Semburat Syukur di Gerbong Kereta Api
Oleh: Agusliadi Massere
Adalah Rusdin S. Rauf, penulis buku Quranic Law of Attraction—yang telah menjadi buku bestseller—menegaskan, “Salah satu pusat energi yang terkandung dalam Al-Qur’an adalah energi syukur”. Rusdin pun menambahkan “Perintah bersyukur pun selalu didengung-dengungkan oleh Al-Qur’an. Seakan-akan sifat kesyukuran ini memiliki keistimewaan di mata Allah SWT”.
Perintah bersyukur adalah salah satu ajaran strategis dan fundamental dalam kehidupan, terutama sesuai dengan agama Islam. Rusdin pun menegaskan bahwa banyak ayat dalam Al-Qur’an yang mempertajam kesyukuran. Saya pun meyakini bahwa para sahabat pembaca yang beragama Islam telah pernah membaca atau minimal mendengar beberapa di antara ayat-ayat tersebut.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambahkan (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka pasti azab-Ku sangat berat”, QS. Ibrahim [14]: 7. Ini salah satu ayat yang menggambarkan urgensi syukur.
Masih terpahat indah dalam relief ingatan, memori enam belas tahun yang lalu, tepatnya tahun 2007. Ketika itu, saya bersama dengan Kepala SMK Negeri 2 Bantaeng (Pada saat itu dikenal sebagai SMK Kelautan Bantaeng), Bapak H. Zulkarnain menempuh perjalanan dari Ibu Kota Jakarta ke Kabupaten Depok, dengan menggunakan kereta api. Namun, yang menjadi pemantik dari tulisan ini, justru perjalanan pulang dari Kabupaten Depok ke Jakarta dengan menggunakan angkutan yang sama, kereta api.
Pada saat itu, saya kurang memperhatikan betul apakah yang saya naiki kereta api, kereta diesel atau kereta listrik, yang pasti seperti penamaan terhadap produk minuman/air mineral kemasan, apapun merknya disebutnya “air aqua”. Seperti itulah maksud saya, yang pasti orang menyebutnya saja “kereta api”.
Saya yang pada saat itu pertama kali menaiki kereta api—yang tepatnya kedua kalinya karena dua hari sebelumnya menggunakan angkutan yang sama—tentunya merasakan percikan psikologis yang amat dalam dan disebut dengan “rasa syukur”. Saya bersyukur karena ada hal baru yang saya rasakan, yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan.
Selain dipantik oleh perasaan eksistensial karena baru mengalami bagaimana rasanya menumpang/menaiki kereta api, ada hal yang lebih dahsyat sehingga semburat syukur atau rasa syukur itu mengalir bersama butiran air mata di dalam gerbong mengiringi perjalanan Depok-Jakarta. Perasaan ini, bukan berarti sebagai sikap terencana yang diniatkan untuk pelipatgandaan nikmat atau sebagai niatan untuk menggoda Allah untuk memenuhi janjiNya sebagaimana firmanNya di atas. Saya merasakannya secara spontan.
Meskipun secara algoritmik, saya sendiri menyadari bahwa ada pemicu sehingga semburat syukur itu memancar begitu dahsyat di tengah gerbong kereta api. Sekali lagi semburat syukur itu bukan hanya karena pengalaman eksistensial yang sekadar merasakan bagaimana rasanya menumpang atau menaiki kereta api.
Hal itu secara algoritmik dipicu oleh latar belakang kehidupan ekonomi saya, di tengah keluarga yang tergolong di bawah garis kemiskinan pada saat itu. Saya sering mengakui dalam diri, dan sampai hari ini pun mengakui bahwa pada saat itu kehidupan yang saya jalani berada dalam lingkaran keterbatasan yang sangat terbatas. Serba kekurangan, dan bahkan pada saat itu belum pernah memprediksi kapan saatnya menginjakkan kaki di ibu kota negara Indonesia, Jakarta tersebut.
Saya merasakan bahwa kekurangan yang melilit diri ini dan keluarga, dan/atau keterbatasan yang terus menekan, terkesan sulit menemukan pembanding yang lebih rendah di sekeliling kehidupan saya pada saat itu. Ternyata, sepanjang jalan di balik kaca gerbong kereta api itu, saya banyak menemukan, tepatnya melihat pemandangan yang menggambarkan fenomena kehidupan yang lebih rendah dari yang saya, bersama keluarga merasakannya. Inilah salah satu yang memantik semburat kesyukuran tersebut.
Selain itu, sepanjang jalan di atas gerbong kereta api itu sendiri, silih berganti pengemis yang datang dan mengharapkan uluran tangan dari kami para penumpang termasuk terhadap diri saya. Dalam diri, saya berkata, “alhamdulillah”, ternyata keterbatasan ekonomi yang saya dan kami rasakan bersama keluarga di Bantaeng, di sini sepanjang jalan di atas gerbong kereta api saja, masih banyak yang lebih rendah kehidupan ekonominya. Minimal juga, karena saya tidak pernah menjadi pengemis.
Sepertinya telah menjadi pemahaman bersama, bahwa seringkali semburat rasa syukur itu sulit terpancar karena kita belum mengetahui mekanismenya atau belum menemukan pembanding yang lebih rendah dari yang dimiliki, dirasakan, dan/atau dialami. Padahal agama Islam pun memiliki salah satu ajaran, “bahwa dalam urusan dunia, kita harus memandang yang lebih rendah agar bisa bersyukur”.
Memperhatikan perspektif ESQ Ary Ginanjar Agustian pun, pembanding yang salah/keliru atau dalam arti membalik rumus di atas, “dalam urusan dunia memandang ke atas”, maka itu berpotensi menutup suara hati kebenaran atau God Spot dalam diri. Dan Ary Ginanjar mengkategorisasikan sebagai salah satu dari tujuh belenggu hati.
Saya teringat dengan sebuah cerita kearifan. Bahwa konon, suatu waktu ada seorang laki-laki yang mendatangi seorang ustadz memintan saran dan petunjuk agar bisa terbebas dari himpitan hidupnya, salah satunya secara psikologis setiap hari merasakan kegalauan hidup. Laki-laki ini yang berperan sebagai kepala keluarga, menjelaskan bahwa dia memiliki seorang istri, dan empat orang anak, tinggal dalam gubuk yang hanya berukuran tiga kali tiga meter.
Singkat cerita mendengar keluhan laki-laki itu sang ustadz bertanya “Apakah Anda punya ayam dan kambing?” Maka dijawablah “Iya ustadz saya punya empat ekor kambing dan 5 ekor ayam”. Sang ustadz memberikan saran singkat “Masukkan semua kambing dan ayam tersebut di dalam gubukmu, dan tinggal bersama dengannya termasuk bersama istri dan anak-anakmu, dan setelah satu pekan kemudian kembali lagi ke sini menyampaikan hasilnya”.
Saya yakin para sahabat pembaca pun akan mengatakan “itu saran gila”, dan itu pulalah yang dirasakan oleh laki-laki tersebut. Tetapi, karena itu adalah saran dan petunjuk dari seorang ustadz yang sangat dikagumi dan dihormati di desanya, maka hal itu tetap diikuti dan dilaksanakan. Dimasukkanlah semuanya, dan betapa sangat tersiksanya kehidupan yang dirasakan dibandingkan sebelumnya, selama sepekan. Dirinya tetap bertahan meskipun harus merasakan penderitaan yang amat dalam serumah dengan kambing dan ayam.
Satu pekan kemudian dirinya mendatangi sang ustadz, sambil menyampaikan sikap protesnya. Tetapi, selain itu dirinya tetap mengharapkan petunjuk lain. Maka sang ustadz memberikan kembali saran bahwa, “keluarkan semua kambing dan ayam Anda tersebut, setelah satu pekan kembali lagi ke sini”.
Singkat cerita setelah mengikuti saran dan petunjuk sang ustadz yang kedua ini, betapa dirinya bersama istri dan anak-anaknya merasakan kebahagiaan yang amat dalam yang tidak pernah dirasakan sebelumnya. Sepekan kemudian dirinya mendatangi sang ustadz sambil menyampaikan ucapan terima kasih dan mengungkap rasa syukurnya betapa bahagia dirinya bersama keluarga. Berdasarkan cerita tersebut, lebih lanjut dikisahkan bahwa pasca petunjuk kedua sang ustadz, keluarga tersebut setiap hari diselimuti rasa syukur sampai pada akhirnya janji Allah terbukti dan kehidupannya semakin sejahtera.
Relevan dengan preseden historis atas apa yang pernah saya alami di atas kereta api tersebut, dan cerita kearifan di atas, termasuk perspektif Ary Ginanjar, bahwa memang seringkali yang menghambat semburat rasa syukur hanya karena diri kita belum merasakan, menemukan, dan mengalami, atau bisa jadi belum pernah melihat dan mendengar cerita kehidupan yang lebih rendah dari apa yang kita alami.
Memahami perspektif Rusdin, termasuk yang saya pahami dari Rhonda Byrne (penulis buku The Secret), Erbe Sentanu (penulis buku Quantum Ikhlas), Priatno H. Martokoesoemo (penulis buku Law of Spiritual Attraction), dan Robert Collier (penulis buku The Secret of The Ages), rasa syukur itu beroperasi dalam mekanisme law of attraction (hukum tarik menarik).
Rusdin pun dalam menuliskan bukunya terinspirasi dari Byrne dan Sentanu. Sederhananya, bahwa ketika kita selalu memancarkan rasa syukur, maka bisa dipastikan berdasarkan hukum tarik menarik (law of attraction) itu bisa dipastikan—sebagaimana dengan firman dan janji Allah pun—akan mendatangkan kenikmatan yang lebih banyak.
Saya yakin, sedikit-banyaknya kita semua termasuk para sahabat pembaca, telah memahami defenisi syukur baik secara etimologis maupun secara terminologis. Namun, ada defenisi secara terminologis yang menarik—dan bagi saya luar biasa—dari Rusdin. “Memperlihatkan pengaruh nikmat ilahi yang melekat dalam diri kita. Yaitu, melali kalbu dengan beriman, melalui lisan dengan pujian, dan sanjugan, melali anggota tubuh dengan melakukan amal saleh dan ketaatan.
Selain itu, ada lagi yang menarik dari Rusdin, dan itupun yang ingin saya tegaskan dalam tulisan ini. Rusdin menjelaskan bahwa ada tiga cara mengundang rasa syukur, yaitu: pertama, mengenal nikmat Allah; kedua, siap menerima nikmat Allah; dan ketiga, menggunakan sesuai dengan kemauan Sang Maha Pemberi.
Dari ketiga hal di atas, yang dipandang oleh Rusdin sebagai cara yang bisa mengundang rasa syukur, adalah pada poin yang ketiga “menggunakan sesuai dengan kemanuang Sang Maha Pemberi”. Mengapa saya tertarik untuk menegaskannya dalam tulisan ini?
Saya menemukan fenomena kehidupan, bahwa seringkali ada di antara kita (semoga diri ini dan pembaca jauh dari itu) terkesan ketika mendapat nikmat dari Allah justru digunakan bukan dalam konteks yang sesuai kemauang Sang Maha Pemberi atau justru di luar dari rel rido Allah.
Ada yang punya kekayaan melimpah, tetapi justru menjerumuskan dirinya larut dalam arus kehidupan berfoya-foya yang sangat tidak diridoi oleh Allah. Ada juga di antara kita, ketika mendapatkan jabatan dan tentunya itu juga amanah dari Allah, tetapi dilaksanakan di luar rel yang diridoi Allah. Keluar dari spirit sumpah/janji jabatannya, melanggar aturan bahkan tidak sedikit juga ada yang melakukan perbuatan yang lebih merusak kehidupan seperti korupsi. Hal ini, bertentangan dengan poin ketiga yang akan mengundang rasa syukur dalam perspektif Rusdin. Atau dalam bahasa sederhana kita, ini menodai semburan kesyukurannya tersebut, yang mungkin saja amat sangat terasa awal dilantik.
Dalam buku The 7 Laws of Happiness: Tujuh Rahasia Hidup yang Bahagia karya Arvan Pradiansyah, menegaskan “syukur” sebagai rahasia kedua mencapai kebahagiaan. Jika memahami lebih dalam perspektif syukur Arvan, dan termasuk konsepsi “irama kehidupan” berupa rido Allah yang telah ditiupkan dalam diri, maka orang-orang yang melakukan perbuatan paradoks/bertentangan dari cara mengundang rasa syukur yang ketiga dari Rusdin di atas, bisa dipastikan pula hatinya “akan gelisah” atau minimal “kebahagiaannya terganggu”.
Saya menyadari, ruang ini tidak cukup untuk menuangkan semuanya. Oleh karena itu, dengan berat hati sambil berpikir harapan pembaca, saya hentikan tulisan ini.
Agusliadi Massere, Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023