Orang Tua dan Suporter Sepak Bola

Suporter Sepak Bola

Foto Ilustrasi

Orang Tua dan Suporter Sepak Bola

Ada hal aneh saat kita menyaksikan keseharian anak-anak. Mereka nampak akur satu sama yang lain, padahal satu jam yang lalu mereka ada yang bertengkar bahkan ada yang saling pukul. Dua jam yang lalu Makruf dan Fatimah satu group dengan Dodo yang bermusuhan dengan Bowo dan Fatahillah yang satu group dengan Fahmi dan Rahmi. Setengah jam kemudian Bowo dan Dodo nampak akur malah ganti Fahmi dan Rahmi yang mulai bertengkar. Satu jam kemudian, gantian Dodo dan Makruf yang berkelahi dan dilerai oleh Bowo dan Fatimah.

Karena pertengkaran itu kadang di antara mereka ada yang menangis, ada pula yang ngambeg bahkan ada pula yang sedikit memar. Ketika memar itu belum hilang dan air mata itu belum sepenuhnya kering, anak-anak yang bertengkar itu sudah kembali akur. Ada pula yang tertawa sambil terisak. Itulah dunia anak-anak. Mereka tidak baper (bawa perasaan) kata anak-anak muda kekinian.

Namun, jangan sampai kita yang sudah jadi orang tua atau orang dewasa ini ikut campur dalam permainan anak-anak itu. Ketika ada orang tua atau orang dewasa yang ikut nimbrung dalam pertengkaran anak-anak, urusan akan menjadi panjang.

Rekonsiliasi atau perdamian akan menjadi sangat rumit. Bukan antara mereka yang terlibat. Namun yang membuat kisruh, rumit, dan masalah berkepanjangan adalah orang-orang tua yang merasa lebih tahu dan sok bijak yang ikut nimbrung di dunia permainan anak-anak. Saat anak-anak sudah rukun kembali antar orang tua malah masih belum bisa kembali akur.

Mengapa anak-anak dapat cepat rukun kembali saat mereka bertengkar? Jawabannya adalah mereka masih polos, masih jujur, tidak terlalu menjaga gengsi, dan yang yang pasti tidak punya rasa curiga pada orang lain. Anak-anak itu fokus pada tujuannya saat itu. Mereka tidak sempat membangun keyakinan di dalam hati bahwa orang lain itu akan selalu berbuat curang pada dirinya. Mereka juga tidak peduli pada harga diri berlebihan yang dibangun secara kurang tepat, sebagaimana orang tua mereka yang terlau suka mencampuri urusan permainan dunia anak-anak.

Rasa curiga pada orang lain yang berpadu dengan penempatan harga diri yang berlebihan yang tidak ada diri mereka itulah yang membuat anak-anak dapat dengan cepat dapat melupakan semua pertengkaran yang baru terjadi dan memulai kembali permainan yang menyenangkan.

Apa yang terjadi di dunia anak-anak ini hampir sama dengan di dunia permainan sepak-bola modern. Saat ini pemerhati dunia sepakbola tanah air pasti kenal dengan bonek, viking, jack mania, brajamusti, kacong mania, aremania dan lain sebagainya. Mereka adalah kumpulan para pendukung kesebelasan sepak bola.

Mereka ini sangat militan dalam mencintai klub kesayangannya. Bahkan ekspresi cinta mereka kadang sangat berlebihan. Menjelma menjadi holigananisme yang brutal. Yang rela terbunuh dan membunuh orang lain demi klub kesayangannya.

Padahal, para pemain sepak bola bahkan pemilik klub yang mereka cintai dapat berganti setiap musim. Andik Vermansyah yang dipuja pendukung Persebaya berapa tahun lalu saat ini justru bermain untuk Madura United. Gonzales yang tahun kemarin bermain untuk PSS Sleman tahun ini hijrah ke PSIM Yogyakarta. Padahal setiap kali kedua klub sepakbola bertetangga ini bermain, hampir selalu ada bentrok fisik antar suporter.

Para pemain sepak bola itu dengan ringan dapat berganti klub karena mereka fokus pada permaianannya. Mereka fokus pada karier dan dunianya. Sama dengan anak-anak yang juga fokus pada dunia permainan mereka.

Hal ini berbeda dengan orang tua yang baperan dan para holigans sepakbola yang brutal itu. Walaupun terlihat militan dalam membela apa yang mereka sayangi. Pada hakikatya mereka ini kehilangan fokus dan tujuannya. Fokus mereka sebenarnya pada rasa cinta pada dirinya sendiri pada harga dirinya yang merasa terusik. Bukan pada anaknya bukan pada sepakbola. Dan,… kebahagiaan serta kemenangan sejati tidak akan singgah pada orang yang baperan. (S. Banie)

Sumber: Majalah SM Edisi 14 Tahun 2019

Exit mobile version