Relevansi Quantum Learning dan Iqra Bismirabbika
Oleh: Agusliadi Massere
Saya pernah melakukan perjalanan di tengah belantara kata. Dalam perjalanan itu, saya menemukan serpihan kalimat yang membandingkan antara Quantum Learning dan Iqra Bismirabbika-nya Rasulullah Muhammad Saw. Menempatkan secara hierarkis Iqra bismirabbika di atas (tepatnya: lebih baik) daripada Quantum Learning. Belantara kata (baca: buku) itu, saya lupa judulnya.
Jika penulis tersebut membandingkan, meletakkan secara hierarkis bahkan terkesan memosisikan dalam dua pendulum yang berbeda, saya (justru) melalui tulisan ini, menyandingkannya atau lebih tepatnya mengandaikannya ibarat dua insan yang saling melengkapi. Saya menegaskan pula, ini bukan berarti bahwa turunnya Al-Qur’an surah pertama itu karena penemuan Quantum Learning oleh Bobbi DePorter & Mike Hernacki. Keduanya, DePorter & Hernacki lahir puluhan abad setelah proses maha dahsyat yang menjadi titik balik peradaban—pada malam 17 Ramadan—itu terjadi.
Saya seakan merasakan bahwa DePorter & Hernacki penulis buku Quantum Learning memeroleh inspirasi dan percikan filosofis-teologis dari QS. Al-‘Alaq [96]:1-5 tersebut. Meskipun, saya sendiri yakin bahwa DePorter & Hernacki tidak terinspirasi dari itu. Tetapi, bisa saja mengalami proses determinasi memetika “inspirasi” yang mengalir dari puluhan abad yang lalu ke dalam masa kehidupan keduanya, meskipun berbeda kultur, agama dan ideologi.
Tulisan ini tidak sedang fokus pada metodologi pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Quantum Learning sebagaimana yang digunakan dalam sebuah sekolah bisnis Burklyn di Burke Timur, Vermont. Tulisan ini mencoba menuangkan hasil pencarian serpihan filosofis, spirit yang menjadi bagian dalam buku tersebut, yang berkontribusi besar memberikan pengaruh dalam pencapaian kualitas belajar yang dahsyat dan super cepat. Meskipun berbeda dengan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), “dahsyat” dan “super cepat” itulah yang saya maknai quantum.
Saya memahami—yang meskipun ini hanya bersifat intuisi semata, dan apatah lagi dalam perjalanan saya di atas, di tengah belantara kata itu, penulisnya tidak menuangkan secara komprehensif―jauh sebelum DePorter & Hernacki, Rasulullah telah mengalami proses quantum dalam belajarnya, atau telah melakukan spirit utama yang menjadi piranti Quantum Learning. Padahal sejarah mencatat latar belakang Rasulullah sebagai ummi (menurut Quraish Shihab, berarti tidak pandai membaca dan menulis).
Saya yang bukan sebagai seorang mufassir, tentunya dalam memaknai QS. Al-‘Alaq [96]: 1-5 tersebut, tidak sedang menafsir, lebih pada memaknai sebatas hasil pembacaan berdasarkan terjemahan (meskipun ini juga dikategorikan sebagai tafsir paling sederhana). Selain itu, yang paling maksimal, hanya merujuk pada tafsir M. Quraish Shihab (Pakar tafsir Indonesia) tentang surah tersebut.
Ada hal yang menarik dan sangat menginspirasi dengan menyandingkan atau menarik garis relevansi antara Quantum Learning dan Iqra bismirabbika. Bahkan, melampaui dari itu menumbuhkan kesadaran dan menemukan cara dahsyat yang bisa menjadi modal untuk mengalami pencapaian dalam proses belajar. Dan mungkin, kita tidak (atau minimal kurang) menyadari selama ini, padahal dampaknya, telah kita pahami bersama bagaimana peradaban Islam telah pernah jaya, bahkan telah menyelamatkan Barat dari era kegelapannya.
Quantum Learning, bukan hanya sebatas tentang metodologi belajar, modalitas belajar (visual, auditorial, dan kinestetik), fungsi otak secara biologis-mekanik, dan cara menaata ruangan yang menyenangkan, dan bahkan pendekatan yang disebutnya “AMBak” (akronim dari Apa Manfaatnya Bagiku). Tetapi, saya menemukan spirit yang maha dahsyat. Dan ternyata hasil perenungan saya, seakan menegaskan bahwa justru itulah Al-Qur’an surah yang pertama diturunkan adalah QS. Al-‘Alaq ayat 1-5.
Ada beberapa spirit yang saya temukan dalam buku Quantum Learning-nya DePorter & Hernacki. Pertama, berdasarkan―sejenis―skema yang dibuat oleh DePorter & Hernacki (2011: 41). Skema berbentuk 4 buah garis (gambar) bujur sangkar yang dihubungkan oleh garis tanda panah. Masing-masing dalam gambar tersebut bertuliskan kata dan frasa yang berbeda: “Emosi positif”, “Kekuatan Otak”, “Keberhasilan”, dan “Kehormatan diri”.
Dari gambar bujur sangkar yang bertuliskan “Emosi Positif” dihubungkan oleh garis tanda panah yang mengarah pada gambar bujur sangkar yang bertuliskan “Kekuatan otak”. Berikutnya dari gambar bujur sangkar kedua ini, dihubungkan pula oleh garis tanda panah yang mengarah pada gambar bujur sangkar yang bertuliskan “Keberhasilan”. Selanjutnya dari ini dihubungkan oleh garis tanda panah mengarah pada gambar bujur sangkar yang bertuliskan “Kehormatan diri”.
Meskipun gambar atau skema tersebut tidak berbentuk lingkaran, saya memahami dan memaknai bahwa ini memiliki hubungan melingkar, saling menguatkan, saling memengaruhi antara satu dengan yang lainnya secara berurutan. Ilustrasi sederhananya berdasarkan reinterpretasi saya bahwa, emosi positif—ataus saya sering menyampaikan di forum-forum “berbagi ilmu” dengan frasa/istilah “Suasana hati yang senang, tenang dan bahagia”—itu bisa membangun atau membangkitkan kekuatan otak.
Ketika kekuatan otak bangkit atau bangun (saya sering mengistilahkan otak bagaikan raksasa tidur yang harus dibangunkan), maka keberhasilan akan terwujud. Jika keberhasilan telah diraih maka kehormatan diri akan ikut diperoleh, menyelimuti diri kita. Dan selanjutnya akan kembali memengaruhi emosi positif (dalam istilah saya, suasana hati).
Dari hal tersebut, saya pun menemukan bahwa ini relasi yang saling menguatkan, hubungan melingkar yang saling melengkapi ini, ibarat “bola salju” yang semakin bergelinding akan semakin membesar. Hanya saja dalam skema atau gambar tersebut, bagi saya, DePorter & Hernacki masih memiliki kesadaran yang belum optimal, untuk tidak mengatakan “dangkal”, sehingga mereka sampai pada kesimpulan bahwa pemantik “emosi positif” (yang dalam perspektif saya adalah suasana hati tenang, senang dan bahagia) masih sebatas hal eksternal dan bersifat duniawi yaitu “Kehormatan diri”.
Andaikan DePorter & Hernacki melakukan perenungan, sebagaimana yang saya lakukan ―meskipun masih sangat sederhana―terhadap QS. Al-‘Alaq, khususnya ayat 1 dan 3 sebelum menuliskan buku Quantum Learning-nya, mereka akan menuliskan hal yang lebih dahsyat. Saya yakin mereka berdua, pada gambar bujur sangkarnya yang bertuliskan “Kehormatan Diri” yang terkesan menjadi pemantik “Emosi positif”, pasti diganti dengan kata atau frasa “Ingatan kepada Allah”, “Dzikir”, “Syukur”, dan/atau “Do’a”.
Saya dan para pembaca perlu memaklumi bahwa mungkin DePorter & Hernacki bukan muslim (saya sudah mencoba searching di google secara cepat, tetapi belum menemukan keterangan tentang agama mereka berdua). Wajar jika belum pernah mendapatkan inspirasi dari surah tersebut.
Saya sepakat dengan DePorter & Hernacki, bahwa kekuatan otak sangat dipengaruhi oleh “Emosi positif”. Pemahaman ini, saya terinspirasi setelah memahami tentang jenis gelombang otak dan mekanisme aktivasinya, salah satunya dari buku karya Anna Wise (2012). Menurut Wise, salah satu yang bisa memengaruhinya gelombang otak, termasuk otak dahsyat dalam hal “ide” adalah “emosi”. Hanya saja, saya kurang sepakat dengan DePorter & Hernacki, terhadap relasi dan penegasannya bahwa “emosi positif” dipengaruhi oleh “Kehormatan diri” yang dalam pemahaman saya pula ini bersifat ekternal-duniawi.
Dari pemahaman sederhana saya terhadap QS. Al-‘Alaq, khususnya ayat 1 dan 3, yang saya tarik garis relasi pemaknaannya dengan ayat pada surah lainnya, salah satunya QS. Ar-Ra’d [13]: 28, idealnya yang dijadikan sebagai pemantik utama untuk melahirkan “Emosi positif” atau yang dalam istilah saya adalah suasana hati yang tenang, senang dan bahagia adalah “ingatan kepada Allah”.
Jika kita tarik makna QS. Al-‘Alaq ayat 1 dan QS. Ar-Ra’d ayat 28 dalam konteks atau relevansinya dengan spirit (salah satunya) Quantum Learning sebagaimana skemanya telah saya ilustrasikan di atas, maka itu memantik kesadaran bahwa dalam perintah “Iqra”―yang dalam tafsir Quraish Shihab, bukan hanya membaca tetapi termasuk menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui, yang bagi saya, termasuk pula dalam hal belajar―maka jangan lupa mengingat (dalam bahasa ayat, menyebut) nama Allah. Dan sebagaimana ayat 28 yang saya kutip ini, dengan “mengingat Allah” bahkan Allah menegaskan bahwa “hanya dengan mengingat Allah hati akan menjadi tenteram”.
Jadi untuk memantik lahirnya “emosi positif” yang berkontribusi atau memiliki korelasi positif dengan “kekuatan otak” (tepatnya bangkitnya kekuatan otak), maka kita harus selalu mengingat Allah. jadi bukan hanya seperti yang disimpulkan oleh DePorter & Hernacki mengenai “Kehormatan diri” yang dipandang sebagai pemantik “emosi positif”.
Dari hal ini pula, terinspirasi dari skema atau gambar DePorter & Hernacki, saya menemukan satu bentuk kesadaran teoritik, bahkan filosofis dan teologis, bahwa urgensi, signifikansi dan implikasi dari “do’a sebelum belajar” (minimal baca basmallah) terletak pada bagaimana melahirkan suasana hati yang tenang, senang, dan bahagia. Selanjutnya ini akan berpengaruh atau memantik bangkitnya kedahsyatan fungsi otak.
Jika pun pembaca tulisan saya ini, adalah non muslim dan mungkin ada seorang ateis yang tidak mau mengingat Allah, maka saya menawarkan hal lain sebagai pemantik emosi positif selain yang ditawarkan oleh DePorter & Hernacki. Apa itu? Pertama, mengingat dan selalu mengucapkan serta memvisualisasikan cita-cita/impian. Kedua, fokus pada hal-hal/potensi positif terutama yang ada pada diri sendiri. Ketiga, mengingat prestas-prestasi yang pernah diraih. Minimal ketiga hal ini adalah cara lain untuk bisa memantik lahirnya “emosi positif” atau “suasana hati yang tenang, senang dan bahagia”.
Selaku umat Islam, saya berdo’a sebelum belajar. Selain itu hampir setiap hari saya mengingat, mengatakan dalam diri dan bahkan sambil memvisualisasikan semua yang menjadi impian. Tanpa kecuali seringkali, saya mendokumentasikan dan membuka-buka kembali apa yang telah menjadi capaian yang bisa dikategorisasikan sebagai prestasi yang layak diapresiasi.
Sebagai contoh, seringkali saya membuka rapor sebagai prestasi yang patut disyukuri karena selalu peringkat 1 di sekolah terutama peringkat 1 umum pada saat SD dan SMP. Selain berdoa, mengingat impian, membaca prestasi-prestasi yang pernah diraih pun—sebagaimana yang sering saya lakukan—adalah bagian dari upaya menjaga suasana hati.
Bagi saya, konsep Quantum Learning-nya DePorter & Hernacki tidaklah cukup atau kurang sempurna jika tidak direlevansikan dengan nilai dan spirit Iqra Bismirabbika. Mengapa? Karena pemantik “emosi positif”nya DePorter & Hernacki, hanya fokus pada sesuatu yang bersifat eksternal, material dan duniawi semata.
Andaikan hanya fokus pada pandangan DePorter & Hernacki semata, saya yakin diri ini dengan berbagai kekurangan yang mengitari pada saat itu—seperti belajar dengan hanya menggunakan lampu kodok-kodong (istilah dari lampu pelita yang hanya menggunakan bahan bakar minyak tanah)—bisa dipastikan saya tidak mampu mencapainya. DePorter & Hernacki pun mensyaratkan penataan ruangan yang cukup memadai untuk mencapai quantum dalam belajar.
Berbeda dengan prasyarat dari DePorter & Hernacki, saya hanya mengandalkan spirit utama dalam hal menjaga suasana hati selalu dalam radius “senang”, “tenang”, dan “bahagia” dengan cara mengingat Allah, mengingat impian-impian dan menelesuri jejak-jejak prestasi (meskipun sederhana) yang pernah diraih.
Saya pun sering menegaskan tentang pentingnya apa yang saya istilahkan dengan “charger” kehidupan; bukan hanya handphone yang harus selalu di-charge tetapi diri kita pun. Apa charger-nya? Jawabannya adalah “do’a/dzikir/ingat kepada Allah”, “ingatan terhadap cita-cita”, “fokus pada potensi positif, terutama dalam diri”, dan termasuk “bersyukur jika ada yang memberikan”.
Hal terakhir ini, yang saya muarakan pada istilah “charger kehidupan”, itu relevan dengan “suggestology”-nya Dr. Georgi Lozanov (seorang pendidik berkebangsaan Bulgaria). Dan bahkan oleh DePorter & Hernacki menegaskan bahwa sesungguhnya “Quantum Learning berakar dari upaya Lozanov tersebut: yaitu suggestology”.
Mengapa harus dengan suggestology? Karena “Quantum Learning dipercayai mencakpu aspek-aspek penting dalam program neurolinguistik (NLP), yaitu satu penelitian tentang bagaimana otak mengatur informasi. Dengan NLP kita akan mengetahui bagaimana menggunakan bahasa positif untuk meningkatkan tindakan-tindakan positif dan merangsang fungsi otak yang paling efektif. Berdasarkan pemahaman saya di sinilah QS. Al-‘Alaq ayat 3, “Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Mulia”―ada juga Al-Qur’an menggunakan diksi “yang pemurah”―bisa menjadi pijakan teologis. Begitu pun dzikir yang saya sebutkan pada bagian atas tulisan ini.
Agusliadi Massere, Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023