Sudah Saatnya Wujudkan Layanan Kesehatan Ramah Difabel

‘Aisyiyah Dorong Advokasi 'No One Left Behind'

Sudah Saatnya Wujudkan Layanan Kesehatan Ramah Difabel

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – ’Aisyiyah sejak awal kelahirannya sudah berpikir dan menggunakan perspektif GEDSI terutama bagaimana kita mendorong pada kelompok yang belum terperhatikan oleh layanan dasar dan kebijakan pemerintah. Ini kemudian kita dorong bersama sama agar mendapatkan layanan yang baik. Demikian disampaikan oleh Sekretaris Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah (PP ‘Aisyiyah), Tri Hastuti Nur Rochimah dalam kegiatan Diskusi Mendorong Layanan Kesehatan Ramah Disabilitas pada Kamis, (9/2/2023).

Dalam acara yang digelar oleh Program Inklusi ‘Aisyiyah ini, Tri Hastuti menyebut bahwa semua kader ‘Aisyiyah harus terus mendorong agar pembangunan kesehatan juga memberikan akses pada semua. “Ibu-ibu pasti sudah tahu tagline tak seorangpun boleh ditinggalkan, artinya saudara kita teman-teman disabilitas juga harus mendapatkan layanan yang sama seperti kita semua sehingga mereka juga terpenuhi hak kesehatannya.”

Tri berharap agar diskusi ini dapat menjadi referensi dan panduan dalam melakukan advokasi di semua level pemerintahan untuk mewujudkan layanan kesehatan yang ramah bagi disabilitas. “Sehingga betul-betul No One Left Behind akan betul menjadi kenyataan bukan sekedar mimpi dan jargon,” tegasnya yang juga merupakan Koordinator Program Inklusi ‘Aisyiyah.

Diskusi ini menghadirkan Indana Laazulva seorang Gender and Social Inclusion Specialist dan Hannie Permatasari yang merupakan Kepala Puskesmas Sentolo II, Bantul yang telah menerapkan layanan kesehatan ramah disabilitas di lokasinya bertugas. Dalam kesempatan tersebut Indana menyebutkan data bahwa 8.56% penduduk Indonesia merupakan penyandang disabilitas. Menurutnya kondisi penyandang disabilitas di Indonesia masih memiliki tingkat partisipasi yang rendah dalam berbagai sektor seperti pendidikan, pelatihan, penempatan kerja, hingga tereksklusi dari lingkungan sosial. “Artinya dia mengalami stigma, mengalami subordinasi, seringkali dianggap warge negara nomor dua hak-haknya bahkan kurang terperhatikan dan terabaikan dan kita harus akui akses disabilitas di negara kita sangat terbatas sehingga kebijakan pemerintah kita dorong bersama agar semua bisa mendapatkan kesempatan yang baik,” terangnya.

Indana juga menyoroti terkait pendekatan yang selama ini dilakukan kepada penyandang disabilitas yang masih charity based atau dalam bentuk pemberian sumbangan semata tanpa memberikan pemberdayaan atau pelatihan peningkatan skill yang sejatinya sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan kemandirian. “Paradigma kita melihat persoalan disabilitas itu menggunakan paradigma lama bahwa mereka makhluk yang harus dikasihani yang tidak mampu terlibat dalam pembangunan dan lemah sehingga pendekatan yang kita lakukan selama ini adalah charity based tanpa memberdayakan, tanpa memberikan skill karena memberikan donasi justru akan menimbulkan ketergantungan.” Oleh karena itu Indana mengajak lebih banyak pihak untuk terus dapat melibatkan teman-teman disabilitas dalam penyusunan kebijakan.

Terkait kesehatan, Indana juga menyampaikan bahwa banyak persoalan yang dialami oleh teman-teman disabilitas dalam mengakses layanan kesehatan. Sehingga isu ini juga harus menjadi perhatian. Berbagai persoalan ini terjadi karena adanya hambatan yakni hambatan fisik, hambatan informasi, dan hambatan struktural/institusional. Oleh karena itu dalam mendesain program layanan kesehatan Indana mengajak untuk dapat menggunakan prinsip desain universal yang berbasis perspektif GEDSI (Gender Equality Disability Social Inclusion). Selain itu menurutnya sebuah sistem kesehatan yang inklusif adalah sistem kesehatan bagi penyandang disabilitas yang harus dimulai dari menemukenali bentuk-bentuk hambatan yang dialami oleh penyandang disabilitas dalam mengakses layanan kesehatan.

Hannie Permatasari yang merupakan Kepala Puskesmas Sentolo II di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta menyebutkan bahwa penyedia pelayanan kesehatan hendaknya memastikan bahwa bangunannya, pelayanannya, informasi yang diberikannya, dan bagaimana ia berkomunikasi dengan orang-orang, semuanya harus aksesibel atau dapat diakses oleh para penyandang disabilitas. Hal ini tentu karena pengguna layanan kesehatan adalah masyarakat umum, di mana penyandang disabilitas adalah bagian di dalamnya.

Oleh karena itu ia mendorong untuk setiap layanan kesehatan dapat menerapkan pelayanan yang ramah kesehatan yang bisa dilakukan dengan berbagai cara. Hannie tidak menampik kemungkinan bahwa banyak sarana kesehatan yang sudah ada belum seluruhnya memiliki akses bagi disabilitas dan perlu dilakukan perombakan atau renovasi. Akan tetapi dapat dilakukan berbagai langkah awal untuk mulai menambah aspek-aspek pelayanan yang dapat dilakukan dalam memberikan layanan bagi teman-teman disabilitas. (Suri)

Exit mobile version