YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Muhammadiyah merupakan organisasi yang hadir dalam mata rantai Islam Indonesia, tetapi tanpa kehilangan kekhasannya sebagai pengusung Islam yang kosmopolitan atau Islam yang berwawasan semesta. Hal itu disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir dalam Pengajian Ramadhan 1444 H dengan tema “Risalah Islam Berkemajuan: Aktualisasi dalam Persyarikatan, Umat, dan Bangsa” di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (24/3/2023).
Menurut Haedar, Muhammadiyah merupakan organisasi yang punya akar yang kuat di Indonesia. “Muhammadiyah menjadi organisasi yang paling melintas secara sentrifugal. Muhammadiyah hadir hingga ke pelosok NTT atau Papua,” katanya. Organisasi lain mengakar di satu tempat, tetapi tidak menyebar.
Muhammadiyah telah mendapat banyak penilaian dari peneliti dalam dan luar. Di mata Sukarno, Muhammadiyah merupakan gerakan rejuvenasi. Menurut Mukti Ali, pembaharuan Kiai Dahlan sangat khas dan belum ada dalam catatan pembaharuan sebelumnya, setidaknya dilihat dari dua hal, pertama, gerakan pembaharuan perempuan. Kedua, lahirnya prenata modern, seperti sekolah, rumah sakit. Bahkan, sistem organisasi juga merupakan prenatal modern.
Haedar juga mengutip pandangan Kuntowijoyo bahwa pendidikan yang diinisiasi Muhammadiyah mengintegrasikan iman dan kemajuan. Hasil pendidikan Muhammadiyah melahirkan kaum terpelajar Muslim. Buah dari pendidikan tersebut antara lain terlihat pada tahun 1950-an dan 1960-an ketika anak-anak generasi Muslim terpelajar ini masuk ke semua bidang pemerintahan.
Dalam perkembangan selanjutnya, kata Haedar, ada keterputusan sejarah. Pertama, kita tidak punya kemampuan membangun narasi. Kedua, purifikasi Muhammadiyah terlalu kuat sehingga orientasinya menjadi serba puritan di wilayah tertentu.
Ketika momen itu terjadi, ada goncangan di internal Muhammadiyah. Mulai ada yang mempertanyakan keputusan Muhammadiyah. “Kita sebenarnya sudah menetapkan komitmen kebangsaan sejak lama, tetapi ketika ada momentum tertentu, kita sering kehilangan narasi.” Kita menyambut komitmen dan mata rantai pikiran kebangsaan. Sebab itu, misalnya pada 2015, Muhammadiyah meneguhkan negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wasy Syahadah.
Hal serupa, pandangan Islam berkemajuan juga sudah punya modal infrastruktur yang kokoh. “Risalah Islam Berkemajuan itu hasil Muktamar Muhammadiyah ke-48. Aisyiyah juga telah melahirkan Risalah Perempuan Berkemajuan,” tuturnya dalam pembukaan pengajian yang sudah berlangsung sejak 1986, setelah Muktamar 1985 di Solo yang merespons pemberlakuan asas tunggal.
Menurutnya, Risalah Islam Berkemajuan merupakan penjabaran dari konsep Islam berkemajuan yang menjadi Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua. Risalah Islam Berkemajuan mencoba mengelaborasi banyak sisi dari Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua.
“Islam berkemajuan itu posisinya sebagai apa? Islam berkemajuan merupakan pandangan keagamaan yang diformulasikan substansinya yang hidup dalam Muhammadiyah,” ulas Haedar. Sumbernya diformulasikan dari dokumen organisasi atau pemikiran tokoh Muhammadiyah.
Pada Muktamar 2010, Muhammadiyah juga membakukan Islam berkemajuan sebagai din al-hadlarah. Banyak sekali ajaran Islam yang membawa kepada kesimpulan bahwa Islam itu merupakan agama peradaban. Wahyu pertama tentang iqra, lalu ada ayat tentang Allah tidak mengubah suatu kaum sampai kaum itu merubah dirinya. Selama 23 tahun, Nabi berhasil membangun peradaban Madinah Al-Munawwarah, kota yang cerah dan kosmopolitan. (Ribas)