YOGYAKARTA. Suara Muhammadiyah – Suatu saat ada seorang sahabat datang kepada Rasulullah dan bertanya “Rasul, Apa itu iman?” lalu Rasulullah menjawab “Iman itu apabila apa yang kamu lakukan tentang perbuatan baik, menjadikan hatimu senang, bahagia, tenang, dan perbuatan jahat yang kamu lakukan atau kemaksiatan yang kamu lakukan, menjadikan dadamu, hatimu susah itu masih ada, maka kamu masih disebut seorang yang beriman”. (H.R. Imam Ahmad). Terang ustad Rahmadi Wibowo saat mengawali ceramahnya pada malam ke-5 shalat tarawih di Masjid Islamic Center UAD.
Dalam hadis yang sudah disebutkan, beliau mengingatkan kepada para jamaah untuk senantiasa mengevaluasi peningkatan ibadah di bulan Ramadhan tahun ini. Selama 5 kali shalat tarawih apa sudah menjadikan hati menjadi tenang atau sebaliknya? Karena hati tidak akan merasa nyaman ketika seorang hamba mengerjakan sesuatu yang dilarang oleh agama seperti kemaksiatan, kemungkaran dan lain sebagainya.
“Kalau kita berbohong kemudian hati kita tenang, maka ‘jangan-jangan’ kita sudah tidak beriman. Tapi kalau kita berdusta, berbohong, lalu kemudian merasa gelisah dan ketakutan.” Ujarnya.
Kemudian ada dua hal dari hadits diatas yang memberikan petunjuk, yakni: Pertama iman itu tempatnya dalam hati. Karena hal tersebut akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Kedua, bahwasanya keimanan itu setiap hari akan selalu diuji. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Ankabut ayat 2;
اَحَسِبَ النَّاسُ اَنْ يُّتْرَكُوْٓا اَنْ يَّقُوْلُوْٓا اٰمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُوْنَ
“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman”, dan mereka tidak diuji?”
Ustad Rahmadi Wibowo kembali menjelaskan, bahwa para Mufasir saat mengomentari ayat tersebut, ada tiga ujian yang berat bagi orang beriman. Pertama adalah nafsunya. (Q.S. Asy-Syams: 8-10), bahwa manusia itu diberikan potensi untuk ingin melakukan kebaikan dan keburukan. Maka setiap hari bahkan setiap detik, selalu diberikan pilihan untuk memilih yang akan diikutinya. Kedua, yaitu harta. Beberapa ulama menyebut bahwa harta itu punya potensi besar untuk membelokkan, untuk menyimpang dari ketentuan-ketentuan syariat, sehingga banyak orang yang cenderung tidak kuat saat diberikan harta yang banyak. Ketiga, yaitu anak keturunan. Anak itu jika sudah menjadi teman, seolah-olah tidak akan berpisah. Tapi Jika sudah menjadi musuh. Maka anak itu kemudian harus dididik sebaik mungkin.
“Mari kita perteguh, perkuat iman kita. Kendalikan nafsu, harta yang dititipkan kepada kita, gunakan sebaik-baiknya. Ada infaq, shodaqoh, zakat, dan banyak sekali, bahkan memberikan buka, termasuk anak yang dititipkan kepada kita, kita didik dengan sebaik-baiknya,” tutupnya. (Siti Kamaria)