Keutamaan Nisfu Sya’ban dan Amalannya
Oleh: Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA
Sudah menjadi kebiasaan sebahagian umat Islam ketika nisfu Sya’ban (pertengahan Sya’ban yaitu hari ke 15) tiba, maka mereka mengkhususkan suatu ibadah tertentu pada malamnya seperti shalat Alfiyyah, Raghaib, Tasbih, atau shalat lainnya, membaca doa dan zikir khusus, dan membaca Al-Qur’an khusus malam nisfu Sya’ban, dan sebagainya, baik secara berjama’ah maupun pribadi.Begitu pula pada siangnya mereka mengkhususkan ibadah tertentu yaitu puasa nisfu Sya’ban. Semua ibadah yang dikhususkan pada nisfu Sya’ban tersebut dilakukan karena menyangka adanya keutamaan nisfu Sya’ban dan amalannya.
Yang menjadi persoalan, apakah ada dalil yang shahih yang menjelaskan tentang keutamaan nisfu Sya’ban dan amalan tertentu padanya? Apa hukum mengerjakan amalan tertentu seperti tersebut di atas pada malam dan siang nisfu Sya’ban?. Mengingat bahwa suatu ibadah itu wajib bersandar kepada dalil yang shahih. Dengan kata lain, suatu ibadah haram dilakukan jika tidak ada dalilnya yang shahih. Sebagaimana dijelaskan dan disepakati oleh para ulama.
Untuk menjawab persoalan tersebut, maka kita wajib merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan penjelasan para ulama salaf (para sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in) dan para ulama sesudah generasi yang mengikuti mereka baik ulama terdahulu maupun kontemporer. Kita perlu merujuk kepada kitab-kitab para ulama yang menjelaskan persoalan ini.
Maka, tulisan ini bertujuan untuk mengkaji dan menjelaskan persoalan tersebut di atas dengan merujuk kepada referensi kitab-kitab para ulama yang mu’tamad dan mu’tabar, baik kitab-kitab turats (klasik) maupun kitab-kitab mu’ashirah (kontemporer). Dalam tulisan ini, penulis menukilkan perkataan para ulama besar dari Mazhab Asy-Syafi’i dan lainnya.
Hukum Amalan Khusus Nisfu Sya’ban
Menurut para ulama, tidak ada satupun dalil yang shahih mengenai keutamaan nisfu Sya’ban dan amalan khusus pada malamnya dengan shalat Alfiyyah, Raghaib, Tasbih atau shalat lainnya dan pada siangnya dengan puasa, dengan menyakini amalan-amalan tersebut memiliki keutamaan. Hal ini tidak pula dilakukan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu anhum. Maka, hukum amalan-amalan khusus tersebut adalah bid’ah yang diharamkan oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallahu ‘alaihi wa sallam.
Menurut para ulama, hadits-hadits mengenai keutamaan nisfu Sya’ban dan amalannya adalah semuanya dhaif (lemah) bahkan sangat lemah dan maudhu’ (palsu). Dalam kajian ilmu Mushthalah Hadits atau ulumul hadits (ilmu-ilmu Hadits), hadits dhaif tidak boleh diamalkan dan tidak bisa dijadikan hujjah dalam persoalan aqidah dan ibadah berdasarkan ijma’ para ulama. Terlebih lagi hadits maudhu’.
Oleh karena itu, para ulama Fiqh terdahulu dan kontemporer tidak menganjurkan shalat khusus pada malam nisfu Sya’ban baik shalat Alfiyyah, Raghaib, tasbih, ataupun shalat lainnya. Bahkan mereka tidak menyebutkannnya dalam pembahasan topik shalat-shalat sunnat dalam kitab-kitab mereka. Begitu pula mereka tidak menganjurkan puasa nisfu Sya’ban dan tidak pula menyebutkannya sebagai puasa sunnat dalam pembahasan topik puasa-puasa sunnat dalam kitab-kitab mereka.
Imam Ibnu Al-Jauzi (wafat 597 H) telah mengumpulkan dan menjelaskan hadits-hadits palsu dalam persoalan ibadah, termasuk mengenai keutamaan nisfu Sya’ban di dalam kitab beliau yang diberi judul “Al-Maudhu’at” (hadits-hadits palsu). Beliau memasukkan hadits-hadits palsu mengenai keutamaan nisfu Sya’ban dan keutamaan shalat malam dan puasa nisfu Sya’ban dalam kitab tersebut. (Al-Maudhu’at, Abdurrahman bin Ali yang dikenal dengan Ibnu Al-Jauzi, jilid 2, hal. 438-443)
Begitu pula Imam Ibnul Qayyim (wafat 751 H) mengumpulkan dan menjelaskan hadits-hadits palsu yang berkaitan dengan ibadah dalam kitabnya “Al-Manar Al-Muniif fii ash-Shahih wa adh-Dhaif”. Dalam kitabnya ini, beliau mengatakan bahwa hadits-hadits mengenai keutamaan nisfu Sya’ban dan amalannya itu palsu. (Al-Manar Al-Muniif fii ash-shahih wa adh-dhaif, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, hal. 78)
Dalam kitabnya “Fihi ma Ja’a fi al-Bida’ “, Imam Muhammad bin Wadhdhah Al-Qurthubi (wafat 287 H) meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, bahwasanya beliau berkata, ”Kami belum pernah mendapatkan seorangpun dari Syaikh kami atau ahli Fiqh di kalangan kami yang melirik kepada kebiasaan perayaan nisfu Sya’ban. Kami juga tidak mendapatkan seorang pun di antara mereka yang menyebutkan hadits Makhul, dan berpandangan malam itu memiliki kelebihan dibandingkan malam-malam lain. (Fihi ma Ja’a fi al-Bida’, Muhammad bin Wadhdhah Al-Qurthubi, hal. 100, no. 119)
Imam Ibnu Wadhdhah meriwayatkan dengan sanadnya bahwa pernah dikatakan kepada Ibnu Abi Mulaikah bahwa Ziyad An-Numairi menyatakan bahawa malam nisfu Sya’ban itu pahalanya seperti malam Lailatul Qadar, maka Ibnu Abi Mulaikah menanggapi, ”Kalau aku mendengarnya langsung darinya, dan aku sedang memegang tongkat, pasti kupukul dia dengan tongkat itu.” Dan Ziyad adalah seorang hakim. (Fihi Ma Ja’a fi al-Bida’, hal. 101, no. 120, dan diriwayatkan oleh Ath-Thurthusi dari Ibnu Wadhdhah dalam kitabnya al-Hawadits wa al-Bida’, hal. 263, no. 235).
Imam Abu Bakar At-Thurthusyi (wafat 474 H) berkata, ”Abu Muhammad Al-Maqdisi telah memberi kabar kepadaku, ia berkata, ”Di daerah kami, di Baitul Maqdis tidak pernah diadakan shalat Raghaib, yakni shalat yang biasa dilakukan dibulan Rajab dan Sya’ban. Perbuatan itu terjadi pertama kali di daerah kami pada tahun 448 H. Datanglah seorang laki-laki dari Napolis yang dikenal bernama Ibnul Hamra. Ia adalah seorang yang bagus bacaan Al-Qur’annya. Suatu saat ia shalat di masjidil Aqsha pada malam nisfu Sya’ban, tiba-tiba ada orang lain yang ikut shalat bersama beliau, lalu datang lagi orang ketiga, keempat dan seterusnya. Dan tidaklah ia menutup shalatnya, melainkan ia telah dimakmumi oleh orang yang berjumlah banyak sekali. Kemudian ia datang pada tahun berikutnya lagi, dan banyak sekali orang-orang yang ikut bersamanya. Shalat itupun menjadi amat dikenal di masjid-masjid, tersebar luas di Masjidil Aqsha, di rumah orang-orang, dan tempat tinggal mereka, dan kemudian menjadi kebiasaan seolah-olah shalat ini sunnah hingga masa kita sekarang ini.” (Al-Hawadits Wa Al-Bida’, Abu Bakar At-Thurthusyi, hal. 266, no. 238).
Al-hafiz Al-Iraqi berkata, “Hadits shalat malam nisfu Sya’ban itu batil. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Hadits Ali: “Apabila malam nisfu Sya’ban datang maka shalatlah pada malamnya dan puasalah pada siangnya” Sanad hadits ini dhaif. (Al-Mughni ‘an Hamlil Asfar fi Takhrij Ma fil Ihya’ min akhbar, Abdurrahman bin al-Husain al-‘Iraqi, juz 2, hal. 235).
Seorang tokoh ulama asy-syafi’iyyah Imam Abu Syamah Asy-Syafi’i (wafat 665 H) dalam kitabnya “Al-Ba’its “ala Inkar Al-Bida’ ” menukil perkataan Imam Ibnu Dihyah, “Para ulama hadis menyatakan, “Tidak terdapat satupun hadis shahih yang menyebutkan keutamaan malam nisfu Sya’ban. Maka berhati-hatilah wahai hamba-hamba Allah dari penipu yang meriwayatkan hadits untuk kalian dalam kebaikan. Menggunakan kebaikan hendaklah dengan cara yang disyariatkan dari Rasul. Apabila benar dia menipu berarti tidak disyariatkan, dan penggunanya termasuk membantu setan karena dia mengunakan hadits atas Nabi dalam membuat suatu hukum syariat yang tidak diturunkan oleh Allah. (Al-Ba’its ’Ala Inkar Al-Bida’, Abdurrahman bin Isma’il Al-Maqdasi Asy-Syafi’i yang dikenal dengan Abu Syamah, hal. 118)
Beliau juga berkata, ”Adapun Alfiyyah, maka ia adalah shalat nisfu Sya’ban. Dinamakan demikian karena dalam shalat tersebut dibacakan surat al-Ikhlash seribu kali. Jumlah rakaatnya adalah seratus, pada masing-masing rakaat dibaca surat Al-Fatihah sekali dan surat Al-Ikhlash sepuluh kali. Shalat ini amat panjang dan berat sekali, yang tidak ada hadits atau atsar yang menerangkannya kecuali riwayat yang lemah atau palsu. Orang-orang awam banyak yang terjebak jauh (terfitnah) karenanya. Bahkan banyak dari para imam di masjid-masjid yang terdapat di berbagai negara yang bersemangat melakukannya, bahkan secara terus-menerus semalam suntuk, ditambah dengan berbagai kefasikan dan kemaksiatan, pencampurbauran kaum lelaki dan wanita, serta berbagai bencana lain yang sudah sangat dikenal untuk harus digambarkan di sini. Kalangan awam yang gemar mengamalkan ibadah ini, memiliki keyakinan yang kokoh, dan setan telah menghiasinya dalam diri mereka agar menjadikannya sebagai pondasi syiar kaum muslimin.” (Al-Ba’its ’Ala Inkar Al-Bida’, hal. 116).).
Dalam kitabnya “Al-Majmu’ “, tokoh ulama Asy-Syafi’iyyah Imam An-Nawawi (wafat 676 H) berkata, “Adapun shalat yang dikenal dengan sebutan shalat Raghaib yaitu dua belas raka’at yang dilakukan antara Maghrib dan Isya pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab dan shalat pada malam nisfhu Sya’ban seratus rakaat, kedua shalat ini adalah bid’ah munkarah (yang munkar) dan qabihah (yang buruk). Dan janganlah seseorang tertipu dengan penyebutan keduanya di dalam kitab Qutul Qulub (karangan Imam Abu Thalib Al-Makki wafat 368 H) dan Ihya’ Ulumiddin (karangan Imam Al-Ghazali wafat 505 H), dan janganlah seseorang tertipu dengan hadits yang disebut keduanya, karena semua itu adalah kebatilan. Dan jangan pula seseorang tertipu dengan sebahagian orang yang samar (tidak jelas) hukumnya atas mereka dari kalangan imam-imam, maka ditulis dalam kertas bahwa kedua shalat itu dianjurkan, karena tulisan itu salah dalam hal itu. Syaikh Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Ismail Al-
Maqdasi telah menulis sebuah kitab yang berharga dalam membatalkan keduanya (shalat Raghaib dan shalat nisfu Sya’ban), maka beliau telah menjelaskannya dengan baik dan mantap.” (Al-Majmu’, Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi, jilid 3, hal. 476).
Seorang tokoh ulama Hanabilah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat 728 H) berkata, “Adapun puasa pada hari Nisfu Sya’ban secara khusus, maka tidak ada dasar (dalil)nya, bahkan mengkhususkannya makruh. Demikian pula menjadikannya suatu musim perayaan di mana padanya dibuat berbagai macam makanan, diperlihatkan perhiasan, adalah termasuk musim perayaan yang bid’ah yang tidak ada dasar (dalil)nya. Dan demikian pula bid’ah yang dilakukan pada malam nisfu Sya’ban yaitu berkumpulnya orang-orang secara umum untuk melakukan shalat Alfiyyah di masjid-masjid Jamik, masjid-masjid kecil, rumah-rumah, dan pasar-pasar, maka perkumpulan ini untuk melakukan shalat sunnat yang terikat dengan waktu, jumlah rakaat dan bacaan itu makruh yang tidak disyariatkan, karena hadits yang datang mengenai shalat Alfiyyah adalah maudhu’ (palsu) berdasarkan kesepakatan para ulama hadits. Dengan demikian, maka tidak boleh menganjurkan shalat atas dasar ini.” (Iqtidha’ Ash-Shirath Al-Mustaqim Mukhalifah Ashhabi Al-Jahim, Ibnu Tamiyyah, hal. 259).
Dalam kitabnya “Lathaif Al-Ma’arif”, seorang tokoh ulama Hanabilah Imam al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali (wafat 795 H) berkata, “Kalangan tabi’in dari penduduk Syam seperti Khalid bin Ma’dan, Makhul, Lukman bin Amir dan lainnya mengagungkan Malam Nisfu Sya’ban dan bersungguh-sungguh dalam beribadah padanya. Dari mereka inilah orang-orang mengambil keutamaan dan pengagungan malam nisfu Sya’ban. Ada ulama masa ini yang mengatakan bahwa riwayat-riwayat israiliyyat telah sampai kepada mereka. Maka ketika menjadi tersohor perbuatan mereka di berbagai negeri, maka orang-orang pun berbeda pendapat. Sebahagian mereka menerima dan menyetujui mereka dalam pengagungan malam nisfu Sya’ban. Di antara mereka adalah penduduk Bashrah dan lainnya. Kebanyakan para ulama Hijaz mengingkari hal itu, di antara mereka adalah Atha’ dan Ibnu Abi Malikah. Abdurrahman bin Zaid bin Aslam menukilkannya dari fuqaha penduduk Madinah. Ini adalah pendapat murid-murid Imam Malik dan lainnya.
Mereka berkata, “Hal itu semuanya bid’ah”. (Lathaif Al-Ma’arif Fi ma li Mawasimil ‘Am minal Wazha’if, Abdurrahman bin Rajab Al-Hanbali, hal. 177).
Imam Al-Hafizh Ibnu Rajab juga berkata, “Telah diriwayatkan dari Ikrimah dan lainnya dari para ulama tafsir dalam menjelaskan firman Allah, “Pada (malam itu) dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah,” (Ad-Dukhan: 4) yaitu malam nisfu Sya’ban. Adapun menurut kebanyakan para ulama adalah malam Lailatul Qadar. Inilah pendapat yang benar.” (Lathaif Al-Ma’arif Fi ma li Mawasimil ‘Am minal Wazha’if, Abdurrahman bin Rajab Al-Hanbali, hal. 181).
Dalam kitabnya “Fathul Mu’in”, seorang ulama Asy-Syafi’yyah Imam Zainuddin Al-Maliabari (wafat 987 H) berkata, ”Adapunshalat yang populer pada malam Raghaib, nisfu Sya’ban dan pada hari ’Asyura maka itu adalah bid’ah qabihah (yang buruk), dan hadits-haditsnya madhu’ (palsu). (Fathul Mu’in, Zainuddin Al-Maliabari, jilid 1, hal. 458).
Beliau juga berkata dalam kitab Irsyadul Ibad, “Di antara bid’ah mazmumah (yang tercela) yang berdosa pelakunya dan wajib atas pemimpin melarang pelakunya adalah shalat raghaib dua belas raka’at di antara dua Isya pada malam Jum’at pertama dari bulan Rajab, dan shalat malam nisfu Sya’ban seratus raka’at, shalat akhir Jum’at dari bulan Ramadhan sebanyak tujuh belas raka’at dengan niat mengqadha shalat lima waktu yang belum diqadha, dan shalat hari ‘Asyura empat raka’at atau lebih serta shalat usbu’ (sepekan). Adapun hadits-haditsnya maudhu” (palsu) dan batil, tidak berubah hukumnya dengan orang yang menyebutkannya.” (Hasyiah I’anah Ath-Thalibin, Abu Bakar Ad-Dimyathi Al-Bakari, jilid 1, hal. 458).
Imam Asy-Syaukani (wafat 1250 H) berkata, “Hadits: “Wahai Ali, barangsiapa shalat seratus rakaat pada malam Nisfu Sya’ban, pada setiap raka’at membaca al-Fatihah, qul huwallahu ahad sepuluh kali, niscaya Allah akan memenuhi semua kebutuhannya…sampai akhir hadits adalah maudhu’. Pada lafazh-lafazhnya yang menjelaskan pahala yang diperoleh pelakunya itu tidak diragukan lagi bagi orang mampu membedakan kepalsuannya. Para perawinya majhulun (orang-orang yang tidak diketahui). Hadits ini diriwayatkan dengan jalur kedua dan ketiga. Semuanya maudhu’. Para perawinya majahil (orang-orang yang tidak diketahui). Penulis kitab al-Mukhtashar berkata, “Hadits shalat malam Nisfu Sya’ban itu batil. Ibnu Hibban meriwayatkan hadits Ali: “Apabila malam nisfu Sya’ban datang maka shalatlah pada malamnya dan puasalah pada siangnya”. Hadits ini dhaif.” Penulis kitab “Allalai (imam As-Sayuthi) berkata, “hadits shalat seratus rakaat dengan membaca surat al-Ikhlas tiga puluh kali adalah maudhu’ (palsu). Dan hadits shalat empat belas rakaat adalah maudhu’. Kebanyakan perawinya dalam tiga jalur itu majahil (tidak diketahui) dan dhuafa’ (lemah). Ia juga berkata, “Hadits shalat dua belas rakaat dengan membaca surat al-Ikhlash tiga puluh kali adalah maudhu’. Dan hadits shalat empat belas adalah maudhu’.” (Al-Fawaid Al-Majmu’ah, Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, hal. 55).
Kemudian Imam Asy-Syaukani berkata, “Telah tertipu dengan hadits ini sekelompok ulama fiqh seperti penulis kitab Ihya’ Ulumiddin dan lainnya. Demikian pula para ulama tafsir. Telah diriwayatkan shalat malam ini (yakni shalat nisfu Sya’ban) dari berbagai riwayat. Semuanya batil dan maudhu’. Ini tidak menafikan riwayat At-Tirmizi dari hadits Aisyah mengenai perginya Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam ke baqi’ (pekuburan di Madinah), dan turunnya Allah pada malam Nisfu Sya’ban ke langit dunia, dan Allah mengampuni kebanyakan orang sebagaimana jumlah bulu kambing. Karena, yang menjadi pembicaraan adalah mengenai shalat ini pada malam ini. Meskipun hadits Aisyah ini dhaif dan terputus sanadnya. Sebagaimana hadits Ali yang telah disebutkan sebelumnya mengenai shalat pada malamnya tidak menafikan shalat ini palsu, meskipun hadits Ali ini dhaif sebagaimana telah kami sebutkan.” (Al-Fawaid Al-Majmu’ah, Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, hal. 55).
Syaikh Al-Mubarakfuri (wafat 1353 H) menukilkan perkataan Syaikh Imam Ali Al-Qari, ia berkata di kitabnya Al-Mirqat, “Ketahuilah bahwa yang disebut di kitab Al-Laa’ii bahwa seratus rakaat pada nisfu Sya’ban dengan membaca surat Al-Ikhlash dalam setiap rakaat dengan panjang keutamaannya seperti yang diriwayatkan oleh Ad-Dailami dan yang lainnya adalah riwayat palsu. Dan di sebahagian ar-rasail, Ali bin Ibrahim berkata, “Dan di antara perkara baru yang diada-adakan dalam agama pada malam nisfu Sya’ban adalah shalat Alfiyyah seratus rakaat dengan membaca surat Al-Ikhlash sepuluh sepuluh dengan berjama’ah, mereka lebih mementingkannya dari shalat Jum’at dan shalat hari raya, tidak ada hadits yang menjelaskannya, dan tidak pula atsar (perkataan sahabat, melainkan lemah atau palsu. Dan janganlah kamu terpedaya dengan apa yang disampaikan oleh penulis kitab “Qutul Qulub” dan “Al-ihya’ Ulumiddin” serta selain kedua kitab tersebut. Bagi orang awam, dengan shalat ini menjadi fitnah yang besar, sehingga banyak orang yang melazimkan dengan sebabnya, dan timbul kemaksiatan dan pelanggaran hukum yang diharamkan yang tidak cukup untuk menjelaskannya, sehingga para wali khawatir azab, sehingga mereka lari dari padanya ke tempat yang aman.” (Tuhfah Al-Ahwazi bi Syarhi Jami’ AtTirmizi, Al-Mubarakfuri, jilid 3, hal. 504 – 505).
Selanjutnya Syaikh Al-Mubarakfuri berkata, “Dan yang pertama diadakan shalat ini di Baitul Maqdis pada tahun 448 H.” Lalu ia menukilkan perkataan Ali Qari, ia berkata, “Para imam masjid yang bodoh telah menjadikannnya bersama dengan shalat Raghaib dan yang seumpama keduanya perangkap untuk mengumpulkan orang awam, untuk mencari jabatan dan mencari materi, kemudian Allah menjadikan para ulama yang diberi petunjuk untuk menghapuskannya, maka hilanglah urusan ini, dan berhasil dihapuskannya (shalat ini) di negeri Mesir dan Syam pada awal-awal abad ke abad ke delapan. Ada pendapat lain, pertama kali muncul api fitnah ini dari kelompok al-Baramikah, mereka penyembah api. Ketika masuk Islam, mereka memasukkan ke dalam Islam apa yang mereka mengira bahwa itu ajaran agama Islam, dan tujuan mereka mereka untuk menyembah api, di mana mereka ruku’ dan sujud bersama kaum muslimin kepada api itu, dan tidak datang dalam syariat anjuran tambahan waqid atas hajat dalam suatu tempat, dan apa yang dilakukan oleh orang awam yang berhaji dari waqid di jabal Arafat, Masy’aril Haram dan Mina maka itu termasuk persoalan ini. (Tuhfah Al-Ahwazi bi Syarhi Jami’ AtTirmizi, Al-Mubarakfuri, jilid 3, hal. 505).
Syaikh Al-Mubarakfuri juga berkata: “Saya tidak menemukan hadits marfu’ yang shahih dalam puasa nisfu Sya’ban. Adapun hadits Ali radhiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan redaksi, “Jika malam nisfu Sya’ban tiba, maka lakukan shalat malam harinya dan berpuasalah pada siangnya, karena Allah turun pada malam itu pada saat matahari tenggelam ke langit dunia, lalu Dia berfirman, “Adakah orang yang memohon ampun, maka Aku pasti mengampuninya? adakah orang yang meminta rezki, maka Aku pasti memberinya? Adakah orang yang tertimpa musibah, maka Aku akan menyelamatkannya? adakah ini, adakah itu… hingga fajar terbit.” saya telah mengetahui bahwa hadits ini adalah dhaif jiddan (sangat lemah).”
Dan Ali radhiyallahu ‘anhu memiliki hadits yang lain yang redaksinya berbunyi, “Jika pada hari itu seseorang berpuasa, maka ia seperti berpuasa enam puluh tahun yang lalu dan enam puluh tahun yang akan datang.” Hadits ini diriwayatkan oleh Umam Ibnul Jauzi dalam “Al-Maudhu’at” (hadits-hadits palsu), dan dalam komentarnya ia berkata: hadits ini palsu, dan sanadnya gelap. (Tuhfah Al-Ahwazi bi Syarhi Jami’ AtTirmizi, Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri, jilid 3, hal. 505).
Al-Mubarakfuri juga berkata, “Ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan malam yang diberkahi dalam firman Allah ta’ala, “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada malam yang diberkahi. Sungguh, Kamilah yang memberi peringatan. Pada (malam itu) dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (Ad-Dukhan 3-4). Menurut jumhur ulama adalah malam Lailatul Qadar. Pendapat lain mengatakan malam nisfu Sya’ban. Pendapat jumhur ulama itulah yang benar.” (Tuhfah Al-Ahwazi bi Syarhi Jami’ AtTirmizi, jilid 3, hal. 504).
Dalam kitab tafsirnya, Imam Ibnu Katsir (wafat 774 H) berkata, “Barangsiapa yang mengatakan bahwa malam yang diberkahi itu adalah malam nisfu Sya’ban, maka sungguh jauh dari kebenaran. Karena, nash Al-Qur’an menunjukkan bahwa malam yang diberkahi itu adalah dalam bulan Ramadhan.” (Tafsir Ibnu Katsir, jilid 7, hal. 158).
Dalam kitabnya “Al-Fatawa”, Syaikhul Azhar Mahmud Syaltut (wafat 1383 H) berkata, “Yang shahih dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan diriwayatkan dari para shahabat serta diterima oleh para ulama itu hanya keutamaan bulan Sya’ban semua harinya, tidak ada beda antara satu malam dengan malam lainnya. Secara umum, dianjurkan pada bulan Sya’ban untuk memperbanyak ibadah dan amal kebaikan. Secara khusus, dianjurkan memperbanyak puasa untuk melatih diri berpuasa dan untuk menyiapkan diri menyambut Ramadhan agar tidak mengejutkan orang-orang dengan perubahan kebiasaan mereka maka menyusahkan mereka. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pernah ditanya:
“Puasa apa yang paling utama setelah Ramadhan? Beliau menjawab puasa Sya’ban untuk mengagungkan bulan Ramadhan.” Mengagungkan bulan Ramadhan itu dengan cara menyambutnya dengan baik dan merasa nyaman dengan Ramadhan dengan ibadah padanya dan tidak bosan dengannya. Adapun mengkhususkan malam nisfu Sya’ban dan berkumpul untuk menghidupkan malamnya dengan amalan tertentu, shalat dan doa malam nisfu Sya’ban, maka itu semua tidak ada satupun dalil yang shahih dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan tidak dikenal oleh seorangpun dari generasi awal umat (para sahabat).” (Al-Fatawa, hal. 165-166).
Selanjutnya Syaikh Mahmud Syaltut berkata, “Penting bagi saya untuk mengutip apa yang ditulis oleh Syaikh Imam Muhammad Abduh mengenai tafsir ayat “Malam yang diberkahi” (surat Adh-Dhukhan ayat 3-4) dalam tafsirnya “Juz amma”.
Syaikh Imam Muhammad Abduh berkata, “Adapun apa yang dikatakan oleh kebanyakan orang -bahwa “malam yang diberkahi yang dijelaskan semua urusan dengan hikmah padanya” (sebagaimana disebutkan dalam surat Ad-Dukhan ayat 3-4) adalah malam nisfu Sya’ban, dan “urusan-urusan yang dijelaskan padanya” adalah rezki-rezki dan umur-umur, dan demikian pula apa yang mereka katakan semisal itu dalam malam Lailatul Qadar perkataan mereka itu adalah kelancangan berbicara dalam persoalan ghaib tanpa hujjah yang qath’i (pasti). Padahal kita tidak boleh meyakini sesuatu dari itu selama belum datang hadits mutawatir dari orang yang ma’shum shallallahu’alaihi wa sallam, namun dalam hal ini tidak ada dalilnya, karena riwayat-riwayatnya muththarib (redaksinya berbeda satu sama lainnya) dan kebanyakannya lemah, serta banyak kedustaan darinya. Riwayat seperti ini tidak boleh diamalkan dalam persoalan aqidah.
Dan yang semisal dengan itu dikatakan dalam Baitul Izzah dan turunnya Al-Qur’an padanya dengan sekaligus pada malam itu. Maka ini tidak boleh masuk dalam aqidah agama karena tidak ada hadits yang mutawatir dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, dan kita tidak boleh mengamalkannya dengan zhan (dugaan) dalam persoalan aqidah seperti ini. Jika tidak, maka kita termasuk dalam kecaman orang-orang yang dikatakan terhadap mereka dalam ayat, ”Dan mereka tidak mempunyai ilmu tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti dugaan, dan sesungguhnya dugaan itu tidak berfaidah sedikipun terhadap kebenaran.” (An-Najm: 28) Nau’uzubillah (kami berlindung kepada Allah). Sungguh umat Islam telah mengalami musibah ini, musibah percampurbauran antara apa yang sah diyakini dari hal-hal yang ghaib yang dianggap termasuk aqidah agama dan antara apa yang diduga untuk beramal atas suatu keutamaan dari keutamaan-keutamaannya. Maka hati-hatilah agar kamu terjerumus seperti mereka” (Al-Fatawa, hal.166).
Mengomentari perkataan Imam Muhammad Abduh di atas, Syaikh Mahmud Syaltut berkata, ”Al-Ustaz Al-Imam memperingatkan kita dari mengamalkan persoalan aqidah dengan hukum zhan (dugaan), karena zhan itu tidak bersumber darinya keyakinan, dan zhan itu tidak berfaidah sedikitpun terhadap kebenaran. Beraqidah dengan zhan adalah perkataan atas nama (agama) Allah dengan tanpa ilmu. Berkata atas nama (agama) Allah dengan tanpa ilmu adalah perbuatan dosa dan pelanggaran di sisi Allah. Inilah manhaj Imam (Muhammad Abduh) dalam aqidah, dan manhajnya dalam menafsirkan kitabullah (Al-Qur’an) yaitu menempuh jalan dengan hujjah yang jelas dan beraqidah dengan hujjah yang qath’i serta menjauhi zhan (dugaan kuat) dan waham (dugaan lemah) dalam menafsirkan kitabullah. Semoga Allah memberikan rahmat kepada Imam (Muhammad Abduh). Dan kesalamatan bagi orang yang mengikuti petunjuk.” (Al-Fatawa: 166)
Syaikh Bin Baz berkata, “Termasuk bid’ah yang dibuat-buat oleh sebahagian orang, yaitu perayaan malam nisfu sya’ban, dan mengkhususkan siangnya dengan berpuasa, hal tersebut tidak memiliki sandaran dalil, dan memang telah ada beberapa hadits lemah yang menerangkan keutamaannya yang tidak bisa dijadikan landasan.” (Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah : 1/186).
Syaikh Al-‘Utsaimin (wafat 1421) pernah ditanya mengenai hukum mengkhususkan hari ke 15 dari bulan Sya’ban dengan zikir-zikir khusus, membaca Al-Qur’an, puasa dan Shalat. Maka beliau berkata, “Yang benar bahwa puasa nisfu Sya’ban atau mengkhususkannya dengan membaca Al-Qur’an atau dengan zikir itu tidak ada dasar hukumnya. Nisfu Sya’ban itu sama seperti hari-hari pertengahan bulan-bulan lainnya. Dan sebagaimana diketahui bahwa kaum muslimin disyariatkan untuk berpuasa pada tiga ayyamul bidh setiap bulan hijriyyah. Namun Sya’ban memiliki keutamaan yang lebih dari bulan lainnya dalam memperbanyak puasa, karena Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berpuasa paling banyak di bulan Sya’ban dibandingkan hari-hari lainnya, sehingga beliau berpuasa seluruhnya kecuali beberapa hari saja. Oleh karena itu, sudah sepatutnya bagi seorang muslim jika tidak menyusahkannya untuk memperbanyak puasa di bulan Sya’ban mengikuti Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.” (Fatawa Fadhilah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 1, hal. 190).
Dalam kitabnya “Fiqh Al-Ibadat bi Adillatiha”, Syaikh Hasan Ayyub berkata: “Tidak ada hadits shahih mengenai puasa nisfu Sya’ban. Adapun kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang pada malam nisfu Sya’ban dengan berkumpul di masjid-masjid dan doa dengan doa’ khusus, semua itu bid’ah yang tidak ada asalnya dalam agama Allah ta’ala.” (Fiqh Al-Ibadat bi Adillatiha, Hasan Ayyub, hal. 421).
Hal yang sama juga dikatakan oleh Syaikh Sayyid Sabiq (wafat 1420 H) dalam kitabnya “Fiqh As-Sunnah”. Beliau berkata, “Mengkhususkan puasa pada hari nisfu Sya’ban dengan menyangka bahwa hari-hari tersebut memiliki keutamaan dari pada hari lainnya, tidak memiliki dalil yang shahih.” (Fiqh As-Sunnah, Sayyid Sabiq, jilid 1, hal. 416).
Begitu pula Syaikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi (wafat 1444 H) dalam kitabnya “Fiqh Ash-Shiyam”. Beliau berkata, “Perlu kami ingatkan bahwa yang dilarang dalam puasa yang bid’ah ini (puasa nisfu Sya’ban) yaitu mengkhususkan puasa pada hari itu. Namun jika seseorang berpuasa hari itu dengan puasa sunnat yang biasa dia lakukan seperti puasa Senin dan Kamis, atau pertengahan bulan (hari ke 13, 14 dan 15 bulan hijriah), maka itu tidak dilarang dan tidak ada masalah.” (Fiqh Ash-Shiyam, Yusuf Al-Qaradhawi, hal. 138).
Syaikh Shalih bin Fauzan ditanya tentang hukum menghidupkan malam nisfu Sya’ban dengan ibadah dan puasa pada siang harinya (tanggal 15 sya’ban). Beliau berkata, “Tidak ada dalil yang shahih dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam yang mengkhususkan shalat pada malam nisfu Sya’ban untuk shalat malam secara khusus dan tidak pula puasa pada siang harinya secara khusus. Tidak ada satupun riwayat dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam yang bisa dijadikan sandaran untuk hal ini. Malam nisfu Sya’ban itu seperti juga halnya malam-malam lainnya, jika seseorang terbiasa melakukan shalat malam maka dia boleh melakukan shalat malam padanya seperti hari-hari lainnya, tanpa meyakini keutamaannya, karena mengkhususkan waktu tertentu untuk melakukan suatu ibadah harus berdasarkan dalil yang shahih (yang menunjukkannya). Jika tidak ada dalil shahih maka perbuatan itu adalah bid’ah, sedangkan setiap bid’ah itu kesesatan. Demikian pula puasa pada hari ke 15 atau nisfu Sya’ban, tidak ada dalil shahih satupun dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan disyariatkannya puasa pada hari tersebut.”
Selanjutnya beliau berkata, “Adapun hadits-hadits yang terdapat dalam masalah ini, semuanya adalah hadits dhaif (lemah) sebagaimana dikemukakan oleh para ulama. Akan tetapi bagi orang yang memiliki kebiasaan berpuasa pada ayyamul bidh (tanggal 13, 14, 15 bulan hijriah), maka ia boleh melakukan puasa pada pertengahan Sya’ban seperti bulan-bulan lainnya tanpa mengkhususkan hari itu saja, sebagaimana Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam pun berpuasa dan membanyak puasa pada bulan ini (Sya’ban), tapi tidak mengkhususkan hari tersebut (pertengahannya yakni tanggal 15 Sya’ban). Hanya saja hari tersebut termasuk di dalamnya (tanpa beliau khususkan).” (Nurun ‘ala ad-Darbi, Fataawa Fadhilah Asy- Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, jilid 1, hal. 97).
Syaikh Abu Malik berkata, “Barangsiapa yang tidak terbiasa memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban atau puasa 3 hari ayyamil bidh, maka ia mengkhususkan puasa pada hari ke 15 dari bulan Sya’ban dengan meyakini kekhususan keutamaannya, maka perbuatannya itu bid’ah, karena tidak ada satupun hadits shahih mengenai keutamaan nisfu Sya’ban dan puasanya. Semua hadits yang datang mengenai hal ini adalah sangat lemah atau palsu seperti hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh Ali radhiyallahu anhu: “Apabila datang malam nisfu Sya’ban, maka hidupkanlah malamnya dengan ibadah dan puasalah pada siang harinya..” (Shahih Fiqh As-Sunnah, Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, juz 2, hal. 136).
Syaikh Muhammad Abdussalam berkata, “Dalam Tazkiratul Maudhu’at, Al-Fattani menyebutkan bahwa shalat Alfiyyah yang dilakukan pada malam nisfu Sya’ban sebanyak 100 rakaat dengan membaca surat Al-Ikhlas 10 kali dengan 10 kali salam secara berjama’ah, hanya didasarkan pada hadits yang dhaif dan yang maudhu’. Jangan terkecoh dengan bahwa hal itu pernah dituliskan dalam Qutul Qulub, Ihya’ Ulumiddin, dan tafsir Ats-Tsa’labiy bahwa malam tersebut malam Lailatul Qadar. Menurut Al-‘Iraqi, hasits tentang shalat nisfu Sya’ban adalah tidak shahih. Dan oleh Ibnul Jauzi dihukumi sebagai hadits palsu.” (Bid’ah-Bid’ah Yang Dianggap Sunnah, Muhammad Abdussalam, hal. 156).
Syaikh Muhammad Abdussalam juga berkata, “Hadits: “Pada malam Nisfu Sya’ban, shalatlah dan berpuasalah pada siang harinya.” Hadits ini diriwayatkan oleh
Ibnu Majah dari Ali. Menurut penulis Hasyiyah Ibnu Majah, isnadnya dhaif karena terdapat nama Ibnu Abi Basarah, Ahmad, dan Ibnu Ma’in. Dua orang terakhir bahkan dicap sebagai pembuat hadits palsu.” (Bid’ah-Bid’ah Yang Dianggap Sunnah, Muhammad Abdussalam, hal. 156).
Beliau juga berkata, “Shalat enam rakaat pada malam nisfu Sya’ban dengan niat untuk menolak bala’, panjang umur, dan untuk kekayaan, juga membaca surat Yasin beserta doanya merupakan perkara baru yang diada-adakan dalam agama dan bertentangan sunnah Rasul. (Bid’ah-Bid’ah Yang Dianggap Sunnah, Muhammad Abdussalam, hal. 156).
Syaikh Hammud bin Abdullah Al-Mathar dalam kitabnya “Al-Bida’ Wa Al-Muhdatsaat Wa Maa Laa Ashla Lahu” menjelaskan tentang bid’ahnya mengkhususkan ibadah tertentu pada nisfu Sya’ban seperti shalat malam nisfu Sya’ban, puasa pada siang hari nisfu Sya’ban, bersedekah, baca Al-Qur’an dan memperingati malam nisfu Sya’ban. Beliau menukilkan perkataan Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah li Al-Buhuts wal al-Ifta’ (Lembaga Tetap Untuk Penelitian dan Fatwa) kerajaan Arab Saudi.
Demikian penjelasan para ulama mengenai hukum amalan khusus pada malam nisfu Sya’ban dan siangnya. Berdasarkan penjelasan para ulama di atas, maka jelaslah bahwa mengkhususkan malam nisfhu Sya’ban dengan shalat tertentu seperti shalat Alfiyyah, Raghaib, Tasbih, atau shalat lainnya, zikir dan doa khusus nisfu Sya’ban, dan sebagainya, dan mengkhususkan siangnya dengan puasa adalah bid’ah, karena tidak ada dalil yang shahih (hadits shahih) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak pula diamalkan oleh seorangpun dari kalangan para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum.
Kesimpulannya, menurut para ulama, tidak ada dalil satupun yang shahih mengenai amalan khusus nisfu Sya’ban, baik malamnya maupun siangnya. Dalil-dalil yang menjelaskan keutamaan nisfu Sya’ban dan amalan khusus pada malam nisfu Sya’ban seperti shalat Alfiyyah, Raghaib, Tasbih, dan sebagainya, dan puasa khusus siang hari padanya adalah sangat lemah dan palsu. Adapun perbuatan amalan khusus nisfu Sya’ban yang dilakukan oleh sebahagian orang adalah perbuatan bid’ah yang dikecam dan diharamkan dalam agama.
Perlu diketahui bahwa seorang muslim yang terbiasa melakukan shalat malam seperti shalat sebelum tidur, tahajud dan Witir tetap disunnahkan menghidupkan malam nisfu Sya’ban sebagaimana malam-malam lainnya. Begitu pula orang-orang yang terbiasa melakukan puasa ayyamul bidh tetap disunnahkan berpuasa pada siang hari nisfu Sya’ban karena bertepatan dengan tanggal 15 yang merupakan salah satu ayyamul-bidh yang disunnahkan puasa padanya, namun dengan tidak diiringi keyakinan untuk menghidupkan atau meraih fadhilah nisfu Sya’ban secara khusus, sebab semua haditsnya lemah sekali dan bahkan palsu.
Tidak Ada Anjuran Para Ulama Mazhab Untuk Shalat Malam dan Puasa Nisfu Sya’ban
Penulis telah meneliti dan mengkaji masalah puasa dan shalat khusus pada nisfu Sya’ban dengan merujuk kepada kitab-kitab Fiqh karya para ulama mazhab yang mu’tamad dan mu’tabar dalam mazhab Asy-Syafi’i dan mazhab imam Ahmad bin Hanbal yang membahas topik puasa-puasa sunnat dan shalat-shalat sunnat, baik kitab turats (klasik) maupun mu’ashir (kontemporer). Namun penulis tidak menemukan anjuran para ulama mazhab untuk shalat malam pada malam nisfu Sya’ban dan puasa pada siang hari nisfu Sya’ban. Begitu pula tidak ada anjuran doa dan zikir khusus pada nisfu Sya’ban.
Di antara kitab-kitab Fiqh turats yang mu’tamad dan mu’tabar dalam mazhab Asy-Syafi’ yang penulis meneliti dan mengkajinya dalam persoalan ini yaitu Al-Umm karangan Imam Asy-Syafi’i (wafat 204 H), Muhkthashar Al-Muzani ‘ala Al-Umm karangan Imam Al-Muzani (wafat 264 H), Al-Muhazzab fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafi’i karangan Imam Abu Ishaq Asy-Syirazi (wafat 476 H), Al-Wajiz fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafi’i karangan Imam Al-Ghazali (wafat 505 H), Al-Bayan fi Mazhab Al-Imam Asy-Syafi’i karangan Imam Al-‘Imrani Asy-Syafi’i (wafat 558 H), Al-Mughni karangan Imam Ibnu Qudamah Al-Hanbali (wafat 620), Al-Muharrar fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafi’i karangan Imam Al-Qazwani (wafat 624 H), Minhaj Ath-Thalibin karangan Imam An-Nawawi (wafat 676 H), Al-Majmu’ karangan imam An-Nawawi (wafat 676 H), Tuhfah Al-
Muhtaj bi Syarhi al-Minhaj karangan Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami (wafat 676 H), Kifayah Al-Akhyar karangan Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Asy-Syafi’i (wafat 839 H), Al-Iqna’ fi Halli Alfazh Abi Syuja’ karangan Imam Ibnu Al-Khatib Asy-Syarbaini (wafat 977 H), Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhi Al-Minhaj karangan Imam Ibnu Al-Khatib Asy-Syarbaini (wafat 977 H), Fathu Al-Mu’in karangan Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Maliabari (wafat 987 H), Nihayatil Muhtaj ila syarhil minhaj karangan Syaikh Muhammad bin Syihabuddin Ar-Ramly (wafat 1004 H), Hasyiyatan Qalyubi wa ‘Umairah karangan Syaikh Syihabuddin Ahmad Al-Qalyubi (wafat 1069 H) dan Syaikh Syihabuddin Ahmad ‘Umairah (957 H), dan Hasyiah Asy-Syaikh Ibrahim Al-Bajuri (wafat 1277 H).
Di antara kitab-kitab Fiqh turats yang mu’tamad dan mu’tabar dalam mazhab Imam Ahmad bin Hanbal yang penulis meneliti dan mengkajinya dalam persoalan ini yaitu Al-Mughni karangan Imam Ibnu Qudamah (620 H), Zad Al-Ma’ad karangan Imam Ibnul Qayyim (wafat 751 H), dan Zad Al-Mustaqniq (wafat 960 H).
Di antara kitab-kitab Fiqh Mu’ashir (kontemporer) yang penulis meneliti dan mengkajinya dalam persoalan ini yaitu Fiqh As-Sunnah karangan Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqh Al’-‘Ibadat wa Adillatiha karangan Hasan Ayyub, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh karangan Syaikh Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Al-Islami karangan Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaili, Shahih Fiqh As-Sunnah karangan Syaikh Abu Malik, Fiqh Asy-Shiyam karangan Syaikh Prof. Dr.
Yusuf Al-Qaradhawi, Asy-Syarhu Al-Mumti’ karangan syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Muhktashar Al-Fiqh Al-Islami karangan Syaikh Muhammad At-Tuwaijiri, Al-Mulakhkhas Al-Fiqhi karangan Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan Al-Fiqh Al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa As-Sunnah karangan kumpulan ulama.
Penulis telah mengkaji penjelasan para ulama dalam kitab-kitab Fiqh mereka tersebut di atas mengenai topik puasa-puasa sunnat, namun mereka tidak menganjurkan dan tidak menyebutkan puasa nisfu Sya’ban sebagai puasa sunnat dalam kitab-kitab mereka. Begitu pula dalam topik shalat-shalat sunnat, mereka tidak menganjurkan dan menyebutkan shalat khusus pada malam nisfu Sya’ban seperti shalat Alfiyyah, Raghaib, Tasbih atau lainnya sebagai shalat sunnat khusus di bulan Sya’ban.
Hukum dan Bahaya Bid’ah
Bid’ah adalah mengada-adakan perkara baru dalam agama (ibadah dan aqidah). Maksud perkara baru yaitu tidak ada dalil dari Al-Qur’an dan Hadits yang shahih. Dikatakan “perkara baru” karena tidak ada petunjuk atau contoh dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum. Seandainya ada dalil yang shahih dari mereka, maka ini bukan perkara baru, namun disebut sunnah. Oleh karena itu, penyebab utama bid’ah adalah mengamalkan hadits dhaif dan palsu. Maka bid’ah itu lawan dari sunnah.
Ibadah dan aqidah itu bersifat tauqifiyyah. Maknanya, ibadah dan aqidah itu wajib berdasarkan dalil (petunjuk) dari Al-Qur’an atau hadits yang shahih. Karena, agama Islam ini milik Allah ta’ala. Maka tidak boleh ditambah atau dikurangi. Tidak ada seorangpun yang berhak membuat syariat (hukum agama) kecuali Allah saja. Hanya Allah ta’ala yang berhak membuat syariat.
Oleh karena itu, Allah ta’ala mengecam perbuatan bid’ah dengan firman-Nya, “Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang menetapkan aturan agama bagi mereka yang tidak diizinkan (diridai) Allah?…” (Asy-Syura: 21).
Syariat Islam ini sudah sempurna. Maka tidak perlu ditambah atau dikurangi. Perbuatan bid’ah berarti menambah atau mengurangi hukum yang telah ditetapkan Allah ta’ala dalam Al-Qur’an dan hadits Rasul-Nya. Maka secara tidak langsung, orang yang melakukan bid’ah telah menuduh atau meyakini bahwa syariat Islam ini belum sempurna dan Nabi shallahu ‘alai wa sallam belum menunaikan amanahnya dengan sempurna. Bahkan merusak syariat Allah ta’ala. Inilah bahaya bid’ah.
Para ulama sepakat mengatakan bahwa suatu ibadah akan diterima jika memenuhi dua syarat yaitu ikhlas dan mengikuti petunjuk (sunnah) Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam. Ibadah yang dikerjakan tidak berdasarkan Al-Qur’an atau hadits yang shahih maka ibadah tersebut tidak akan diterima oleh Allah ta’ala, bahkan menuai kecaman dan murka-Nya. Inilah bahaya bid’ah.
Allah ta’ala mengecam perbuatan bid’ah dan melarangnya di dalam Al-Qur’an. Begitu pula Rasul-Nya shallahu ‘alaihi wasallam di dalam hadits-hadits yang shahih.
Oleh karena itu, bid’ah hukumnya haram berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ para ulama. Dengan demikian, agama Islam terjaga keasliannya sampai hari Kiamat dengan ayat-ayat dan hadits yang mengharamkan bid’ah. Allah lah yang menjaga Islam melalui lisan Nabi dan para ulama yang mengikuti.
Banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan keharaman bid’ah, di antaranya:
Allah ta’ala berfirman, “Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa.” Maka barangsiapa
mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Al-Kahf: 110)
Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut, ia berkata, “firman Allah, “Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih” maksudnya sesuai dengan syariat Allah.” Firman Allah, “Dan janganlah ia mempersekutukan dengan sesuatupun dalam beribadah kepada Tuhan-Nya.” yaitu yang dimaksudkan karena Allah ta’ala semata-mata dan tidak ada sekutu baginya. Inilah dua rukun amal yang diterima di sisi Allah ta’ala, yaitu harus dilakukan dengan ikhlas dan sesuai dengan syariat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir Ibnu Katsir: 5/130).
Dalam kitabnya Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam, Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali menukilkan perkataan Fudhail bin ‘Iyadh yang menafsirkan firman Allah, “..untuk menguji kamu siapa di antara kamu yang paling baik amalnya..” (Al-Mulk: 2).
Fudhail bin Iyadh berkata, “Yaitu yang paling ikhlas dan benar. Suatu amalan jika dikerjakan secara ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Sebaliknya, jika dikerjakan secara benar namun tidak ikhlas maka tidak diterima pula. Amalan tersebut baru diterima jika dikerjakan dengan ikhlas dan benar. Ikhlas itu maknanya hanya semata-mata karena Allah ta’ala. Sedangkan benar itu jika sesuai dengan sunnah Rasul.” (Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam, 1/72)
Dalil lainnya, firman Allah ta’ala, “Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan. (Al-Furqan: 23)
Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas, ia berkata, “Setiap amal yang tidak ikhlas dan tidak pula di atas petunjuk syariat yang diridhai oleh Allah ta’ala, maka amalan itu batil.” (Tafsir Ibnu Katsir: 6/10).
Menafsirkan ayat diatas, Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata, “Amal yang diterima oleh Allah ta’ala adalah apa yang keluar dari seorang mukmin yang ikhlas dan yang membenarkan para rasul dan mengikuti mereka dalam amal itu.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman fii Tafsir Al-Karim Al-Mannan, hal. 808).
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru dalam urusan agama kami ini yang bukan berdasarkan petunjuk darinya, maka ia tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat yang lain, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak berdasarkan petunjuk agama kami (Al-Qur’an dan As-Sunnah), maka ia tertolak.” (HR. Muslim).
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wajib kepada kamu mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafaurrasyidin. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham. Dan jauhilah oleh kamu perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap perkara yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah a dalah kesesatan.” (HR. Abu Daud, At-Tirmizi, Ibnu Majah dan Ahmad).
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah (Al-Qur’an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama), dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat yang lain, “Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah kitabullah (Al-Qur’an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama), setiap perkara yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan (tempatnya) dalam neraka.” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i).
Mengingat keharaman dan bahaya bid’ah, maka kita harus berhati-hati dalam melakukan suatu ibadah. Pastikan suatu ibadah dilakukan berdasarkan dalil yang shahih. Jangan sampai mengamalkan hadits lemah dan palsu, agar tidak terjerumus dalam perbuatan bid’ah. Karena penyebab bid’ah adalah mengamalkan hadits dhaif dan palsu dalam persoalan agama (ibadah dan aqidah).
Adapun mengamalkan hadits palsu dengan sengaja maka hukumnya haram. Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berdusta atas diriku dengan sengaja, maka tempatnya dalam neraka.” (HR. Al-
Bukhari). Hukum ini berlaku bagi orang yang menceritakan, menyebarkan dan mengamalkan hadits palsu dengan sengaja. Karena ia telah berdusta atas Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dengan sengaja. Ini sangat berbahaya. Karena ucapan, perbuatan dan ketetapan Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam adalah syariat.
Orang yang mengetahui atau diberitahu mengenai suatu hadits palsu, lalu ia menceritakan, menyebarkan atau mengamalkannya, maka ia telah berdusta atas diri Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dengan sengaja. Maka ia telah melakukan perbuatan haram. Dengan kata lain, ia telah melakukan dosa besar. Maka ibadahnya dengan bersandar kepada hadits palsu ini adalah perbuatan bid’ah yang dikecam dan diharamkan dalam Islam.
Oleh karena, para ulama telah membuat suatu kaidah Ushul Fiqh terkait ibadah yaitu “Al-Ashlu fil ‘ibadah lit tahrim illa ma dalla dalilu ‘ala khilafihi” (Pada asalnya ibadah itu haram dilakukan kecuali ada dalil yang menunjukkan bahwa ia tidak haram). Kaidah ini dibuat oleh para ulana berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits shahih yang mengharamkan bid’ah tersebut di atas. Untuk memudahkan mengingat dan mengamalkan Al-Qur’an dan hadits-hadits tersebut, maka para ulama membuat dan mengajarkan kaidah ini.
Akhirnya mari kita beribadah kepada Allah ta’ala sesuai dengan dalil yang shahih agar ibadah kita diterima oleh Allah ta’ala dan tidak menuai murka-Nya. Semoga Allah ta’ala memberi petunjuk kepada kita untuk
mengikuti Sunnah Nabi shallahu ‘alaihi wa salam dan menjauhkan kita dari perbuatan bid’ah yang diharamkan oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallahu ‘alaihi wa sallam. Aamin…!
Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA, Ketua PC Muhammadiyah Syah Kuala Banda Aceh, Dosen Ushul Fiqh Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry