Mencaci Waktu dan Berkeyakinan Waktu Mendatangkan Madhorot
Oleh: Tito Yuwono
Sering kita saksikan sekelompok masyarakat dan juga individu mencaci masa. Menganggap masa-masa tertentu jelek dan membawa madhorot. Ketika gagal dalam melakukan sesuatu akan menyalahkan waktu. Bukan sekedar itu, karena menganggap sebagian waktu “tidak baik” maka dalam melakukan aktivitas menghindari waktu-waktu ini.
Sebagai seorang Muslim, maka tabiat dan kebiasaan mencela waktu ini sangat tidak baik. Dan dilarang oleh Allah Ta’ala. Orang yang mencela waktu juga mencela Allah Ta’ala karena Allah lah yang mencipta dan mengatur waktu. Allah Ta’ala yang mempergantikan dan menggilirkan malam dan siang.
Dalam Hadis Qudsi Yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Rasulullah ﷺ bersabda:
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِي ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ بِيَدِي الْأَمْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
Artinya: “Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Anak Adam telah menyakiti-Ku (karena) dia suka mencela waktu. Padahal Aku-lah pencipta (pengatur) masa. Aku-lah yang mempergilirkan antara malam dan siang”. (HR Imam Bukhori)
Demikianlah orang yang suka mencela waktu merupakan perbuatan tercela. Orang yang suka mencela waktu disertai dengan keyakinan bahwa waktu tersebut mendatangakn madhorot maka ini termasuk dalam kemusyrikan. Karena yang mencipta dan mendatangkan manfaat maupun madhorot adalah Allah Ta’ala semata.
Selain mengandung kesyirikan, orang yang mencela waktu dengan disertai menganggap waktu mendatangkan madhorot akan menganggu kejiwaan manusia. Jiwanya kurang sehat karena setiap akan datangnya waktu yang dikawatirkan tersebut jiwanya akan goncang. Perasaan takut akan muncul dengan datangnya waktu-waktu yang ditakuti ini. Sering kita dapati juga, biasanya karena jiwanya goncang dan takut, untuk menenangkan dirinya dengan cara mempersembahkan sesuatu pada waktu-waktu yang ditakuti tersebut.
Rasulullah ﷺ kekasih Allah saja tidak bisa mendatangkan manfaat dan menolak madhorot kecuali atas yang dikehendaki dan izin dari Allah Ta’ala. Sehingga Allah Ta’ala memerintahkan Nabi ﷺ yang mulia untuk mengatakan hal itu sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surat Al-a’raf ayat188.
قُل لَّآ أَمْلِكُ لِنَفْسِى نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَآءَ ٱللَّهُ ۚ وَلَوْ كُنتُ أَعْلَمُ ٱلْغَيْبَ لَٱسْتَكْثَرْتُ مِنَ ٱلْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِىَ ٱلسُّوٓءُ ۚ إِنْ أَنَا۠ إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Artinya: Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”
Maka dakwah untuk mewujudkan aqidah dan tauhid yang lurus perlu dilakukan. Tentu dakwah dilakukan dengan hikmah dan dengan motivasi untuk memperbaiki masyarakat. Dakwah karena kita empati kepada masyarakat yang masih mempunyai I’tiqod seperti ini, sehingga kembali kepada aqidah yang lurus dan jiwa menjadi sehat. Dengan aqidah yang lurus dan tauhid yang murni, insyaa Allah, Allah Ta’ala akan memberikan petunjuk, kemanan dan rasa aman.
Demikian, tulisan ringkas ini, semoga generasi kita mempunyai aqidah yang lurus dan berpikiran berkemajuan.
Wallahu a’lamu bishshowab. Nashrun minallahi wa fathun qarib
Tito Yuwono, Dosen Jurusan Teknik Elektro-Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Sekretaris Majelis Dikdasmen PCM Ngaglik, Sleman, Ketua Joglo DakwahMu Almasykuri Yogyakarta