Bukan Karena Ajaran Leluhur
Di sebuah kesempatan Rasulullah mengumpulkan orang-orang Quraisy di Makkah. Saat orang-orang Quraisy berkumpul, dari atas bukit Safa dan yang terletak berdekatan dengan lokasi Kakbah itu Rasulullah berkata, “Jika aku mengatakan kepada kalian bahwa sejumlah besar tentara sedang bersembunyi di balik gunung itu dan siap untuk menyerang kalian, apakah kalian akan percaya?”
Apa jawaban mereka? Orang-orang Quraisy itu serempak menjawab, “Tentu saja, karena kami mempercayaimu. Kami semua tahu, engkau selalu mengatakan yang benar.”
Reputasi Muhammad selama bergaul dengan masyarakat Quraisy memang tercatat tanpa cacat. Tidak ada satu orang pun yang pernah dibohongi Muhammad. Semua yang keluar dari lisan Muhammad hanyalah kebenaran. Muhammad juga tidak pernah menyakiti siapapun. Sedari muda dia juga telah digelari al-amin. Manusia yang terpercaya. Gelar itu diperoleh dari pengakuan masyarakat, tanpa ada yang protes.
Saat para pemuka keluarga Quraisy berselisih tentang siapa yang paling berhak meletakkan kembali hajar aswad di dinding Kakbah, dan akhirnya sepakat menyerahkan putusan pada orang yang paling awal mendatangi Kakbah, semua gembira karena orang itu ternyata Muhammad. Mereka semua juga dapat menerima keputusan Muhammad dengan lapang dada bahkan bergembira dengan keputusan Muhammad itu.
Namun, ketika Rasulullah saw melanjutkan pernyataannya, “Tuhan telah memerintahku untuk mengingatkan kalian, orang-orangku, bahwa kalian harus menyembah satu Tuhan. Jika kalian tidak melakukannya, kalian akan mengundang amarah-Nya. Dan aku tidak akan mampu berbuat apapun untuk menolongmu, meskipun kalian adalah orang-orang dari kaumku sendiri.” Respon masyarakat pun terbelah.
Hanya sebagian kecil masyarakat Quraisy yang mau menerima seruan itu. Sebagian besar menolak kabar itu dan berbalik memusuhi Muhammad. Manusia yang sama yang mereka akui sebagai manusia yang paling jujur dan tidak pernah berbohong seumur hidupnya itu. Manusia yang mereka ketahui tidak pernah berbuat hanya untuk kepentingan dirinya sendiri itu. Mengapa demikian?
Menurut Syeikh Tawfique Chowdhury, keengganan para tokoh Quraisy menerima seruan Muhammad itu karena alasan ekonomi. Pada masa kenabian Muhammad, Makkah dengan Kakbahnya telah menjadi pusat ziarah keagamaan berbagai bangsa. Mengalahkan bangunan gereja megah yang dibangun Abrahah di Yaman dan bangunan yang dianggap suci yang lain.
Ka’bah telah dianggap sebagai bangunan yang paling utama untuk menempatkan berhala-berhala milik sukusuku dan kelompok masyarakat. Kakbah menjadi magnet seluruh suku untuk berkumpul. Yang berarti telah menjadi sumber perputaran devisa. Para Pemuka Quraisy khawatir suku-suku dan kaum-kaum tersebut berhenti mengunjungi berhala-berhala mereka di Makkah jika konsep ketuhanan yang esa diterima oleh masyarakat Arab. Alasan yang sama yang digunakan Abrahah untuk menghancurkan Kakbah. Agar bangunan gerejanya menjadi pusat peziarahan dunia.
Pendapat Syeikh Tawfique Chowdhury segaris dengan pendapat Ahmad Syafii Maarif yang juga menyatakan kalau keengganan para tokoh Quraisy menerima seruan Islam itu bukan hanya karena kuatnya keyakinan mereka pada kepercayaan dan ajaran leluhur. Namun karena kepentingan mereka yang terusik dengan ajaran tauhid.
Karena konsekuensi menerima seruan Muhammad itu tidak sederhana. Mereka yang selama ini diuntungkan karena garis keturunan. Karena kuatnya suku, karena kuatnya ekonomi dan lain sebagainya menjadi harus setara dengan sesama manusia yang lain.
Sedikit palajaran dari kasus ini adalah, seringkali kepentingan mengalahkan akal sehat, juga membelokkan kebenaran. Untuk mengamankan kepentingannya, seseorang akan dapat menyusun berbagai dalih. Kalau perlu dengan memperalat ajaran agama. (S. Banie)
Sumber: Majalah SM Edisi 13 Tahun 2019