Literasi Menjaga Nalar Kebangsaan
Oleh: Agusliadi Masssere
Indonesia sebagai “kode” kebangsaan. Sebagaimana ditegaskan oleh Muhammad Sabri (Direktur Pengkajian Materi BPIP RI) bahwa, “Kode dalam tradisi semiotika adalah sesuatu yang muncul karena narasi–narasi biasa tidak mampu mengungkapkan/menjelaskan realitas yang sebenarnya”. Indonesia telah memiliki banyak hal sebagai modal untuk menjadi bangsa dan negara yang maju. Bahkan bisa menjadi kiblat peradaban bagi bangsa-bangsa lain.
Indonesia telah memiliki apa yang oleh John Gardner disebutnya, “sesuatu yang mengandung dimensi-dimensi moral sebagai prasyarat bangsa untuk mencapai kebesaran”. Begitupun yang dalam pandangan Soekarno, konsepsi dan cita ideal sebagai sesuatu yang harus dimiliki oleh suatu bangsa, Indonesia telah memilikinya.
Yang dimaksud oleh John Gardner dan Soekarno di atas, dalam konteks Indonesia adalah Pancasila. Indonesia tidak hanya memiliki Pancasila yang menjadi “meja statis”, “leitstar dinamis” (bintang penuntun), sebagai “philosofische grondslag” (dasar falsafah) dan “weltanschauung” (pandangan dunia). Indonesia pun memiliki sumber daya alam yang melimpah ruah, dan sumber daya manusia (meskipun untuk sementara lebih menonjol aspek kuantitatifnya daripada kualitatifnya). Bahkan Indonesia memiliki agama yang dibawa oleh Muhammad SAW, Islam dan mayoritas dianut oleh rakyat atau warga negara Indonesia.
Indonesia, tanpa mengedepankan perspektif “nihilistik” yang memandang sama sekali tidak ada pencapaian, Indonesia telah memiliki dan mencapai banyak kemajuan dari dekade ke dekade. Meskipun demikian, kita pun harus mengakui bahwa Indonesia masih tertinggal jauh dari derap langkah kemajuan bangsa-bangsa lain.
Terkesan potensi yang dimiliki Indonesia, khususnya di mata dunia, mengalami hal paradoks, bahkan seringkali dipandang sebagai sasaran empuk untuk sebuah tujuan hegemoni. Indonesia dalam garis relasi, masih berada dalam posisi inferioritas dan subordinat.
Mengapa Indonesia masih berada dalam posisi yang cukup memprihatinkan seperti itu di mata dunia? Hal itu terjadi, selain superioritas dan kemajuan bangsa-bangsa lain, ada problem krusial yang terjadi dalam tubuh bangsa Indonesia sendiri.
Indonesia bisa dipandang sebagai bangsa yang masih “krisis” literasi. Empat pilar bangsa, khususnya Pancasila dan berbagai genius nusantara lainnya, tidak mampu menjadi nalar kebangsaan. Tidak mampu memengaruhi nalar anak bangsa.
Krisis literasi itu ditunjukkan, setiap ada survei atau hasil riset oleh lembaga yang otoritatif dalam bidang literasi, kerap kali Indonesia berada pada posisi “ujung terbelakang”. Sebagaimana telah dikutip oleh Arif S Yudistira dalam prolog (1)-nya buku “The Spirit of Dauzan: Gagasan dan Aksi Pegiat Literasi Muhammadiyah” (2018), dari Haedar Nashir “mengumpulkan orang untuk berdemo lebih mudah daripada mengajak orang untuk membaca di perpustakaan”.
Pilar-pilar bangsa dan genius nusantara ini, idealnya menjadi nalar. Sebagai nalar mampu memengaruhi “doing” (apa yang harus dilakukan), “meaning” (apa dan bagaimana memaknai), “relation” (bagaimana membangun relasi, terutama sesama anak bangsa), “thinking” (apa yang harus dipikirkan dan bagaimana memikirkannya), dan “being” (bagaimana cara menjadi dan harus menjadi seperti apa).
Saya memiliki keyakinan atau minimal sejenis hipotesis yang bisa dibuktikan untuk menjadi tesis bahwa, pilar bangsa, berbagai genius nusantara dan agama yang dimiliki oleh bangsa dan negara Indonesia, mampu, bukan hanya mengantarkan bangsa ini sampai ke depan pintu gerbang kemerdekaan, tetapi mampu mewujudkan Indonesia sebagai kiblat peradaban bagi bangsa-bangsa lain, ketika semua ini menjadi nalar kebangsaan. Satu kunci bahwa, ini akan menjadi nalar kebangsaan ketika literasi hadir mengukuhkan narasi-narasi tersebut dalam diri dan jiwa anak bangsa.
Mengapa harus dengan literasi? Literasi secara umum, pada dasarnya menempati ruang dan posisi strategis sebagai wilayah kerja peradaban. Al-Qur’an pun dengan sejumlah ayat yang terbentang di dalamnya, menjelaskan secara tegas. Begitu pun secara empirik dalam bentangan sejarah panjang peradaban Islam, kita akan menemukan spektrum sebagai preseden historis yang menempatkan betapa strategis, besarnya urgensi dan signifikansi literasi. Bukan hanya dalam literatur dan sejarah Islam, sesungguhnya dalam peradaban, ideologi dan agama apa pun, menempatkan literasi dalam posisi strategis.
Literasi bukan hanya menawarkan dan menemukan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang bisa dipilih untuk menjadi modal mengarungi kehidupan dan memberikan solusi atas setiap problematika yang dihadapi. Literasi pun bukan hanya untuk mendapatkan hal-hal motivatif dan inspiratif dalam aneka referensi, narasi dan realitas.
Literasi bisa pula memberikan kemampuan sebagaimana yang diharapkan oleh Rhenald Kasali dalam buku karyanya Disrupsi (2017). Dalam era disrupsi ini, tidak cukup dengan motivasi, tetapi dibutuhkan kemampuan membaca—dan saya tambahkan penegasan Rhenald, termasuk kemampuan menjawab—dari “where we are” dan “where we are going to”.
Literasi untuk kepentingan kemajuan suatu bangsa dan negara tanpa kecuali Indonesia, harus mampu melampaui “6 literasi dasar: baca-tulis, numerik-angka-berhitung, sains-ilmu pengetahuan, teknologi informasi-digital, dan budaya-kewargaan” (Sulhan Yusuf pada “Prolog”-nya dalam buku karya Bahrul Amsal, 2021). Literasi dalam pandangan saya, harus mampu menyelematkan nalar dan mengukuhkan nalar kebangsaan. Literasi dalam konteks Indonesia dan relevansinya dengan “where we are”-nya Rhenald harus mampu menyadarkan anak bangsa tentang peta sosiologis, pijakan filosofis dan ideologis bahkan termasuk pijakan teologis yang ada di dalamnya.
Tingkat literasi—tanpa kecuali enam literasi dasar—yang rendah dalam diri bangsa Indonesia sehingga kita seringkali mengalami kegagalan membaca peta sosiologis. Kita terkadang buta dan kurang menyadari bahwa pluralitas (kemajemukan) adalah sebuah realitas dan keniscayaan bahkan sebagai suatu takdir Ilahi,
Kebutaan dan ketidaksadaran tersebut, sehingga seringkali terjadi sikap dan tindakan yang intoleran. Ini salah satu contoh dan kita pahami bersama bahwa, hal ini akan menggerogoti, mereduksi dan mendistorsi sila ketiga “Persatuan Indonesia”. Jika persatuan Indonesia sulit diwujudkan maka sudah pasti sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sulit pula tercapai. Dan sebaliknya pun ketika tidak ada keadilan maka persatuan pun bagaikan “mimpi di siang bolong”.
Kita patut pula memahami secara tegas bahwa “Where we are”-nya Rhenald bukan menuntut hasil pembacaan dan jawaban yang bermuara pada terma dan dimensi “geografis”, namun sesungguhnya kita harus memahami dalam dimensi filosofis, ideologis dan teologis, kita berada di mana? Yang patut disadari pula berdasarkan sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa”, meskipun Indonesia bukan negara “teokrasi” namun bukan pula negara “sekuler”.
Indonesia menjadikan fundamen agama dan moralitas sebagai fundamen dasar bagi fundamen kemanusiaan dan politik. Ini bisa dipahami secara historisitas dari fase perumusan Pancasila. Awalnya sila “Ketuhanan” ditempatkan pada sila kelima sebagai posisi penutup, akhirnya digeser, disepakati dan ditetapkan sebagai sila pertama, sebagai posisi pembuka.
Pancasila sebagai salah satu dan bahkan yang utama, harus mampu menjadi nalar kebangsaan atau secara sederhana sebagaimana telah dijelaskan di atas harus mampu memengaruhi nalar anak bangsa. Apa pun yang kita lakukan, yang dimaknai, dipikirkan, termasuk dalam membangun relasi dan untuk menjadi sesuatu harus mampu mencerminkan nilai-nilai daripada Pancasila.
Pancasila sebagai dasar negara, sebagai falsafah hidup bangsa, dan sebagai ideologi bangsa dan negara, secara ideologis harus mampu menjadi pedoman yang berisi tuntunan hidup dalam dinamika kehidupan bangsa. Harus mampu menjadi seperangkat alat interpretasi dalam membaca dan memahami realitas yang ada, serta harus berisi pedoman tindakan berdasarkan tuntunan dan hasil pembacaan realitas yang ada.
Rendahnya literasi anak bangsa, sehingga nalar yang dikedepankan sangat paradoks dan bahkan kontraproduktif dengan nilai-nilai pancasila, genius nusantara lainnnya termasuk agama. Hal ini terjadi karena nalar yang ada tidak relevan dengan nalar kebangsaan, sehingga warga negara Indonesia lebih banyak yang memiliki sikap berlebihan dan berorientasi pada “the love of power” (cinta kekuasaan) ketimbang “the power of love” (kekuatan cinta). Sebagaimana yang saya pahami dari Yudi Latif, hal ini akan menyulitkan Pancasila dan nilai-nilai Pancasila tumbuh subur di dalamnya.
Agama pun, yang dalam pandangan saya bagian daripada nalar kebangsaan, juga mengalami krisis literasi. Artinya, kurang dipahami dengan baik apalagi dalam konteks kehidupan Indonesia sebagai bangsa dan negara yang majemuk dan berasarkan Pancasila. Masih ada upaya menggerogoti sendi-sendi atau nilai Pancasila dengan alasan, spirit, basis filosofis, ideologis dan teologis agama tertentu.
Bahkan, ada pula yang menilai agama tidak relevan dengan Pancasila dan Negara, tidak bisa ditarik garis relasinya. Agama yang dalam perspektif Ahmad Norma Permata (2020), “merupakan mekanisme institusionalisasi atau jalan untuk membangun kehidupan”, terkesan kurang mampu terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, hal itu minimal tercermin dari tingkat korupsi yang masih tinggi, intoleransi tanpa kecuali dalam intra agama (antar pemeluk agama yang sama).
Padahal saya, pembaca pun pasti demikian, berharap agar agama yang merupakan (dan memiliki) mekanisme institusionalisasi mampu melakukan transformasi pada diri warga negara Indonesia agar sikap berlebihan dan orientasinya terhadap “the love of power” bisa berubah menjadi “the power of love”. Agar Pancasila dan nilai-nilainya bisa tumbuh subur dalam diri dan jiwa anak bangsa.
Literasi dan relevansinya dengan nalar kebangsaan (empat pilar bangsa, genius nusantara dan agama) harus didorong dan digerakkan secara masif dengan memproduksi dan terus mereproduksi narasi-narasi yang berkorelasi positif dengan tujuan ini. Untuk tujuan literasi dan nalar kebangsaan ini, maka kita harus mampu memahami kecenderung kehidupan hari ini, khususnya dalam mendapat informasi dan berinteraksi: media sosial.
Media sosial sebagai bagian daripada literasi itu sendiri khsusunya literasi digital, harus dijadikan instrumen strategis untuk menjadi ruang konstruksi narasi yang relevan, dengan harapan menjaga nalar kebangsaan. Narasi yang relevan dengan nalar kebangsaan harus mampu mendominasi big data baik yang ada dalam teknologi maupun yang ada dalam diri manusia itu sendiri sebagai subjek, agar dalam proses algoritmik yang terjadi dalam sebuah teknologi digital tanpa kecuali di media sosial termasuk dalam diri manusia sebagai subjek, menghasilkan kebijakan, keputusan, sikap dan tindakan yang relevan dengan hal tersebut.
Kita harus memiliki visi dan misi, serta komitmen untuk terus menyuarakan, mengampanyekan, “memprovokasi” secara masif gerakan literasi tanpa kecuali literasi yang bermuara pada penjagaan dan penyelamatan nalar kebangsaan anak bangsa. Hal ini akan bermuara pada harapan, kita mampu membaca dan sekaligus menjawab “where we are going to”-nya Rhenald, yang dalam perspektif atau konteks Indonesia berarti kita akan mampu mencapai cita-cita dan tujuan nasional yang telah dirumuskan oleh para founding fathers sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun selain ini, tentunya ada muara-muara sungai kecil yang harus terlebih dahulu juga dicapai melalui literasi yang diawali dengan menjaga nalar kebangsaan.
Agusliadi Masssere, Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah. Komisioner KPU Kabupaten Banteang Periode 2018-2023