Buya Syafii Maarif Tidak Sulit Dipahami
Oleh: Riki Dhamparan Putra
Masalah Sejarah dan Kualitas Umat
Dari kampus Universitas Muhammadiyah Malang yang megah, yang indah, tanggapan seorang peserta dalam diskusi buku saya “Berdiang di Perapian Buya Syafii” (diselenggarakan Direktorat Pasca Sarjana UMM & GPSM) telah mengingatkan saya pada pertanyaan kecil 2021 lalu, ketika seorang pejabat utama di lingkungan Pemkab Kerinci menyatakan tak sanggup saat saya memintanya untuk menjadi narasumber dalam diskusi zoom yang mengangkat topik pandangan Buya Syafii. Alasannya waktu itu, Pemikiran Buya Syafii terlalu tinggi untuknya. Tentu saja saya bertanya-tanya dalam hati, apakah demikian? Mengingat calon narsum yang gagal itu adalah seorang doktor Kajian Budaya dan setahu saya ia adalah warga Muhammadiyah tulen walaupun terjun ke politik praktis.
Kali ini, seorang peserta diskusi (yang juga seorang pejabat di jajaran PDM Malang ) membuat pernyataan senada; Buya Syafii sulit dipahami! Ia menekankan, banyak warga Muhammadiyah agak asing dengan pikiran Buya Syafii. Selanjutnya ia juga merasa keberatan dengan uraian saya tentang perlunya “kritik agama” sebagai dasar dari semua usaha untuk memajukan kehidupan umat beragama dan Islam secara umum.
Terlepas dari status peserta yang membuat pernyataan tersebut adalah salah seorang pengurus di jajaran pimpinan daerah Muhammadiyah, saya memang sudah agak lama curiga kalau sebagian warga Muhammadiyah memang menganut waham yang sama terhadap Buya Syafii. Dugaan saya, situasi itu terjadi akibat dari tidak ada upaya untuk mencoba mengenali dan memahami gagasan keagamaan Buya Syafii secara intens.
Perlu juga diajukan faktor kemungkinan adanya “permainan bahasa” oleh sekalangan orang yang memang tidak menyukai kritik dan otokritik agama.
Jadi saya merasa perlu memberikan respon lanjut. Mengingat pernyataan senada bukan saja dapat berpengaruh pada citra yang dibangun sekalangan orang terhadap Buya Syafii – seakan-akan Buya Syafii dan pikirannya memang sesuatu yang sulit dipahami dan ujung-ujungnya mereka mengharapkan warga Muhammadiyah berpikir untuk menjauh dari pikiran Buya Syafii – melainkan terhadap pikiran-pikiran kritis dari para cendikia lainnya. Dengan demikian, pernyataan Buya Syafii sulit dipahami itu sebenarnya suatu politik bahasa untuk menciptakan suatu keadaan: seolah-olah warga Muhammadiyah asing dengan Buya Syafii.
Tentu saja, peserta yang bertanya ini tidak menyadari hal seperti itu. Karena dalam skema ini ia hanyalah bagian dari proses politik bahasa yang lebih besar – yang ditujukan untuk menyerang pikiran kritis dalam dunia agama, khususnya dari para cendikia Islam. Termasuk terhadap Buya Syafii Maarif. Catatan kecil ini berfokus menjawab soal ini: apakah Buya Syafii memang sulit dipahami?
Terlebih dulu, saya ingin berterimakasih kepada direktorat Pasca Sarjana UMM (khususnya Doktor Wahyudi Winarjo) dan GPSM (Kelompok Studi Pengkaji Pemikiran Buya Syafii) yang telah memfasilitasi diskusi buku saya. Mengingat buku saya bukanlah ulasan akademik yang ditulis untuk kepentingan akademik, maka partisipasi UMM dalam hal ini patut kita anggap sebagai usaha memajukan kecerdasan umum yang baik, karena bersedia membuka pintu universitas bagi model amatan non akademik seperti saya lakukan. Terpenting pula, membuktikan bahwa di lingkup formal perguruan tinggi Muhammadiyah, Buya Syafii dan pikiran-pikirannya bukanlah dunia asing. Berlawanan dengan klaim peserta diskusi di atas yang menyatakan Buya Syafii merupakan figur dengan pikiran-pikiran yang asing bagi Muhammadiyah.
Kenyataan bahwa buku saya tentang Buya Syafii ternyata disambut cukup baik oleh kalangan muda Muhammadiyah di beberapa kampus Universitas Muhammadiyah (di mana buku saya telah didiskusikan) turut pula memperkuat argumentasi ini. Walaupun berdasarkan pada perjalanan buku saya di beberapa kota, terlihat ada perbedaan minat di antara peminat wacana agama di kalangan perguruan tinggi. Jika mempergunakan terminologi muda dan non muda. Maka kalangan muda tampak lebih menginginkan suatu wawasan agama yang kritis (kaya dengan gagasan, jujur dalam melihat diri). Sementara yang lain cenderung he see going, tampil memberi sambutan (kalau ia pejabat) lalu meninggalkan arena diskusi. Tetapi yang lebih mencemaskan tentu kalau kalau yang bukan muda itu memelihara semacam phobia group dalam beragama: suka pada kemapanan dan menjauh dari sesuatu yang tidak sesuai dengan pikiran mereka tentang agama.
Untuk mencari tahu benarkah Buya Syafii asing dan sulit, ada beberapa topik yang menurut saya sangat menonjol dalam gagasan Keislamannya yang perlu diperiksa. Sebagian telah saya ulas di dalam buku saya. Antara lain; Sejarah, Masa Depan Agama, Puisi dan Agama, Keadilan Sosial, Fundamentalisme Agama, Kinerja Pemerintah. Ihwal garis besar pemikiran beliau tentang Demokrasi, Pancasila, Islam, Muhammadiyah, telah saya baca dalam uraian topik-topik tadi.
Pertama, sejarah. Bagaimana Buya Syafii mendefinisikan sejarah? Mari kita mulai membincang soal ini dengan mengutip pendapat seorang peneliti senior Islam Indonesia, Pak Syafii Anwar tentang karakter Buya Syafii Maarif sebagai cendikiawan. Ia menyatakan dalam endorsementnya di buku saya, Buya Syafii adalah cendekiawan par-excellence. Artinya seorang yang tidak berspekulasi. Ia tidak berpendapat kecuali itu berpeluang diwujudkan dalam tindakan yang dapat dilakukan, diukur, diuji dan hasilnya bermanfaat bagi kehidupan yang real. Karakter ini jelas mewarnai gagasan Buya Syafii dalam melihat sejarah.
Meminjam terminologi Arnold Toynbe, Buya Syafii dalam salah satu bukunya mengatakan, ia menganut pandangan sejarah sebagai sebuah misi, yakni misi moral, yang mengandaikan partisipasi di ruang sejarah perlu dipandu oleh orientasi dan tujuan-tujuan yang berlandaskan moral. Dalam hal ini berarti Buya Syafii merujuk pada landasan moral yang utama dalam Islam, Al Qur’an yang mulia dan Sunnah Nabi Saw.
Melalui pembacaan intens atas ayat-ayat Qur’an, ia lalu memeriksa bagaimana sejarah Islam bergerak jungkir balik sepanjang beberapa periode dan lebih kerap menampilkan kegagalan umat Islam dalam menterjemahkan visi Qur’an. Faktor yang sering disebutnya, itu terjadi akibat sejarah Islam didominasi oleh hasrat politik berkuasa dan politik penguasa. Persis seperti yang dikatakan Pak Syafii Anwar, melalui pembacaan saya atas sejarah Islam di kepulauan Melayu, saya pun telah memperkokoh cara pandang Buya Syafii itu. Hemat saya, dominasi politik kekuasaan dalam sejarah Islam di Kepulauan Melayu, bukan saja membuat sejarah itu berjalan dengan wajah yang penuh pertikaian, tetapi membuat sejarah terlepas dari visi utamanya sebagai ruang perwujudan moral. Untuk menggunakan terminologi Mircea Eliade tentang Yang Sakral dan Yang Profan, dominasi politik kekuasaan dapat melepaskan sejarah dari dimensinya yang suci, yang sakral, yang mampu membawa jarum jam sejarah ke dimensi ‘Eternal Return’nya (ke jalan pulang yang kekal). Sebaliknya, membuat sejarah tampil sebagai sekedar ruang profan dan meneror.
Dalam visi Buya Syafii, sejarah yang ideal bukanlah sejarah yang profan – melainkan yang mencerminkan tanggungjawab menunaikan tujuan-tujuan terdalam dari Qur’an untuk mencapai tatanan hidup yang humanis, solidaritas universal dan adil. Itulah sebabnya ia juga memuji bagian tertentu dari sejarah perkembangan Islam di Indonesia yang menampakkan juga sisi keramahan (toleransi budaya) di sisi kelambanannya mencapai kualitas.
Sejarah menurut Eliade, memperlihatkan cara manusia berada. Oleh karena itu, tekanan kepada aspek tindakan menjadi penting.
Konsepsi yang sama dapat kita gunakan untuk melihat cara pandang sejarah Buya Syafii yang juga memberi prioritas pada aspek tindakan ketika dia menjelaskan posisi sejarah secara substantif dalam Qur’an. Sebagai ilmu, sejarah menurutnya merupakan salah satu dari tiga besar jenis ilmu yang dinyatakan dalam Qur’an. Mengutip Al Hajj ayat 46, menurut Buya Syafii, Al Qur’an memerintahkan kepada manusia untuk menjadikan sejarah sebagai sarana refleksi. Hal ini tentu saja telah menjadi paradigma umum dalam wawasan Islam modern. Namun tesis Buya Syafii yang kontemplatif dan khas tentang sejarah barangkali pernyataannya: Islam lahir dan berkembang sepenuhnya dalam darah dan daging sejarah (Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, hal.18). Islam sebagai agama kalau demikian perlu dibaca dalam lingkup kreatifitas umat Islam di ruang sejarah.
Apakah sebabnya Buya Syafii memberi prioritas pada segi sejarah dalam usahanya menelusuri dunia Islam, khususnya Islam di Indonesia? Karena saya menggunakan konsepsi Eliade tentang sejarah, maka saya ajukan jawabannya cukup sederhana. Yakni, sejarah telah menjadi lokus yang diabaikan dalam dinamika Islam di Indonesia, oleh karena Islam sepanjang kehadirannya di Kepulauan (yang sekarang bernama Indonesia) memang tidak berminat untuk eksis sebagai sebuah subjek sejarah ( dalam arti menjadi komunitas pencipta yang dengan ciptaannya itu ia melihatkan cara beradanya) melainkan terlalu didominasi oleh tradisi. Dengan tradisi, kata Eliade manusia tidak menghendaki sejarah. Malahan bersikap negatif pada sejarah. Inilah kutipan lengkapnya: manusia dari peradaban tradisional tidak menghargai peristiwa sejarah itu sendiri; dengan kata lain, dia tidak menganggapnya sebagai kategori khusus dari cara keberadaannya sendiri.
Apakah Manusia Sejarah itu? Kata Eliade pula, adalah yang secara sadar dan sukarela menciptakan sejarah. Karakter ini idealnya dimiliki oleh manusia modern, walaupun Eliade sendiri meragukan apakah manusia modern telah sepenuhnya beralih pada historisisme.
Titik tekan kita cukup jelas, sejarah merupakan cara berada. Dalam catatan ini, itu disebut dengan istilah yang lebih sederhana, partisipasi. Dalam format tradisi, partisipasi bukan dimaksudkan sebagai cara berada, melainkan upaya yang dilatarbelakangi “ketaksadaran kolektif” untuk meneruskan kebiasaan-kebiasaan yang bersifat given dari para leluhur. Oleh karena itu, tradisi tidak mendorong suatu gerak kolektif ke arah “penciptaan baru” yang memungkinkan kehidupan bertransformasi, karena landasan moralnya adalah kelegaan emosional setelah melakukan apa yang menurut tradisi itu harus dilakukan.
Berdasar ini, mahfumlah kita mengapa dalam refleksi sejarahnya, Buya Syafii mengulang-ulang mengingatkan pentingnya umat Islam melihat sejarah dengan jujur. Ini harus diartikan: apakah Islam dalam masa hadirnya yang hampir satu setengah milenium (berdasarkan Seminar Medan 1997) di Kepulauan telah mempunyai sejarah? Untuk lebih memperkuat argumentasi ini, marilah kita ingat perkataan Tan Malaka: “Bangsa ini beloem pernah mempoenjai sejarah, kecoeali perboedakan”.
Masalah Kualitas Umat
Bergandengan dengan tantangan semacam itu, Buya Syafii juga menuntut umat Islam memperhatikan kualitas. Hal yang masuk akal, karena partisipasi umat Islam di ruang sejarah bagaimana pun akan ditentukan oleh kualitas umat Islam itu sendiri. Ia menulis “kemenangan kuantitas telah dicapai dengan mengagumkan oleh umat Islam Indonesia sepanjang kehadirannya, tetapi belum kemenangan kualitas” (Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan.Mizan.2009). Populasi yang terus meningkat dan membesar, menurut Buya Syafii malah berpotensi menjadi beban sejarah bila tidak diiringi oleh peningkatan kualitas umat.
Kualitas umat yang dimaksud Buya Syafii dapat kita cari dalam kerangka uraiannya tentang Islam secara umum. Ia, sebagaimana gurunya Fazlur Rahman, konsisten pada konsepsi Islam sebagai Rahmat bagi sekalian alam dengan Tauhid sebagai tonggak pokoknya. Alam di sini tidak dapat diartikan sebagai alam fisik atau dalam pengertian sains belaka. Tetapi alam sebagaimana wawasan bahasa Melayu menerima dan memahaminya. Alam di sini bermakna segala ciptaan Allah Yang Maha Tinggi, kompleksitasnya, keluasan dimensinya dan dengan demikian juga sejarahnya. Jika Islam itu Rahmat bagi sekalian alam, maka konsekwensinya, Islam harus mampu mempertahankan peran dan posisinya selaku sumber pengetahuan dan perlindungan yang kekal sepanjang waktu alam itu masih ada berada dengan aneka ragam gurenahnya yang berubah-ubah. Dengan kata lain, Islam yang ditetapkan sebagai Rahmatan lil alamin itu sesungguhnya adalah apa yang dalam konsepsi Eliade disebut sebagai “Roh Universal” yang memberi perlindungan dan penghiburan dari teror sejarah (Mircea Eliade. The Myth of The Eternal Return or, Cosmos and History. Princeton University Press).
Tauhid yang menjadi tonggak Islam, akan tidak bermakna apa-apa bila itu tidak terejawantahkan di ruang hidup yang nyata. Itulah mengapa tekanan kepada Keadilan Sosial menjadi fokus Buya Syafii pada tiap uraiannya tentang Tauhid atau Keesaan Tuhan dalam Islam.
Sudah lazim dikatakan dalam diskursus Islam di masa modern ini, bahwa monoteisme dan kemanusiaan terkait secara organik dalam Qur’an. Sebagaimana ditulis Fazlur Rahman ( Islam: Legacy and Contemporary Chalenge. Islamic Studies, Vol. 19, No. 4 (Winter 1980), pp. 235-246) Islam itu sendiri lahir sebagai tanggapan terhadap masalah spiritual-moral dan sosial tertentu, terutama terhadap politeisme dan kesenjangan sosial-ekonomi yang parah yang berlaku di komunitas pedagang yang makmur di Mekkah abad 7 Masehi. Buya Syafii dalam sejumlah bukunya telah pula memperjelas soalan ini, bukan saja sebagai konsepsi tetapi sebagai ungkapan karakter Tauhid yang imani. Sebagian pengamat menyebut, dengan penegasan semacam itu, Buya Syafii menempatkan diri di barisan Islam modernis – karena Tauhid dengan implikasi sosial merupakan sumbangan khas kaum modernis Islam. Tetapi bagi saya itu lebih tampak sebagai usahanya mempertegas landasan substansial dalam meletakkan standar pengukur kualitas keumatan. Sebetapapun canggihnya standar-standar kualitas sosial yang digariskan oleh manusia kontemporer yang serba canggih, tanpa landasan Tauhid itu menjadi hampa di mata Buya Syafii.
Lombok Timur, 29 Maret 2023.
Penulis adalah sastrawan. Kini aktif berpartisipasi dalam sejumlah komunitas pengkaji pemikiran Buya Syafii.