Teologi Al-Insyirah dan Optimisme Menggerakkan Muhammadiyah (2)
Oleh Prof Dr H Haedar Nashir, M.Si.
Manusia hidup apakah insan pada umumnya maupun muslim tidak akan lepas dari masalah dan kesulitan yang harus dihadapi sebagai kenyataan untuk dilakukan ikhtiar lahiriah maupun ruhaniah yang sungguh-sungguh, sabar, dan optimistik. Kesungguhan, kesabaran, dan sikap optimis merupakan pantulan dari keyakinan setiap muslim yang menghayati kehidupan antara takdir dan perubahan, antara ikhtiar dan kepasrahan, antara aspek ruhaniah dan jasmaniah, serta faktor-faktor yang saling berkaitan satu sama lain sesuai dengan hukum kehidupan.
Perjuangan dakwah melalui Muhammadiyah pun tidak akan lepas dari hukum kehidupan yang kompleks dan dinamis itu. Apalagi dalam berdakwah karena akan berhadapan dengan heterogenitas sasaran dakwah dan kondisi yang seringkali kompleks. Menghadapi masalah maupun musibah dalam berdakwah diutamakan mengedepankan sikap keislaman yang tinggi sebagaimana layaknya pada mujahid dakwah mengikuti jejak perjuangan para Rasul yang memiliki keutamaan. Apalagi para pelaku dakwah sebagai aktor “waltakum minkum ummah” (QS Ali Imran: 104), sebagai pihak yang terpilih atau unggul semestinya memiliki kekuatan ruhaniah-spiritual, intelektual, dan kemampuan praktikal yang lebih di atas rata-rata orang umum atau awam dalam menghadapi kesulitan, musibah, dan masalah dalam kehidupan.
Menghadapi Masalah
Kaum muslim dalam menghadapi masalah jangan meratap sarat kemarahan, belajarlah kepada para Nabi yang juga dihadapkan pada masalah. Termasuk dalam perjuangan dakwah, jauhi sikap selalu menyalahkan pihak lain dan keadaan. Para Nabi dalam menyebarkan Risalah Allah sungguh sangat berat, seperti Nabi Musa menghadapi Fir’aun yang berkonspirasi dengan konglomerat hitam Qarun dan pejabat korup Hammam.
Namun Nabi Musa dan Nabi Harun tetap diingatkan Allah agar menghadapinya dengan sabar dan lemah-lembut sebagaimana Firman Allah yang artinya: “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah-lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut” (QS Taha: 43-44). Apakah ikhtiar itu berhasil atau tidak, di situlah batasan sabar dan kepasrahan kepada Allah setelah berikhtiar. Urusan hidayah adalah urusan mutlak Allah, manusia atau insan beriman kewajibannya berdakwah atau berikhtiar menyebarkan kebenaran Risalah Allah.
Nabi Muhammad sangat berat menghadapi masalah dan tantangan dakwah di tengah kepungan kekuasaan kaum Jahiliyah Quraisy. Nabi menghadapi segala bentuk kesulitan dalam berdakwah. Ath-Thabari ketika menjelaskan ayat “Fa inna ma’al ‘usri yusran, inna ma’al ‘usri yusran” berpendapat sebagai berikut: “Maksudnya adalah, sesungguhnya bersama kesulitan yang engkau alami, yaitu jihad terhadap orang-orang musyrik, yang pada mulanya engkau tidak menempuhnya karena mengharapkan jalan keluar yang memenangkanmu atas mereka, sehingga mereka tunduk kepada kebenaran yang engkau bawakan kepada mereka, baik dengan suka maupun terpaksa”.
Kemudian dikutip hadits, “Lan yaghliba ‘usrun yusraini” (artinya “Satu kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan”), serta hadis lain “Absyiruu ataakumu al-yusru, lan yaghliba ‘usrun yusraini“, artinya “Bergembiralah kalian, karena telah datang kemudahan kepada kalian, satu kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan” (Ibnu Abdil A’la dari Yunus). Dijelaskan dalam hadis lain, yang artinya “Seandainya kesulitan masuk ke lubang, niscaya akan datang kemudahan hingga masuk kepadanya” (Ibnu Al-Mutsanna dari Absullah bin Mas’ud).
Allah dan Rasulullah mengajarkan kaum beriman sikap positif dan kearifan dalam menyikapi masalah dan musibah. Agar kuat menghadapi musibah dan masalah hidup yang berat diperlukan fondasi iman yang kokoh sehingga setiap insan mukmin tercerahkan akal budinya. Luruhkan sikap meratapi, mengeluh, saling menyalahkan, dan merasa jatuh diri. Sebaliknya jauhi sikap egois, merasa diri tidak terkena musibah atau masalah, menyepelekan, dan mengabaikan masalah sehingga hilang keseksamaan, kewaspadaan, dan kebersaman. Sikap optimis disertai ikhtiar yang bersungguh-sungguh harus menjadi jiwa, pikiran, dan orientasi tindakan semua orang di negeri ini untuk mengubah keadaan yang buruk dari musibah atau masalah ke situasi yang lebih baik. Perubahan keadaan itu tergantung usaha manusia sendiri, selain qadha dan takdir Allah. Kaum beriman diajarkan Allah untuk mengubah keadaan dengan ikhtiar, “Innallāha lā yugayyiru mā biqaumin ḥattā yugayyirụ mā bi`anfusihim”, artinya “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’du: 11).
Kewaspadaan disertai optimisme dalam wujud tekad dan ikhtiar untuk berubah juga menjadi niscaya dalam memecahkan persoalan-persoalan besar umat dan bangsa. Seberat apapun masalah yang dihadapi bangsa Indonesia jika semua komponen umat dan bangsa berkomitmen kuat, bersatu, dan melangkah bersama secara sungguh-sungguh maka akan terdapat jalan keluar dari kesulitan. Kuncinya ialah ketulusan, kejujuran, keterpercayaan, kecerdasan, dan kebersamaan untuk selalu mencari solusi. Perbedaan setajam apapun dalam menghadapi keadaan apabila semua pihak mau berdialog dan mencari titik temu maka akan ada jalan pemecahan atas segala persoalan umat dan bangsa. Sebaliknya manakala berpandangan negatif, pesimistik, saling menjauh, egoistik, keras kepala, pecah belah, saling menyalahkan, dan tidak saling percaya maka beban kehidupan bangsa akan semakin berat.
Pandangan Hidup
Surat Al-Insyirah atau Alam-Nasrah atau Asy-Syarhu sejatinya mengandung pandangan teologis atau keagamaan tentang kehidupan mengenai dinamika “kemudahan dan kesulitan”, antara “ikhtiar dan kepasrahan”, serta antara urusan “dunia dan akhirat”. Pandangan dunia Islam (Islamic World View) dapat dikatakan sebagai bergerak antara pandangan teosentrik dan antroposentrik
التنقل بين وجهات النظر الالهية والإنسانية
termasuk antara “qadariyah dan jabariyah”, sehingga bagian dari dan merupakan pandangan yang wasathiyah berkemajuan
الإسلام الوسطي الحضاري التقدمي ;الإسلام الوسطي الحضاري
Menurut Asy-Syuyuthi, Surat Al-Insyirah diturunkan ketika orang-orang musyrik menghina dan memperolok-olokkan kefakiran dan kemiskinan kaum muslimin. Surat ini diturunkan sebagai tasliyah atau penghibur hati bagi Nabi Muhammad dan kaum muslimin. Ayat pertama Nabi diberi kelapangan atau kemudahan dengan kenabian dan lain-lainnya (
بِالنُّبُوَّةِ وغيرها
Ayat ke-2 dan ke-3 tentang “beban yang memberatkan punggungmu”, yakni “dosa atau kesalahan kecil” yang dirasakan dan menjadi beban Nabi sebagaimana ayat lain di Surat Al-Fath
لِيَغْفِر لَك اللَّه مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبك
yang artinya “…. supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu…” (Q.S. Al-Fath: 2). Tafsir Asy-Syuyuthu tentang “kesalahan atau disa Nabi” tersebut sama dengan tafsir Ath-Thabari, Ibn Katsir, Al Qurthubi, yang tidak ada kaitan dengan kerisalahan Nabi karena Nabi maksum, lebih pada kesalahan-kesalahan manusiawi sebagai manusia sebagaimana ayat
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ
Kakankah (wahai Muhammad) sesungguhnya aku adalah manusia sepertimu, yang diberikan wahyu…” (QS Fushilat: 6; Al-Kahfi: 110). Sedangkan Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menafsirkan makna “ Dan Kami telah menghilangkan darimu bebanmu” ialah “tanggungjawab nubuwat. Sebab menjadi Nabi dan Rasul adalah satu beban berat. Itulah telah dibuat ringan oleh Allah sehingga tidak berat memikilnya lagi.”.
Sikapi masalah, musibah, dan kesulitan dengan pandangan utuh selaku mukmin yang diberi kesadaran teologis bahwa hidup selain diberi anugerah juga masalah. Orang beriman ketika menghadapi masalah apakah pandemi, bencana alam, dan masalah kehidupan lainnya harus menerimanya sebagai musibah dengan sikap optimis disertai ikhtiar dan sabar dalam pandangan hidup yang utuh. Seberat apapun musibah itu tentu harus dihadapi dengan sabar dan ikhtiar yang sungguh-sungguh disertai sikap optimistik, bahwa setiap musibah akan ada akhirnya. Kualitas kesabaran dan kesungguhan berusaha benar-benar diuji dalam menghadapi musibah ini sebagaimana peringatan Allah, yang artinya: “Dan sesungguhnya kami benar-benar akan menguji kamu agar kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan yang bersabar di antara kamu, dan agar kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu (QS Muhammad: 31).
Jalan memecahkan masalah pun haruslah utuh antara ikhtiar habluminallah dan habluminannas, ruhaniah dan lahiriah, spiritual dan intelektual, langkah ideal dan real secara interkoneksi. Segala ikhtiar maksimal yang bersifat rasional-ilmiah dan spiritual-ruhaniah harus terus dilakukan sebagai jalan jihad dalam menghadapi masalah ini. Jihad yang bersifat multiaspek yang bersifat pengerahan segala kemampuan atau badul-juhdi. Allah memberikan jalan lapang bagi siapapun yang bersungguh-sungguh dalam berjuang mengatasi masalah kehidupan sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridlaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-Ankabut: 69). Jangan sempit dan pesimistik dalam menghadapi masalah dan kondisi kehidupan.
Muhammadiyah secara teologis memandang kehidupan sebagai sesuatu yang luhur, berharga, dan bermakna sesuai fungsi dan tujuan hidup muslim. Masalah maupun musibah satu matarantai dengan anugerah dan jalan hidup yang digsriskan Islam. Memanami kehidupan dengan segala aspek dan siklusnya niscaya didekati dengan pandangan yang mendalam, luas, dan multiprrspektif. Letakkanlah segala anugerah dan masalah kehidupan yang kompleks dalam dimensi iman, tauhid, dan habluminallah yang terhubung langsung dengan habluminannas, ilmu, ihsan, dan amal shaleh yang bermakna. Pandangan keagamaan dan keilmuan niscaya dijadikan perspektif yang holistik-integratif dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani yang lahir dari dasar nilai-nilai Ajaran Islam yang utuh, menyeluruh, dan berkemajuan guna meraih kebahagiaan hidup sejati di dunia dan akhirat!
Sumber: Majalah SM Edisi 9 Tahun 2022