, seharusnya jika memang memiliki niat baik, positif, produktif, konstruktif, dan kontributif, maka selain menyadari bahwa itu adalah amanah rakyat dan harus menjalankan pemerintahan untuk kepentingan rakyat, mereka pula harus berpikir bahwa pelaksanaannya harus dilandasi dengan moralitas. Selain itu harus berorientasi pada pertangungjawaban di hadapan Tuhan (Allah).
Kecenderungan politik tidak menjadi “syahwat politik” ketika dirinya menyadari apa yang diungkapkan oleh Mohammad Hatta di atas, di mana sila pertama, “Ketuhanan yang Maha Esa” harus menjadi fundamen moral atau basis nilai yang akan memperkokoh fundamen politik. Fundamen moral ini, tidak boleh diabaikan dalam tata kelola bangsa dan negara, terutama oleh para penyelenggara negara.
Ada banyak persoalan dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia hari ini, itu karena kita abai terhadap kesadaran bahwa sila pertama Pancasila, seharusnya menjadi fundamen moral bagi seluruh dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika ini mampu diterapkan, maka saya yakin fundamen politik (sila kedua sampai sila keempat) akan berjalan dengan baik sesuai harapan bersama yang mendekati idealitas, jika tidak bisa seratus persen atau sempurna.
Ketika para pejabat negara pada saat melakukan pendaftaran dalam setiap prosesi rekrutmen jabatan tertentu, seringkali ada satu dokumen yang berisi pernyataan “setia kepada Pancasila…,dan seturusnya” begitupun pada saat pelantikan dan pengambilan sumpah/janji jabatan, diawali dengan frasa “Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji”, diucapkan di bawah kitab suci yang dipegang oleh para rohaniawan. Sebenarnya hal ini menegaskan memang moral adalah dasar utama. Dan dalam konteks Indonesia, ini pun menegaskan bahwa seharusnya pelaksanaan sistem demokrasi harus melampaui batas duniawi. Mengalami proses transendensi, menyentuh langit teoligis, dan/atau mendapatkan sentuhan religious-spiritualistik.
Faktor-faktor pendukung demokrasi, seperti “negara hukum”, “masyarakat madani”, “infrastruktur politik”, dan “pers yang bebas dan bertanggungjawab” mampu menjadi instrument yang mengarahkan kehidupan pada muara kemajuan, pencapaian cita-cita dan tujuan nasional, ketika prinsip dan nilai “Demokrasi yang Melampaui Batas Duniawi” atau ketika sila pertama menjadi fundamen moral, dan falsafah Pancasila yang mengandung tanggungjawab kemanusiaan di hadapan Tuhan, mampu ditegakkan.
Pemilu sebagai instrumen strategis bagi negara demokrasi, tidak akan mampu mencapai hasil pelaksanaan yang adil, berkualitas, dan berintegritas, ketika kita lupa pada apa yang menjadi spirit utama dalam Pancasila. Penegakan hukum pun, mengalami hal yang sama, yaitu tidak mampu menjadi penopang terwujudnya negara demokrasi, jika kita mengabaikan fundamen moral yang ditegaskan oleh Mohammad Hatta, dan falsafah Pancasila dalam pandangan Umi Salamah, dkk.
Demokrasi yang melampaui batas duniawi, atau kesadaran sila pertama sebagai fundamen moral atas fundamen politik (sila kedua sampai sila kelima), dan falsafah Pancasila yang mengandung kesadaran tanggungjawab kemanusiaan di hadapan Tuhan (Allah), akan mampu pula mentransformasikan “the love of power” (cinta kekuasaan) menjadi “the power of love”(kekuatan cinta) yang selama ini terkesan lebih sering dan banyak merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.