Indonesia Berkemajuan sebagai Anak Ideologis Sura dan Sulu
Oleh: Agusliadi Massere
Bisa saja ada yang keberatan bahwa, Indonesia secara de jure dan de facto telah lahir sejak tanggal 17 Agustus 1945, yang ditandai dengan pembacaan proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno & Hatta. Jadi tidak mungkinlah dipandang, meskipun hanya pendekatan analogis dan konotatif, dilahirkan oleh Sura dan Sulu.
Jika ada yang memandang dan keberatan seperti dugaan tersebut di atas, saya bisa membenarkan—untuk menghindari pilihan kata “memaklumi”. Meskipun, saya sendiri dengan argumentasi dan rasionalitas yang akan disampaikan melalui tulisan ini, bisa tergambarkan pula, bahwa betul, apa yang menjadi substansi dari judul tersebut di atas bisa pula dibenarkan.
Jujur saja, saya pertama kali mendapatkan frasa “Indonesia berkemajuan” lengkap dengan makna dan rasionalitasnya dari pohon pemikiran dan kearifan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sedangkan “Sura dan Sulu” adalah maskot Pemilu tahun 2024 yang diluncurkan oleh KPU RI hasil karya Mahasiswi Universitas Pradita Tangerang, Stephanie sebagai pemenang lomba pada saat itu.
“Sura dan Sulu” berbentuk sepasang burung Jalak Bali. “Sura” yang merupakan singkatan “Suara rakyat” berbentuk burung Jalak Bali jantan, yang merupakan simbolisasi dari “pemilih laki-laki”. Sedangkan “Sulu” berbentuk burung Jalak Bali betina, dan menyimbolkan sebagai “pemilih perempuan”.
Mungkin, di balik “otak belakang” saya atau di bawah alam sadar terjadi proses algoritmik yang menarik relasi dan tautan filosofis antara “Indonesia berkemajuan” dan “simbolisasi dan makna dari Sura dan Sulu”. Dari hal tersebut, terbersit judul yang menarik, sarat makna, dan mengandung pandangan, harapan, tujuan filosofis dan ideologis, yaitu “Indonesia Berkemajuan sebagai Anak Ideologis Sura dan Sulu”.
Saya yakin para sahabat pembaca mampu memahami bahwa melalui tulisan ini, saya sedang berupaya untuk menyulam makna, membentangkan harapan, dan mengontekstualisasikan relasi dan jalinan/ikatan suci sepasang insan yang selanjutnya mampu melahirkan dan memiliki seorang anak-bersama yang istimewa, sesuai harapan, mampu berbakti dan memberikan yang terbaik bagi kedua orang tuanya, ke dalam bentuk dan dimensi yang berbeda. Dalam arti, dengan pendekatan konotatif, “Sura” (Suara rakyat) dan “Sulu” (Suara pemilu) diibaratkan sepasang suami istri dengan prosesi suci yang dilakukan akan bisa melahirkan dan memiliki anak sesuai harapan, cita ideal, dan tujuan bersama yang kita beri kode dengan “Indonesia berkemajuan”.
Mencermati konstitusi negara Indonesia, yang menganut sistem pemerintahan yang bernama “demokrasi” atau dengan kata lain “kedaulatan rakyat”, maka secara alegoris (makna kiasan), tidak keliru pengandaian di atas bahwa, “jika kita ingin mencapai Indonesia berkemajuan maka harus diawali dari prosesi suci antara Sura dan Sulu, kemudian dilahirkan dari ‘rahim ideologis’ Sulu”. Pemaknaan ini tidak menimbulkan kekeliruan dan kesalahpahaman, ketika kita melepaskan diri dari jebakan yang fokus pada pemaknaan harfiah semata bahwa “Sura” hanya disimbolkan sebagai laki-laki/jantan, dan “Sulu” sebagai perempuan/betina, termasuk pula pemilih laki-laki dan pemilih perempuan.
Indonesia berkemajuan sebagai “kode”—di mana dalam tradisi semiotika bisa dimaknai sebagai sesuatu yang muncul atau dipilih karena narasi-narasi dan/atau frasa-frasa biasa tidak mampu menggambarkan, mengungkapkan/menjelaskan realitas atau harapan yang sesungguhnya—harus lahir dari “rahim ideologis” Sulu (Suara pemilu), dan sebagai “buah cinta”, “relasi”, dan/atau “ikatan/jalinan suci” antara Sura dan Sulu.
Dalam bahasa teknis, prosedural dan operasionalitasnya, bahwa “suara rakyat” (Sura) harus dikonversi dan/atau mengalami transformasi menjadi “suara pemilu” (Sulu). Dari Sulu (Suara pemilu) berdasarkan perspektif “outcome” (hasil/dampak), akan menentukan Indonesia-berkemajuan/tidak. Saya yakin, di sini pembaca semakin memahami substansi dari pandangan filosofis dan makna konotatif/alegoris dari tulisan ini.
Secara sederhana garis relasinya bisa dipersingkat bahwa, dari Sura (Suara rakyat) yang berkualitas maka akan mampu melahirkan Indonesia-berkemajuan. Konsisten dari awal, di mana arah tulisan ini menggunakan makna alegoris atau konotatif sebagai “sepasang insan” atau tidak apa-apa disebut secara vulgar saja sebagai sepasang “suami-istri”, maka kita akan bisa menggunakan suatu falsafah hidup atau pesan moral yang sering disampaikan kepada seorang insan atau calon sepasang insan (baca: laki-laki atau perempuan).
Falsafah hidup atau pesan moral yang dimaksud adalah “didiklah anakmu 25 tahun sebelum lahir”. Falsafah hidup atau pesan moral ini, saya akan kontekstualisasikan maknanya ke dalam “diri” Sura dan Sulu agar memiliki anak ideologis bernama “Indonesia berkemajuan”. Seperti apa makna dan kontekstualisasinya?
Terutama oleh Sura tanpa kecuali oleh Sulu, harus mampu memperbaiki diri jauh sebelum memiliki anak ideologis yang diharapkan tersebut: Indonesia-berkemajuan. Sura (suara rakyat) atau dalam hal ini pemilih (tanpa membedakan pemilih laki-laki dan perempuan)—inilah pula maksud saya di atas agar tidak terjebak untuk fokus pada pemaknaan harfiah semata—sebagaimana tulisan saya dalam Jurnal Pustaka Pemilu Vol. 2 No. 2, Juni 2020, yang diterbitkan oleh KPU Provinsi Sulawesi Selatan, memiliki kemampuan untuk menjamin dalam mewujudkan Pemilu-berintegritas bukan hanya sebatas pada “input”, “process” dan “output” semata, tetapi beyond, bisa pula dan terutama pada dimensi “outcome”nya.
Hanya dengan kemampuan menjamin perwujudan “Pemilu berintegritas” sampai pada dimensi “outcome” oleh pemilih (sebagai representasi suara rakyat) kita mampu mewujudkan “Indonesia berkemajuan” sebagai realitas. Jaminan dan pencapaian “Pemilu berintegritas” sampai pada dimensi “outcome” itulah yang bisa bermuara pada demokrasi-substansial yang menjadi harapan bersama. Bukan sekadar demokrasi prosedural, yang selama ini telah sukses dilakukan dan dicapai.
Mengapa harus kepada pemilih, yang diberikan “amanah” untuk mewujudkan pencapaian Pemilu-berintegritas pada dimensi “outcome”? Jujur saja, sebagaimana tulisan saya dalam jurnal tersebut, saya menegaskan bahwa kami selaku penyelenggara pemilu, hanya mampu menjamin pencapaian “Pemilu-berintegritas” sampai pada dimensi “output”.
Artinya, kami selaku penyelenggara pemilu hanya mampu menjamin proses pemilu tersebut berjalan di atas rel integritas dan pforesionalitas sampai pada saat menuju pelaksanaan pengambil sumpah/janji dan pelantikan para “peserta pemilu” yang terpilih. Kami selaku penyelenggara pemilu—khususnya jajaran KPU—tidak bisa menjamin kualitas yang terpilih lebih dari sekadar “persyaratan calon” dan “syarat pencalonan”.
Pendidikan pemilih yang kami lakukan pun, tentunya hanya berupaya memberikan pemahaman dan penyadaran, agar pemilih cerdas dalam menentukan pilihannya. Hanya sebatas upaya, apakah dipahami dan disadari atau tidak, tentunya kembali kepada pemilih yang bersangkutan.
Logikanya sederhananya, meskipun kami para penyelenggara pemilu mengetahui kualitas diri seseorang dari yang berstatus sebagai/bagian dari “peserta pemilu”, tetapi berdasarkan kode etik yang mengikat, kami tidak boleh mengarahkan pemilih untuk memilih peserta pemilu tertentu. Inilah yang saya pandang sehingga, kami para penyelenggara pemilu hanya mampu menjamin integritas pemilu itu sampai pada dimensi “output”-nya semata. Berbeda dengan pemilih, mampu menjamin melampaui dari sekadar output, bisa sampai pada outcome.
Lalu bagaimana dengan peserta pemilu? Peserta pemilu, idealnya mampu pula menjamin Pemilu-berintegritas itu sampai pada dimensi “outcome” dengan menyiapkan stock kader yang berkualitas untuk didorong dalam kontestasi demokrasi pada Pemilu dan Pemilihan. Meskipun, terkait ini masih ada yang jauh dari harapan kebanyakan masyarakat Indonesia yang memiliki impian yang sama untuk Indonesia-berkemajuan.
Berbeda dengan penyelenggara pemilu, dan peserta pemilu, pemilih seharusnya punya hak dan kewajiban penuh untuk mewujudkan dan menjamin pencapaian pemilu berintegritas itu sampai pada dimensi outcome. Apalagi jika pemilih memahami dan menyadari secara filosofis dan ideologis terkait konsepsi “Pemilih berdaulat” sebagai derivasi dari “Kedaulatan rakyat”. Atau minimal memahami secara filosofis dan ideologis terkait substansi daripada “Suara rakyat” atau panggilan nama “Sura” yang melekat pada dirinya sebagaimana “Maskot Pemilu tahun 2024” tersebut.
Kembali pada falsafah “Didiklah anakmu 25 tahun sebelum lahir” di atas, Sura harus mampu menguatkan pemahaman, kesadaran dan nalar kebangsaannya—terkait nalar kebangsaan, sahabat pembaca bisa memahaminya dari tulisan-tulisan saya yang lain. Sura harus mampu membebaskan dirinya dari “politik uang”, “hoax yang merusak kualitas Pemilu”, dan termasuk pula membebaskan diri dari “kampanye SARA”, “politik identitas”, serta “polarisasi”.
Sura (dalam hal ini pemilih) harus cerdas dalam memilih, proaktif dalam upaya menyukseskan Pemilu. Sura harus mampu pula dikonversi dalam wujud berupa pengawasan partisipatif untuk memastikan setiap tahapan pelaksanaan Pemilu berjalan di atas rel integritas dan profesionalitas—sebagaimana makna integritas dan profesionalitas dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017.
Sebagaimana dengan Sura, Sulu (Suara pemilu)—saya sedikit memberikan makna yang lebih luas dibandingkan pemaknaannya sebagai “pemilih perempuan” dalam makna maskot tersebut—harus pula mengikuti falsafah hidup atau pesan moral “Didiklah anakmu 25 tahun sebelum lahir” untuk melahirkan “Indonesia berkemajuan”.
Sulu dengan fokus pada makna “Suara pemilu”-nya, dalam seluruh tahapan—sebagaimana bisa diandaikan pula seorang perempuan yang memiliki rahim, kita sebut saja “rahim ideologis”—harus mampu berproses sesuai koridor hukum dan kode etik yang berlaku. Jangan biarkan “Indonesia” lahir dari “rahim ideologis” Sulu dalam keadaan “prematur. Secanggih apapun kehidupan dan siasat yang ditawarkan oleh nafsu, dan/atau dorongan kepentingan sesaat yang besar, marilah Sura menjaga kekasihnya Sulu, untuk tetap melahirkan Indonesia dalam keadaan normal.
Normal di sini, minimal bisa dimaknai semuanya berjalan sesuai prinsip integritas dan profesionalitas yang digariskan oleh Peraturan DKPP yang disebutkan di atas. Indonesia tidak boleh lahir melewati rahim lain, apalagi ideologi kepentingan tertentu. Indonesia agar mampu menjadi Indonesia yang berkemajuan harus lahir dari rahim ideologis, minimal dalam makna sederhana dan singkat saja, proses pemilu yang akan mewujudkan para pemimpin dan wakil rakyat dalam menata bangsa dan negara Indonesia harus mampu mencerminkan nilai dari 5 Sila Pancasila. Terutama sila pertama, sebagai fundamen moral.
Lalu, seperti apa Indonesia Berkemajuan itu? Saya kutip sedikit saja dari produk resmi Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2014) “Indonesia berkemajuan dapat dimaknai sebagai negara utama (al-madinal al-fadhillah), negara berkemakmuran dan berkeadaban (umran), dan negara yang sejahtera. Negara yang mendorong terciptanya fungsi kerisalahan dan kerahmatan yang didukung sumber daya manusia yang cerdas, berkepribadian, dan keadaban mulia”.
Agusliadi Massere, Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023