Dari Istighfar Menuju Kedamaian
Dalam hidupnya manusia sering sengaja atau tidak sengaja tersandung dosa. Paling tidak dosa yang muncul dengan halus karena tidak nampak di perbuatan lahir. Misalnya berupa prasangka. Prasangka ini sering muncul begitu saja dan jika dibiarkan bisa menjadi landasan bersikap dan landasan untuk melakukan perbuatan negatif terhadap orang lain. Apalagi kalau kemudian prasangka ini menular kepada manusia lain, termasuk manusia yang diprasangkai itu. Kedua belah pihak bisa-bisa terperangkap dalam dosa.
Di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa sebagian dari prasangka itu merupakan dosa. Apalagi kalau kemudian prasangka diikuti hujatan dan gunjingan dan tindakan membully pihak yang diprasangkai ini. Jelas dosanya bisa berlipat ganda. Salah-salah dapat membuka pintu fitnah, yang dosanya bisa lebih besar lagi. Dan inilah yang biasa berlangsung dalam pergaulan antarmanusia sehari-hari.
Kadang orang yang awalnya tidak mau berprasangka, awalnya tidak berniat menggunjing dan awalnya tidak ingin menghujat, karena terseret dan terpengaruh oleh kawan bicaranya menjadi melakukan itu dan menikmati itu. Padahal perilaku seperti ini disindir oleh Allah SwT dalam Al-Qur’an sebagai macam orang yang tengah makan menikmati bangkai saudaranya. Manusia yang melakukan itu, apalagi menikmati itu dengan lahap bahkan menjadi menu pengisi waktu sehari-hari sungguh mirip dengan orang yang tengah menabung dosa setiap hari. Tabungan dosa ini makin lama menjadi benan berat bagi jiwanya.
Dengan istighfar, dengan minta ampun kepada Allah SwT maka dosa itu akan dikurangi atau dihapus sama sekali. Apalagi kalau ini diikuti dengan permintaan maaf kepada orang lain yang menjadi korban prasangka, hujatan, gunjingan dan fitnah kita. Dengan mengakui kesalahan dan meminta maaf, dan kemudian dimaafkan, maka otomatis Allah pun akan mengampuni dosa kita. Dalam kaitan ini minta maaf dan memaafkan dilengkapi dengan saling memaafkan merupakan tindakan mulia, bahkan kalau selalu dilakukan setiap hari dapat menjadi tiket masuk surga. Salah seorang sahabat Nabi Muhammad yang dijamin masuk surga adalah orang yang setiap malam sebelum tidur dia mengucapkan ikrar memaafkan semua kesalahan orang lain, bahkan sebelum orang yang bersalah itu meminta maaf.
Dalam Islam, setelah selesai ibadah shalat, dituntunkan untuk membaca istighfar. Dan susunan doa istighfar setelah shalat ini unik dan amat bermakna, bukan saja untuk kehidupan indiviual kita, tetapi juga untuk menjaga kehidupan kolektif kita. Setelah meminta ampun dan bertaubat, ada tuntunan untuk membaca Allahumma antassalam wa minkas salam taabrokta robbana dzal jalaali wal ikrom. Dengan menyebut Allah sebagai Yang Maha Damai dan menjadi asal usul dan tujuan perdamaian maka sesungguhnya kita ingin dimasukkan ke dalam kehidupan yang damai. Dan setelah damai kita berharap akan dimasukkan dalam kehidupan yang penuh barokah, kehidupan yang tinggi kualitasnya sekaligus kehidupan yang mulia.
Jadi dari istighfar yang dilantunkan secara sungguh-sungguh sesungguhnya kita tengah merajut masa depan penuh kedamaian. Dan jika seseorang telah bisa berdamai dengan dirinya dan dengan orang lain, dia akan memiliki jiwa yang tenang, jiwa yang berkualitas mutmainnah. Dan jiwa-jiwa yang tenang inilah yang nantinya akan dipanggil Allah masuk ke dalam surganya dan dimasukkan menjadi golongan hambaNya yang sejati. Yaa ayyuhan nafsul muthmainnah, irji’ii ila robiki rodliyatan mardliyyah, fadkhulii jannatii, wadkhulii ’ibadii. Tidak ada panggilan yang seindah itu. Kita semua merindukannya. (Aba Husna)
Sumber: Majalah SM Edisi 12 Tahun 2019