Mimpi Bertemu Rasulullah Saw

Mimpi Bertemu Rasulullah

Sumber Foto Unsplash

Mimpi Bertemu Rasulullah Saw

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Latar belakang saya meminta fatwa, terkait dengan fenomena akhir zaman yang kian marak, karena memang berada di fase saat ini. Salah satunya Mimpi Muhammad Qasim dari Pakistan tentang akhir zaman yang sudah banyak terbukti. Sementara salah satu ulama internasional Syeh Imran Hosen dalam banyak youtube/media sosial menyindir bahwa ulama masih tertidur dalam merespon peristiwa akhir zaman atau eskatologi pada umumnya. Berikut hal-hal yang ingin kami mohonkan fatwa yang dapat diikuti umat muslim dalam merespons mimpi Muhammad Qasim supaya sejalan dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan as-Sunah sehingga tidak menyimpang ataupun jatuh pada kesyirikan.

  1. Bagaimana tanggapan Muhammadiyah mengenai fenomena mimpi umat muslim di akhir zaman pada umumnya dan mimpi Muhammad Qasim khususnya?
  2. Apakah mimpi Muhammad Qasim termasuk ru’yah sadiqah yang dapat dipakai sebagai petunjuk untuk melakukan persiapan umat dalam menghadapi huru-hara akhir zaman?
  3. Apakah al-Mahdi akan muncul dari arah sebelum Khurasan atau Pakistan?
  4. Bagaimana Muhammadiyah menanggapi kebenaran mimpi-mimpi Muhammad Qasim?
  5. Apakah dibenarkan bahwa dalam salah satu hadis akhir zaman, di akhir zaman secara hukum dapat dijadikan pertimbangan setelah Al-Qur’an, al-hadis, ijmak, kiyas, kemudian ru’yah sadiqah?

Terima kasih.

Wassalamu ‘alaikum wr.wb.

Nina Din Ra (Disidangkan pada Jumat, 17 Rajab 1443 H/18 Februari 2022 M)

Jawaban:

Wa ‘alaikumussalam wr.wb.

Terima kasih atas kepercayaan saudari mengajukan pertanyaan kepada kami. Sebelum menjawab pertanyaan saudari, perlu kami terangkan dulu mengenai makna mimpi. Mimpi dalam bahasa Arab berasal dari kata رَأَى – يَرَى – رَأْيَةً yang berarti melihat dengan mata kepala, mengerti, dan bermimpi. Dalam Al-Qur’an mimpi diistilahkan dengan kata  الرأيا (al-ru’ya) yang berarti penglihatan dalam keadaan tidur, disebut juga dengan kataالبشرى   (al-buysra ) yang berarti kabar gembira, sedikit berbeda dengan kata الرأيا  ( al – ru’ya) yang berarti melihat dengan mata kepala. Menurut pengertian psikologi mimpi adalah aktivitas psikis orang yang tidur ketika ia tertidur.

Adapun pengertian secara bahasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mimpi adalah sesuatu yang terlihat atau dialami dalam tidur. Sedangkan secara terminologi, mimpi adalah sebuah hal yang terjadi di alam bawah sadar manusia dan telah lumrah datang di saat manusia tidur, baik berupa mimpi kebahagiaan ataupun kesedihan. Adakalanya baik di alam bawah sadar namun buruk di penafsirannya. Tidak ada yang mengetahui secara pasti akan kebenaran mimpi kecuali orang yang bermimpi itu sendiri dan Allah Yang Maha Mengetahui.

Di dalam kitab Tafsir Mimpi karya Muhammad Ibnu Sirin (Terjemahan Dr. Syihabuddin, M.A. dan Asep Sopian, S.Pd.), mimpi yang benar ialah gambaran yang benar menurut akal batiniyah, yang mengungkapkan kebenaran yang kukuh, yang tersimpan dalam benak, bahasanya benar dan menunjukkan aneka makna yang konsisten. Mimpi seseorang dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: (1) mimpi baik sebagai kabar gembira dari Allah, (2) mimpi yang menakutkan atau menyedihkan itu datangnya dari setan dan (3) mimpi yang timbul karena ilusi angan-angan atau khayalan seseorang. Dalam sebuah hadis Nabi saw telah dijelaskan,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا اقْتَرَبَ الزَّمَانُ لَمْ تَكَدْ رُؤْيَا الْمُسْلِمِ تَكْذِبُ وَأَصْدَقُكُمْ رُؤْيَا أَصْدَقُكُمْ حَدِيثًا وَرُؤْيَا الْمُسْلِمِ جُزْءٌ مِنْ خَمْسٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنْ النُّبُوَّةِ وَالرُّؤْيَا ثَلَاثَةٌ فَرُؤْيَا الصَّالِحَةِ بُشْرَى مِنْ اللهِ وَرُؤْيَا تَحْزِينٌ مِنَ الشَّيْطَانِ وَرُؤْيَا مِمَّا يُحَدِّثُ الْمَرْءُ نَفْسَهُ فَإِنْ رَأَى أَحَدُكُمْ مَا يَكْرَهُ فَلْيَقُمْ فَلْيُصَلِّ وَلَا يُحَدِّثْ بِهَا النَّاسَ [رواه مسلم].

Dari Abu Hurairah ra. [diriwayatkan] dari Nabi saw. Beliau bersabda: Apabila hari kiamat telah dekat, maka jarang sekali mimpi seorang Muslim yang tidak benar. Mimpi yang paling paling benar adalah mimpi yang selalu bicara benar. Mimpi seorang muslim adalah sebagian dari empat puluh lima macam Nubuwah (berita keilmuan). Mimpi itu ada tiga macam: (1) Mimpi yang baik sebagai kabar gembira dari Allah, (2) mimpi yang menakutkan atau menyedihkan, datangnya dari setan, (3) dan mimpi yang timbul karena ilusi angan-angan, atau khayalan seseorang. Oleh karena itu, jika kamu bermimpi yang tidak kamu senangi, bangunlah, kemudian salatlah, dan jangan menceritakannya kepada orang lain [H.R. Muslim nomor 4200].

Konsep Mimpi dalam Pandangan Al-Qur’an dan Sunah

Mimpi di dalam Al-Qur’an dijelaskan dalam beberapa ayat, yaitu: Q.S. Yusuf (12) ayat 4-5, 36-37, 41-49, dan 100, Q.S. al-Isra (17): 60, Q.S. ash-Shaffat (37): 102-107, serta Q.S. al-Fath (48): 27. Sedangkan di dalam H.R. al-Bukhari yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda,

لَا ‌يَبْقَى ‌بَعْدِي ‌مِنَ ‌النُّبُوَّةِ  إِلَّا الْمُبَشِّرَاتُ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَا الْمُبَشِّرَاتُ؟ قَالَ: الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ.

Kenabian telah habis kecuali al-mubasyirat. Para sahabat bertanya, apakah al mubasyirat itu? Beliau menjawab, mimpi yang baik.

Masalah Imam Mahdi

Perlu diketahui bahwa keyakinan Muhammadiyah tentang Imam Mahdi telah dijelaskan sebelumnya pada Majalah Suara Muhammadiyah No. 7 tahun 2009. Namun perlu kami jelaskan kembali, bahwa paham tentang adanya Imam Mahdi berkembang pada kalangan Syiah Imamiyah. Menurut Syiah Imamiyah pada akhir zaman akan datang seorang khilafah yang adil dari keturunan Ali bin Abi Thalib r.a. dengan nama Mahdi, yang akan berkuasa di seluruh dunia Islam.

Paham tentang Imam Mahdi pada mulanya termasuk rekayasa dan strategi Syiah Imamiyah untuk mengimbangi Kerajaan Bani Umayyah yang memerintah penuh penindasan kepada pengikut Ali bin Abi Thalib pada waktu itu. Sementara menunggu munculnya Imam Mahdi, maka dunia ini dipimpin oleh tokoh spiritual Syiah yang kasat mata (rijalulgaib) yang susunannya terdiri dari seorang Quthub atau Qhaus yang diberi nama insan kamil, empat orang Autad sebagai menteri, tujuh orang Abdal, dua belas orang Nukaba’ dan tiga ratus orang Nujaba.

Dengan mudah dapat dibantah bahwa kerajaan batin itu yang dikendalikan oleh orang-orang kasat mata tersebut pada hakikatnya tidak ada, melainkan hanya imajinasi orang Syiah, tidak bisa diterima oleh akal dan naql (Syara’). Begitu juga dengan Imam Mahdi yang dalam masyarakat Jawa disebut Ratu Adil. Muhammadiyah tidak meyakini adanya Imam Mahdi, karena tidak berdasarkan kepada dalil-dalil yang mutawatir.

Menurut Ibnu Khaldun, bahwa cerita tentang Imam Mahdi sangat simpang siur dari golongan Syiah, tidak jelas ujung pangkalnya. Soal Imam Mahdi oleh musuh-musuh Islam dipakai sebagai alat untuk merusak Islam, seperti adanya klaim dari Mirza Ghulam Ahmad, di samping sebagai Nabi juga sebagai Mahdi. Memang terdapat beberapa riwayat yang dinilai bertolak belakang dan ternilai daif dengan kebanyakan riwayat yang membicarakan seputar masalah ini. Riwayat-riwayat yang lemah dan bertolak belakang dengan riwayat-riwayat yang kuat di antaranya,

عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم إِذَا رَأَيْتُمُ الرَّايَاتِ السُّودَ قَدْ جَاءَتْ مِنْ قِبَلِ خُرَاسَانَ، فَأْتُوهَا؛ فَإِنَّ فِيهَا ‌خَلِيفَةَ ‌اللهِ ‌الْمَهْدِيَّ [رواه أحمد].

Dari Tsauban r.a. [diriwayatkan] ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, apabila kalian melihat panji-panji hitam datang dari Khurasan, maka datangilah meskipun dengan merangkak di atas es, karena di dalamnya ada khalifah Allah, yaitu al-Mahdi [H.R. Ahmad nomor 22387].

Dalam sanad riwayat ini terdapat Ali Bin Zaid yang dinilai oleh para ulama kritikus hadis sebagai daif. Bahkan ia banyak memiliki riwayat munkar yang hanya diriwayatkan olehnya. Jadi keseluruhan periwayatannya tidak bisa dijadikan argumen. Hadis ini juga digunakan oleh Bani Abbas (Dinasti Abbasiyah) sebagai justifikasi bahwa al-Mahdi akan muncul dari kelompok mereka, padahal keyakinan mereka ini bertentangan dengan banyak riwayat yang lebih kuat bahwa al-Mahdi yang sebenarnya akan muncul dari keturunan Nabi (ahlulbait) dan mempunyai nama yang sama dengan Nabi serta nama bapak Nabi, Muhammad bin Abdullah.

Namun demikian, jika ditelisik lebih seksama ternyata banyak ulama seperti al-Hafizh Abu Hasan al-Abiri dan Imam asy-Syaukani juga Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berpendapat bahwa hadis-hadis yang membicarakan tema ini memang mayoritas derajatnya ahad. Tetapi jika ditinjau secara menyeluruh akan ditemukan kandungan satu hadis mendukung hadis lain. Baik kandungan khusus (seperti hadis yang menceritakan ciri-ciri fisik al-Mahdi) maupun kandungan umum.

Terkadang ada hadis yang membicarakan asal usulnya (al-Mahdi) dari keturunan Nabi saw, lalu ada hadis lain yang menerangkan kondisi kehidupan saat al-Mahdi memimpin. Jika diurutkan, maka akan dapati semacam keselarasan yang sama-sama menerangkan bahwa al-Mahdi akan keluar di akhir zaman (kandungan umum). Dengan demikian dari segi kandungan khusus, maka hadis semisal yang menerangkan ciri fisik al-Mahdi berstatus ahad, namun dari segi kandungan umum, maka hadis ini adalah mutawatir ma’nawi. Derajat mutawatir ma’nawi ini telah menjadi ijmak ulama untuk menerimanya.

Di antara beberapa riwayat mutawatir ma’nawi itu ialah,

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ، قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: الْمَهْدِيُّ ‌مِنْ ‌عِتْرَتِي، مِنْ وَلَدِ فَاطِمَةَ [رواه أبو داود].

Dari Ummu Salamah r.a. [diriwayatkan,] ia berkata, aku mendengar Rasulullah saw bersabda, alMahdi berasal dari keluargaku dari keturunan Fatimah [H.R. Abu Dawud nomor 3735].

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ لَمْ يَبْقَ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا يَوْمٌ لَطَوَّلَ اللهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ ‌حَتَّى ‌يَبْعَثَ ‌رَجُلًا ‌مِنِّي أَوْ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي يُوَاطِىءُ اسْمُهُ اسْمِي وَاسْمُ أَبِيهِ اسْمُ أَبِي [رواه أبو داود].

Dari Abdullah bin Mas’ud r.a. [diriwayatkan] dari Nabi saw, beliau bersabda, seandainya dunia hanya tinggal sehari, Allah pasti akan memanjangkan hari itu sampai Allah mengutus seorang laki-laki dariku, atau dari keluargaku, yang namanya sama dengan namaku dan nama ayahnya sama dengan nama ayahku [H.R.Abu Dawud nomor 3733 hadis ini hasan sahih menurut Syekh al-Bani].

Imam al-Syaukani berpendapat bahwa hadis-hadis mengenai kedatangan al-Mahdi al-Muntazhar yang bisa diteliti sebanyak lima puluh hadis. Di antaranya ada yang sahih, hasan, dan daif. Riwayat-riwayat ini mutawatir tanpa ada keraguan dan kerancuan di dalamnya (Shadiq Hasan Khan dalam al-Idza’ah: 113-114 menukil dari al-Taudhih fi Tawatur Ma Ja’a fi al-Mahdi al-Muntazhar wa al-Dajjal wa al-Masih oleh Imam al-Syaukani).

Berdasarkan keterangan di atas, kami berpendapat bahwa keyakinan terhadap al-Mahdi yang merupakan bagian dari keyakinan terhadap hal-hal gaib adalah benar menurut hadis-hadis mutawatir ma’nawi. Akan tetapi, terkait dengan fenomena munculnya banyak klaim dari pihak-pihak tertentu yang mengaku-aku sebagai al-Mahdi, maka kami menyarankan agar umat Islam berhati-hati dan tidak mudah percaya pada klaim-klaim yang tidak jelas kebenarannya seperti itu. Umat Islam hendaknya bersikap kritis dan terus mengkaji persoalan-persoalan seperti ini melalui sumber-sumber yang jelas, yakni Al-Qur’an dan as-Sunah.

Mengenai sikap Muhammadiyah terhadap mimpi, bahwa setiap manusia dapat mengalami mimpi karena aktivitas psikis orang yang tidur ketika ia tidur. Namun mimpi tiap orang berbeda-beda sesuai dengan penyebab dan kedudukan manusia dalam kehidupannya. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam hadis yang telah kami jelaskan sebelumnya. Oleh karena perbedaan penyebab dan kedudukan tersebut, maka mimpi seseorang memiliki kualitas yang berbeda-beda, seperti halnya mimpi Nabi dengan mimpi orang biasa. Mimpi Nabi pasti benar dan bisa jadi mengandung penyampaian wahyu dari Allah, namun apabila mimpi yang terjadi pada manusia biasa, belum tentu benar.

Mengenai mimpi bertemu dengan Nabi saw, memang terdapat banyak hadis sahih yang meriwayatkan tentang mimpi bertemu Rasulullah, dalam hadis tersebut disebutkan bahwa siapa pun yang bermimpi bertemu Rasulullah maka benar orang tersebut melihat Nabi, sebab setan tidak dapat menyerupai tubuhnya. Orang yang bermimpi bertemu Nabi merupakan anugerah dari Allah dan hendaknya memperbanyak syukur.

Namun jika seseorang mimpi bertemu Rasullah maka harus sesuai dengan ciri-ciri fisik dan non fisik Nabi saw. yang telah dijelaskan dalam banyak riwayat yang sahih, bahwa Nabi saw. bukan orang yang tinggi sekali dan tidak pula pendek sekali, tidak juga putih sekali dan tidak berwarna coklat, rambutnya tidak terlalu keriting dan tidak terlalu lurus, dada dan perut yang rata, tampan, sementara rambut di kepala dan janggut beliau tidak lebih dari dua puluh helai uban serta memiliki akhlak karimah. Jika tidak sesuai dengan kriteria tersebut dapat diartikan itu bukan Nabi saw, melainkan setan yang mengaku-aku Nabi.

Orang yang memiliki kesucian hati dan istikamah dalam mengamalkan amalan-amalan saleh memiliki potensi besar bertemu Nabi saw dalam mimpi. Akan tetapi, ada kecaman serius bila mengaku-aku bertemu dengan Nabi saw atau menyampaikan sesuatu yang bukan dari Nabi saw namun mengatasnamakan Nabi saw. Nabi saw. bersabda,

عَنِ المُغِيرَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ‌إِنَّ ‌كَذِبًا ‌عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ، مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ [رواه البخاري ومسلم].

Dari al-Mughirah r.a. [diriwayatkan] ia mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka [H.R. al-Bukhari nomor 1291 dan Muslim nomor 4].

Orang yang memiliki pengalaman bertemu dengan Nabi saw dalam mimpi, tidak perlu disampaikan kepada publik lantaran dikhawatirkan menimbulkan pemahaman yang lain. Apalagi isi mimpi tersebut bertentangan dengan nas Al-Qur’an dan as-Sunah. Sedangkan dalam kasus ini orang yang bermimpi bertemu dengan Nabi saw, ia tidak menyebutkan kriteria sesuai dengan kriteria beliau seperti wajah, fisik, maupun akhlak Nabi saw. Selain itu, mimpi yang benar juga memiliki etika dalam bermimpi. Etika-etika tersebut antara lain:

  1. Hendaknya membiasakan berkata jujur, sebagaimana sabda Nabi saw,

أَصْدَقُكُمْ حَدِيْثاً أَصْدَقُكُمْ رُؤْياً [رواه الطبراني].

Orang yang paling benar ucapannya maka paling benar pula mimpinya [H.R. al-Thabrani].

  1. Menjaga kesucian sebelum tidur dengan berwudu
  2. Tidur dengan posisi kepala mengarah ke utara dan tubuh yang mengarah ke kanan.
  3. Larangan untuk menceritakan mimpi kepada orang yang hasud, sebagaimana dijelaskan pada Q. Yusuf (12): 5 dengan terjemahan sebagai berikut,

Wahai anakku! janganlah kamu menceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu, mereka akan membuat tipu daya (untuk membinasakanmu).

  1. Larangan untuk menceritakan mimpi kecuali sebagai rahasia.
  2. Larangan untuk berdusta tentang ihwal mimpi.

Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat dan mencerahkan.

Wallahu ‘alam bish-shawab.

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 17 Tahun 2022

Exit mobile version