Mencerahkan Diri Sendiri

Mencerahkan Diri Sendiri

Mencerahkan Diri Sendiri

Manusia memiliki lini perjuangan yang tidak ada habisnya. Berjuang tiada henti. Siapapun dia. Orang kaya, orang miskin, berpendidikan tinggi sekali, berpendidikan sedang-sedang. Ulama atau orang awam. Pimpinan ormas atau anggota dan simpatisan. Di manapun posisinya. Apapun yang menjadi pekerjaan atau profesinya. Semua mempunyai tugas yang sama.

Yaitu mencerahkan diri sendiri. Ndandani awake dhewe (memperbaiki diri sendiri) agar senantiasa cerah dalam menjalani hidup ini. Di dalam Al-Qur’an diajarkan bagaimana berdoa untuk keperluan ini. Robbana aatinaa fid dunyaa hasanah, wa fil aakhirati hasanah, wa qinaa “adzaban naar. Kebaikan dan perbaikan hidup di dunia agar kompatibel dan aksesabel dalam menggapai kehidupan akhirat yang baik. Dan itu artinya terjaga dari dan dijauhkan dari jilatan api neraka. Bekal atau modal agar bisa dijauhkan dari api neraka adalah kalau kita selalu di dalam kebaikan dan perbaikan hidup di dunia, kemudian kontinyu dalam kehidupan di akhirat.

Kebaikan (hasanah) dan perbaikan (tahsin) merupakan alat cerdas dan efektif untuk mencerahkan diri sendiri. Kalau sekarang di komunitas Persyarikatan sedang gencar-gencarnya digerakkan kegiatan tahsinul Qur’an (memperbaiki bacaan Al-Qur’an) maka tentu makin elok kalau diiringi dengan gerakan dan kegiatan tahsinun nafs (perbaikan perilaku pribadi).

Kemudian diikuti dengan tahsinul muamalah (perbaikan dalam relasi sosial kita) sehingga kemudian kita semua mampu melakukan tahsinul hayah (perbaikan kehidupan bersama yang lebih luas). Jadi pergerakannya adalah dari teks (tahsinul Qur’an) yang menjadi fokus dan lokus atau tempat kita melakukan kontemplasi serta pencerahan konseptual ke tahsinunnafs (konteks) bergerak ke tahsinul muamalah (ekspresi sosial) menuju ke gerakan tahsinul hayah (aktualisasi energi kebaikan ke dalam kehidupan nyata).

Di dalam Persyarikatan kita dididik untuk melakukan itu terus menerus. Semua yang aktif di Persyarikatan biasanya memulai kegiatannya di pengajian rutin, lalu aktif di kegiatan amal sosial, termasuk menjadi panitia penerima dan pembagi zakat fitrah, aktif di panitia Qurban, aktif dan terlibat di panitia khitanan massal, ikut membantu dan aktif di kegiatan menolong pedagang dan pengusaha mikro di BTM dan BMT, atau di Lembaga ZIS, kalau punya harta kemudian diwakafkan untuk Pesyarikatan, ikut membantu kegiatan pembinaan kesehatan masyarakat, dan panti asuhan.

Kemudian ada yang aktif rembugan mendirikan masjid atau musholla, ikut merintis TPA, mengatur imam, muadzin dan penceramah Kalau puasa aktif menjadi panitia tak’jil dan meramaikan shalat tarawih dan ikut kegiatan iktikaf. Kalau di desa, ikut mengembangkan dunia pertanian bersama jamaah masjid di desa itu. Dan seterusnya. Semua kegiatan itu ada maknanya, yaitu bermakna mencerahkan diri sendiri, yang kemudian berdampak pada upaya mencerahkan kehidupan orang lain.

Dengan demikian kegiatan pencerahan diri sendiri ini menjadi nyata, fungsional, berkelanjutan dan berkemajuan. Amal jariyah demi amal jariyah pun dilakukan. (MWH)

Sumber: Majalah SM Edisi 11 Tahun 2019

Exit mobile version