Latifa Ibn Ziaten dan Moderasi Islam
Oleh: Subhan Setowara, MA International Relations University of Nottingham, Direktur Eksekutif RBC Institute A. Malik Fadjar-UMM
Latifa Ibn Ziaten, aktivis muslimah berkebangsaan Maroko-Perancis, bersama Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres beberapa waktu lalu mendapatkan anugerah tokoh persaudaran internasional 2021 dari Zayed Award for Human Fraternity (ZAHF). Latifa dipandang memiliki dedikasi melawan radikalisasi kaum muda pasca kematian anaknya, Imad Ibn Ziaten (Arab News, 04/02).
Imad menjadi korban jihadis muslim berdarah Perancis-Aljazair Mohammed Merah yang menentang kebijakan politik Perancis terkait larangan penggunaan cadar bagi muslimah dan kehadiran militer Perancis di Afganistan. Kemarahan Merah ia luapkan melalui berbagai tindakan kekerasan, termasuk pada 2012 membunuh Imad yang merupakan penerjun payung dan tentara muslim Perancis. Bagi Merah, sekalipun Imad seorang muslim, ia layak dipersalahkan lantaran mengabdi pada pemerintah Perancis sebagai tentara. Pada akhirnya Merah pun tewas dalam pengepungan polisi Perancis.
Setelah kematian Imad, sang ibu, Latifa Ibn Ziaten, tak tinggal diam. Ia segera menelusuri asal-usul Merah. Ia pergi ke unit-unit perumahan sosial di Les Izards, Toulouse, tempat asal Merah. Di sana, ketika ia bertanya pada sekumpulan remaja muslim apakah mereka mengenal Merah, para remaja itu justru menjawab, “Don’t you watch TV, Madame? He’s a hero, a martyr for Islam!” (France24, 19/01/2018). Nyatanya, Merah memang mengalami masa kecil yang kelam. Keluarganya broken home dan ia sendiri terjebak dalam berbagai aktivitas kriminal saat usianya masih di bawah umur.
Peristiwa itu mendorong Latifa mendirikan lembaga anti-ekstremisme dengan nama almarhum anaknya, Imad ibn Ziaten Youth Association for Peace pada April 2012. Tujuan utama lembaganya adalah mempromosikan perdamaian dan dialog antaragama, khususnya bagi kaum muda kelas bawah di daerah-daerah tertinggal. Bertahun-tahun setelah itu, ia melakukan perjalanan melintasi Perancis dan dunia menginspirasi anak-anak muda melawan radikalisme. Ia juga meminta para politisi dan pemerintah Perancis untuk memasukkan para warga imigran muslim yang terabaikan sebagai penduduk resmi yang memiliki hak setara di negara itu.
Kisah Imad dan Merah sungguh tragis, karena melibatkan sesama imigran muslim. Imad-Merah sekaligus menjadi representasi dua wajah Islam di Perancis, dan mungkin juga di sebagian besar wilayah dunia, yaitu moderat dan ekstrem. Imad berupaya bersikap moderat dengan menyatu menjadi bagian dari warga Perancis yang membela negaranya. Sebaliknya Merah bersikap ekstrem lantaran menganggap pemerintah Perancis begitu anti terhadap umat Islam, baik imigran muslim di Perancis maupun di berbagai negara muslim di Timur Tengah seperti Afganistan.
Dua wajah imigran muslim itu sekaligus membelah citra Islam di mata pribumi Perancis. Banyak yang bersimpati pada Islam sebagai agama penebar kasih sayang dan perdamaian, namun tak sedikit yang menilai Islam sebagai agama pro-kekerasan dan terorisme. Nyatanya, relasi pribumi dan imigran di Perancis memang kerap diwarnai harmoni sekaligus ketegangan.
Sejarah panjang membangun multikulturalisme Perancis penuh ujian dalam lima tahun terakhir, mulai dari tragedi Charlie Hebdo, berlanjut pada teror di Paris pada November 2015 yang menewaskan 130 nyawa, hingga pembunuhan terhadap guru sejarah Perancis Samuel Paty pada Oktober 2020, karena menyuarakan kebebasan berpendapat di dalam kelas dengan menjadikan kartun Nabi Muhammad sebagai contohnya. Peristiwa terakhir menjadi bola salju kebencian ditandai dengan rangkaian demostrasi anti-Islam di Perancis, tudingan Presiden Perancis Emmanuel Macron bahwa Islam tengah mengalami krisis di seluruh dunia, hingga kemarahan umat Islam dunia terhadap Macron.
Di tengah berbagai tantangan itu, penghargaan pada Latifa Ibn Ziaten menjadi oase bagi ketegangan imigran-pribumi di Perancis. Sang anak, Imad Ibn Ziaten, merupakan contoh darah imigran yang tak ingin ada sekat antara penduduk asli dan pendatang. Semuanya berjuang dengan semangat Perancis yang sama; liberté, égalité, fraternité. Sayangnya, semangat itu dirusak oleh sesama muslim, Mohamed Merah, yang hatinya dipenuhi dendam.
Saat ini, relasi pribumi-imigran memang menjadi isu krusial di berbagai belahan dunia. Hampir tak ada negara yang terlepas dari perihal ini. Termasuk Indonesia. Kita tahu bahwa politik identitas dan populisme Islam yang marak di Indonesia, terutama sejak fenomena Aksi Bela Islam 2016, pada akhirnya mau tak mau melibatkan sentimen sejumlah kalangan terhadap ras Tionghoa.
Padahal, jika dilacak pada akar sejarahnya, relasi pribumi-imigran adalah peristiwa yang menyejarah sejak awal kelahiran Islam. Hal itu ditandai oleh hijrah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah. Di Madinah, status Nabi dan orang-orang yang berhijrah bersamanya dari Mekkah adalah para migran. Pada akhirnya, mereka disebut sebagai kaum Muhajirin. Sementara penduduk asli Madinah yang mendukung kepemimpinan Nabi Muhammad adalah kaum Anshor. Mereka membangun negeri multikultural yang menyatukan berbagai suku dan agama dalam bingkai kesepakatan konstitusi bersama, yakni Piagam Madinah.
Relasi harmonis Muhajirin-Anshor bukan peristiwa biasa. Di dunia modern seperti sekarang ini, itu seperti relasi antara imigran dan pribumi. Nyatanya, berbagai negara besar di dunia saat ini begitu pelik menghadapi fenomena tersebut. Tak hanya Perancis. Berbagai negara Eropa lainnya, pun negara adidaya seperti Amerika Serikat tampak tak cakap menghadapinya.
Negeri Madinah yang dipimpin Nabi Muhammad kala itu adalah contoh sukses relasi pendatang dan penduduk asli. Piagam Madinah sekaligus menjadi prototipe ideal moderasi Islam yang mengedepankan pentingnya dialog dan perdamaian dalam menghadapi perbedaan. Bukan dengan cara ekstrem seperti radikalisme dan terorisme.
Guru besar studi agama dari Michigan State University, Alford T. Welch, menyebut bahwa konstitusi Madinah merupakan bukti keterampilan diplomatik Muhammad yang luar biasa dalam membangun negara bangsa berdasarkan perspektifnya tentang ummah, yang berbasis cita-cita ideal Islam sekaligus pertimbangan praktis situasi masyarakat saat itu.
Bagaimanapun, Imad dan Merah adalah wajah Islam yang menghiasi peradaban global saat ini. Kita tidak berhenti berjuang untuk menunjukkan pada dunia, atau setidaknya pada dunia sekitar kita, bahwa Islam adalah agama yang ramah, indah dan menjunjung tinggi perdamaian. Seperti halnya Latifa Ibn Ziaten yang tiada henti menyuarakan moderasi Islam yang berakar dari semangat almarhum anaknya.
Sumber: Majalah SM Edisi 5 Tahun 2021