Aku Bangga Ditegur Buya

Kerja Intelektual adalah Kerja Seumur Hidup 

Aku Bangga Ditegur Buya

Buya Syafii berbincang dengan redaksi Suara Muhammadiyah, 2017 (Foto: dok sm)

Aku Bangga Ditegur Buya: Kerja Intelektual adalah Kerja Seumur Hidup 

Oleh: Sutia Budi

Siang itu matahari begitu merona. Ia melempar senyum tiada henti. Walau aku tak tahu apa yang akan terjadi. Aku pergi ke kawasan Bintaro, berputar dan hinggap di sebuah Toko Buku. Seperti biasa, aku hanya berkeliling mengitari deretan rak buku. Mencari inspirasi, karena harga tak terbeli. Tetap optimis, jauhkan diri dari pesimis. Suatu waktu aku akan kembali ke sini, membeli yang ku cintai.

Ketika sorot mata menghujam deretan judul buku, ayunan langkahku terhenti, karena Handphone Nokia-ku berdering. Ku tekan tombol hijau, lalu suara khas yang lembut itu begitu menggelegar dalam jiwaku. “Assalaamu’alaikum Budi… ini Buya”. Aku terperangah, hatiku berbunga-bunga; “Wa’alaikumussalam Buya, Masya Allah. Ya, Buya”. Wajahku makin merona, tak ku sangka, tak ku duga, ditelpon Buya Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Ma’arif, MA di siang ceria.

Budi, jangan ceroboh kalau nulis buku ya, ini ada yang terbalik, dan masih ada yang salah ketik”, tegur Buya dengan lembutnya. “Maaf Buya, Baik Buya, Terima Kasih Buya”, jawabku dengan sumringah, tersenyum lebar. “Ya, Budi harus lebih teliti lagi, jangan ceroboh ya. Penulis harus teliti”, nasihat mendalam Buya. “Baik Buya, Insya Allah saya akan lebih teliti lagi. Terima kasih banyak Buya atas nasihatnya”, jawabku. Lalu Buya melanjutkan nasihatnya. Penggalan dialog singkat itu begitu menancap. Sungguh, “Aku bangga ditegur Buya”.

—

Pada Muktamar IMM di Ambon tahun 2006, terpilih Ketua Umum DPP IMM Amirudin dan Sekretaris Jenderal Siar Anggretta Siagian. Hasil sidang formatur, aku diamanahkan menjadi Sekretaris Bidang Keilmuan DPP IMM, dimana Ketuanya adalah sahabatku Ikhwan Syah Nasution. Perjalanan kepengurusan tentu banyak dinamikanya. Pada medio 2007, kemudian terjadi reshuffle pengurus yang mengamanahkanku menjadi Ketua Bidang Keilmuan, dan sahabatku Ikhwan Syah Nasution menjadi Ketua Bidang Sosial dan Ekonomi.

Diantara program Bidang Keilmuan pasca Muktamar 2006 adalah; menerbitkan Buku berjudul “Tri Kompetensi Dasar” Peneguhan Jati Diri Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Selain itu, menerbitkan Jurnal Pemikiran bernama Skolastik. Alhamdulillah, Buya Ahmad Syafii Ma’arif berkenan memberikan Prolog pada buku bersampul warna merah itu dengan judul; “Kerja Intelektual adalah Kerja Seumur Hidup”. Sementara pada Jurnal Skolastik, Buya berkenan memberikan sekapur sirih berjudul; “Muhammadiyah Juga Harus Muncul Sebagai Gerakan Ilmu”.

Buku Tri Kompetensi Dasar itu terbagi menjadi Empat Bagian. Bagian Pertama berjudul; Potret Sejarah dan Signifikansi Gerakan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Tulisan Pertama, berjudul “Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dalam Lintasan Sejarah”, disarikan dari tulisan Noor Chozin Agham dan diramu Tim Bidang Keilmuan DPP IMM. Tulisan Kedua, berjudul “Membuka Tabir Sejarah: Memperkuat Identitas Gerakan”, ditulis oleh Deni Al Asy’ari. Tulisan Ketiga, tentang “Prinsip Gerakan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah”, diramu oleh Tim Bidang Keilmuan DPP IMM.

Pada Bagian Kedua, diberi judul Gerakan Intelektual yang Mencerahkan: Sebuah Refleksi Kritis. Tulisan Pertama, berjudul “Keluar dari Belenggu Kebebalan (Ikatan yang Membelenggu atau Mahasiswa yang Bebal)”, ditulis oleh Rifma Ghulam Dz. Tulisan Kedua, berjudul “Saatnya Gerakan Institusionalisasi Intelektual; IMM Kembali Sebagai Gerakan Ilmiah-Amaliah”, ditulis oleh Mukhaer Pakkanna. Tulisan Ketiga, berjudul “IMM; dari Ekslusifisme ke Inklusifisme”, ditulis oleh Abd. Rohim Ghazali.

Bagian Ketiga, berjudul IMM; Nalar Religiusitas dan Inspirasi Perubahan. Tulisan berjudul “Memaknai Kembali Religiusitas Kader Untuk Praktis Liberatif”, ditulis oleh Zakiyuddin Baidhawy. Tulisan berikutnya berjudul “Membumikan Islam Melalui Mazhab Ketiga (Peran IMM Di Tengah Pergulatan Fundamentalisme dan Liberalisme Islam di Indonesia)”, ditulis oleh Saleh Partaonan Daulay. Tulisan ketiga berjudul “Globalisasi dan Pesantren Virtual IMM”, ditulis Agus Purwanto.

Bagian Keempat buku bersampul merah itu diberi judul Intelektualisme Kemanusiaan. Tulisan Pertama, “Sketsa Gerakan Intelektual Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah”, ditulis oleh Miftachul Huda. Tulisan Kedua, “Gerakan Kemanusiaan Intelektualisme IMM”, ditulis oleh Fajar Riza Ul Haq. Tulisan Ketiga, berjudul “Memposisikan ‘Tangan Di Atas’ Sebuah Gerakan Ekonomi ala IMM”, ditulis oleh Sutia Budi dan Pitri Yandri.

Buku Tri Kompetensi Dasar itu diterbitkan oleh Bidang Keilmuan DPP IMM, Penanggungjawab: Amirudin dan Ikhwan Syah Nasution, Ketua Tim Penyunting: Sutia Budi, dan dibantu oleh “tangan dingin” Deni Al Asy’ari. Proses penerbitannya didukung oleh ITB Ahmad Dahlan Jakarta, Univesitas Muhammadiyah Malang, dan Universitas Prof. Dr. Hamka. Buku tersebut diluncurkan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah pada saat itu yaitu Prof. Dr. Din Syamsuddin, pada Rabu malam, tanggal 14 Maret 2007, dalam acara refleksi Milad Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah ke-43, di Islamic Center, Surabaya, Jawa Timur. Milad IMM saat itu dihadiri oleh ribuan kader IMM, turut hadir Ketua Forum Komunikasi Alumni (FOKAL IMM) Prof. Dr. Yahya Muhaimin (Mendiknas era Gus Dur) dan Ketua PW Muhammadiyah Jawa Timur Prof. Dr. A. Syafiq Mughni.

Lima belas tahun berselang sejak 2007,  aku bertandang ke Grha Suara Muhammadiyah (SM) di Yogyakarta pada awal 2022. Saat silaturrahim dengan Direktur Utama Suara Muhammadiyah, sahabatku Deni Al Asy’ari, ku ingin menjawab rasa penasaranku, aku bertanya; “Pak Dirut, kira-kira siapa yang kasih nomor HP saya ke Buya waktu itu (2007)?, saya ditegur Buya”. Sahabatku Deni menjawab, “Saya Kang, malahan Buya nelpon Kang Budi di depan saya”. Lalu kami tersenyum dan tertawa. Rasa bangga bahagia pun menggema dalam jiwa.

Kembali ke Buku, tentunya menjadi sebuah kehormatan besar bagi kami sebagai generasi muda, atas berkenannya Buya Syafii Ma’arif untuk memberikan Prolog pada buku tersebut. Prolog yang amat menyentuh, menggetarkan, dan menggerakkan. Prolog yang menghadirkan “rasa malu”, menjadi pengingat hidup, menuju sebuah tujuan hidup bernama “kearifan”. Karena itu, pada Milad ke-59 Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah tercinta, kita hadirkan kembali sebuah Prolog yang telah Buya Ahmad Syafii Ma’arif nasihatkan kepada kita semua, agar “Laku tidak mengkhianati Kata”. Berikut selengkapnya, dan ini yang penting :

Jogjakarta, 8 Januari 2007

Prolog Kerja Intelektual adalah Kerja Seumur Hidup

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Kerja intelektual adalah kerja seumur hidup, itu pun tidak akan pernah tuntas dan memuaskan. Ada saja yang kurang, ada saja yang tidak genap. Yang pasti kerja intelektual memerlukan kesabaran dosis tinggi untuk terus berfikir dan berfikir terus dengan stamina spiritual yang prima. Di lingkungan yang sedang membusuk secara spiritual-intelektual, tingkat kesabaran itu perlu dinaikkan ke tingkat yang lebih atas tanpa bosan. Kerja semacam ini jelas tidak mudah, tidak seperti kerja demonstrasi yang lantang berteriak. Seorang intelektual idealnya adalah juga sebuah rumah kearifan, tempat orang bertanya mengenai masalah-masalah besar yang menyangkut kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan dalam arti yang luas.

Kearifan umumnya diraih dari kumulasi ilmu, pengalaman, wawasan, dan pergaulan dalam jarak radius yang hampir tanpa tepi. Semua nilai ini memberi tahukan kepadanya diktum ini: dalam rentangan hidup yang panjang, bergulir puluhan tahun dalam berbagai musim, jika tidak juga menemukan kearifan adalah sebuah kesia-siaan. Dalam al-Qur’an (al-Baqarah: 269), kearifan (al-hikmah) itu dikatakan sebagai kebajikan yang melimpah ruah (khairan katsiran). Lengkap maknanya adalah: “Barangsiapa yang dikurniai hikmah berarti telah diberi kebajikan yang melimpah ruah.” Dalam Nahju al-Balaghah sampai-sampai ditegaskan:”Ambillah hikmah itu walaupun dari kalangan munafik.”

Ini terdengar ekstrem, tetapi begitulah mahalnya harga sebuah kearifan. Pengalaman pergaulan yang agak mendalam sesama manusia, kita akan tahu bahwa panjang umur sama sekali tidak merupakan jaminan bahwa orang itu telah menemukan kearifan, karena memang ia tidak pernah mencarinya secara sungguh-sungguh. Bahkan tidak jarang terjadi, manusia dengan usia mendekati 100 tahun yang secara fisik masih sehat, kearifan itu malah semakin menjauh.

Oleh sebab itu Tiga Kompetensi yang diharapkan menjadi milik semua kader IMM berupa: religiusitas, intelektualitas, dan humanitas, jangan hanya dipajang di dinding atau tercatat dalam buku harian, tetapi dihayati secara sungguh dan dalam, kemudian digumulkan dengan pergaulan yang hampir tanpa batas itu. Dengan cara ini, siapa tahu bahwa tiga kekuatan itu akan bermuara ke tepian kearifan.

Akhirnya patut pula saya rekamkan di sini Ikrar IMM yang dicetuskan di Malang pada 31 Maret 2002 yang berbunyi: Mengaku berbangsa satu; bangsa yang mencita-citakankan keadilan; Mengaku berbahasa satu; bahasa kebenaran; Mengaku bertanah air satu; tanah air tanpa penindasan. Deklarasi adalah sebuah KATA yang tidak boleh dikhianati oleh LAKU. Kerapuhan budaya Indonesia selama ini adalah LAKU mengkhianati KATA.

Dengan Prolog ini saya berharap bahwa buku yang terpegang di tangan pembaca sekarang ini akan dapat berbicara tentang sesuatu yang agak dalam. Indonesia sudah terlalu lelah dengan retorika yang serba dangkal sebagai bayangan dari kultur bangsa yang sedang latah. Keadaan ini tidak boleh dibiarkan. IMM bersama yang lain sebagai bagian dari anak bangsa yang sedang bangkit harus melumpuhkan segala bentuk kelatahan dan kedangkalan itu melalui kerja-kerja intelektual yang serius dan terarah.

Selamat Milad IMM ke-59. IMM Jaya !, Abadi Perjuangan Kami 

Sutia Budi, Alumni IMM, Wakil Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta, Kandidat Doktor IPB University

Exit mobile version