Sandal Nabi Musa
Oleh: Bahrus Surur-Iyunk
Sebagaimana dikisahkan dalam QS. Al-Qashash, Nabi Musa yang sudah beranjak dewasa itu mencoba memasuki kota Memphis saat penduduknya sedang lengah. Pada hati itu, ia mendapati dua orang yang sedang bertengkar. Satu orang dari kaumnya Fir’aun dan satunya lagi dari Bani Israil. Lelaki Bani Israil itu berteriak meminta tolong kepada Musa. Musa pun datang dan memukulnya hingga mati. Saat itu juga Musa menyadari kesalahan dan memohon ampun kepada Allah.
Atas kejadian itu, para pembesar kota Memphis pun berencana membunuh Musa. Untuk menghindari itu, Musa pun melarikan diri ke luar kota sambil berdoa, “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu. Mudah-mudahan Tuhanku memimpin dan menunjukkanku ke jalan yang benar.” Dalam kondisi apapun tampaknya Musa tidak pernah melepaskan diri dari dekapan kepasrahan kepada Tuhannya.
Sampai di pinggiran kota Madyan, tepatnya di sebuah sumber mata air, Musa dipertemukan dengan dua orang perempuan yang sedang menghambat ternaknya. Mereka harus menunggu penggembala-penggembala lain hingga pulang. Musa pun membantu mereka berdua. Setelah mereka semua pulang, Musa rupanya merasa lapar dan berdoa lagi kepada Allah, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat butuh sesuatu (makanan) yang Engkau turunkan kepadaku.” Lagi-lagi, Musa memohon kepada Tuhannya, meski hanya urusan makan.
Rupanya, kedua perempuan itu adalah putri Nabi Syuaib. Atas bantuannya memberi minum ternaknya, Nabi Syuaib pun menikahkan dengan salah seorang putrinya. Saat merasa cukup tinggal di negeri Madyan, Musa bersama istrinya berangkat menuju kampung halamannya. Di tengah perjalanan malam mereka, mereka berhenti sejenak untuk beristirahat.
Anehnya, api yang biasanya mudah dinyalakan itu tidak segera nyala. Dalam kegelapan itulah Musa diperlihatkan api oleh Allah. Musa pun penasaran dan meminta ijin kepada istrinya untuk mendatangi pusat api itu. Pada saat Musa sampai di pusat nyala api itu, dia dipanggil, sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Taha ayat 11-12, “Wahai Musa! Sungguh, aku adalah Tuhanmu, maka lepaskan kedua sandalmu (na’laika), karena sesungguhnya engkau berada di lembah yang suci, Tuwa.”
Kata sandal atau “na’laika” hanya disebut sekali dalam Al-Quran (QS. Taha: 12). Dan itu adalah sandal Nabi Musa. Banyak mufassir yang bertanya, “Mengapa sandalnya Musa harus dilepas saat memasuki lembah Tuwa?” Tentu saja, jika direnungkan (tadabbur) ada banyak hikmah yang bisa dimabil. Pertama, bahwa Nabi Musa hendak mendapatkan wahyu atau ilmu dari Allah, maka ia harus bersih dan suci secara jasmaniah. Sandal merupakan symbol “kekotoran” karena ia menginjak berbagai macam kotoran yang ada di tanah. Tetapi, sandal juga melindungi seseorang dari kotor dan najis.
Karenanya, seseorang yang hendak menuntut ilmu harus bersih secara fisik. Jangan sampai mengganggu sesame teman (jamaah) penuntut ilmu lainnya gara-gara rasa bau yang menyengat dan tidak sedap. Bersih secara jasmaniah juga merupakan bagian dari penghormatan kepada guru. Sebagaimana kata syair, “Sesungguhnya guru dan dokter itu tidak akan memberikan nasihat kepadamu sebelum keduanya dihormati dan dimuliakan.”
Kedua, bahwa menuntut ilmu, termasuk di dalamnya mengikuti kajian dan pengajian, itu harus bersih dan suci secara ruhaniah. Ia harus melepaskan seluruh “pakaian” yang menempel dalam dirinya, terutama baju merasa lebih baik dari orang lain (takabbur).
Sandal adalah salah satu pakaian. Tidak akan masuk dan bisa menerima ilmu manakala seseorang masih melihat siapa dirinya dan siapa yang menyampaikan ilmu. Sulit akan menerima ilmu manakala seseorang masih merasa lebih tua dan berpengalaman daripada anak muda yang menyampaikan materi. Apalagi seorang pejabat (atasan) yang karena posisinya ia sulit menerima masukan dari bawahannya. Karenanya, pesan Ali bin Abi Thalib, “Lihatlah kepada apa yang disampaikan, dan janganlah melihat siapa yang menyampaikan.” Wallahu a’lamu.