YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ramadhan Di Kampus (RDK) Masjid Islamic Center UAD melanjutkan kajian Dhuha yang kedua. Pada kesempatan kali ini, Kompol (P) H. Muhammad Jamaludin Ahmad, S.Psi. (Ketua LPCR PP Muhammadiyah) selaku pemateri pada kajian Dhuha. Beliau memberikan stimulus bahwa orang yang paling mulia adalah orang yang paling bertakwa (Al-Hujurat: 13). Dan menjadi orang tersebut, salah satunya dengan melaksanakan ibadah puasa (Al-Baqarah: 183).
“Ketika Allah memanggil orang beriman untuk berpuasa, kemudian dijelaskan maksud dan misi akhir dari puasa adalah membentuk kepribadian takwa. Pikiran sederhananya, kita mulia kalau bertakwa. Salah satu cara bertakwa dan menjadi mulia adalah dengan berpuasa Ramadhan. In Syaa Allah” ucapnya, Sabtu (01/04).
Beliau mengambil hikmah dari Q.S. Al-Baqarah: 183, bahwa ada tiga hal yang penting, yaitu: Pertama, modal puasa itu iman. Kedua, perintah dari ayat tersebut yaitu puasa. Ketiga, menghasilkan ketakwaan. Maka dari itu, ada sebuah proses untuk menjadi orang yang bertakwa yaitu puasa. Inti dari puasa adalah berlatih menempa diri untuk mampu menjauhkan diri dari larangan Allah swt dan mampu melaksanakan perintah-Nya.
“Kalau kita mengambil salah satu makna dari akar kata takwa adalah pengendalian diri. Hal ini sangat penting dalam dunia pendidikan. Jadi sederhananya, indikator orang yang berhasil puasanya dalam perspektif psikologi adalah orang yang setelah puasa atau dengan puasanya, orang itu akan semakin mampu mengendalikan dirinya.”jelasnya.
Oleh karena itu, untuk mampu mengendalikan diri butuh proses, berlatih, dan membiasakan nilai-nilai yang baik untuk dijalankan dan membiasakan diri menjauhi dari nilai-nilai yang dilarang. Dengan hal itu akan mampu mengendalikan dirinya.
Inti dari puasa adalah pengendalian diri. Maka puasa Ramadhan menjadi salah satu model pendidikan keluarga yang patut dioptimalkan orangtua dalam mendidik anak-anaknya. Ibadah puasa memberikan edukasi positif bagi sikap keberagaman (religiusitas) anak di bawah bimbingan dan keteladanan orangtua dan dukungan masyarakat lingkungannya.
Beliau mengutip perkataan Abdullah Nashih Ulwan dalam kitab Tarbiyatul Awlad, bahwa Rasulullah SAW memerintahkan orantua untuk mendidik anaknya mendirikan shalat sejak usia tujuh tahun. Dari perintah itu, dapat disamakan dengan puasa yaitu melatih anak-anak untuk melakukan puasa secara bertahap jika mereka sudah kuat.
Secara umum ayat tentang puasa itu dari surat al-Baqarah: 183-188. Dalil pertama, dengan berpuasa, orang beriman diproses meningkatkan kualitas imannya untuk menjadi insan yang bertakwa. Kedua, puasa mendatangkan banyak manfaat dan kebaikan. Ketiga, menjadikan orang yang berpuasa lebih tambah rasa syukurnya kepada Allah. Keempat, menjadikan manusia ingin selalu berada pada jalan kebenaran atau Islam. Kelima, jadi lebih bertakwa kepada Allah. keenam, menjadikan manusia tidak mau mencuri dan berbuat curang.
“Sehingga kita harus sangat bersyukur dengan adanya al-Quran, hidup kita menjadi tertib dan teratur. Bahkan tidak hanya itu, Allah juga menjadikan Qur’an dengan Islam itu hidup menjadi mudah bukan rumit. Dengan al-Qur’an, membuat manusia merasa diawasi oleh Allah,” terangnya.
Keterkaitan puasa dengan pendidikan anak
Pertama dari sisi akidah, saat berpuasa anak-anak akan merasakan bahwa Allah swt senantiasa mengawasinya sehingga tidak berani makan dan minum walaupun bisa bersembunyi dari penglihatan orangtua, saudara dan temannya. Ini merupakan pendidikan akidah yang fundamental. Tidak sekadar menyakini keberadaan tuhan, tetapi juga teraplikasi dalam perilakunya (Al-Baqarah: 185).
Kedua dari sisi ibadah. Tidak hanya melaksanakan ibadah puasa, sejumlah ibadah lain juga dibiasakan dengan melibatkan keluarga secara bersama, seperti shalat fardhu jamaah, tarawih, zikir, tadarrus, berinfak dan zakat fitrah. Pembiasaan ibadah ini efektif dilakukan untuk mendidik anak agar menjadi hamba yang salih.
Ketiga dari sisi akhlak. Aneka akhlak mulia ditanamkan dan dibiasakan saat berpuasa kepada anak. Seperti disiplin, jujur, sabar, berkata santun, tolong-menolong dan menghargai orang lain. Selama berpuasa anak dituntun menjauhi perilaku buruk, karena merusak puasa. Sabda nabi, “Sesungguhnya menggunjing dan berdusta merusak puasa”. (H.R. Muslim).
Keempat dari sisi pendidikan amar ma’ruf nahi munkar. Ketakwaan tidak akan terwujud pada orang yang berpuasa bila tidak peduli untuk berdakwah amar ma’ruf nahi munkar untuk dirinya, keluarga dan orang lain. Puncak orang yang berpuasa adalah tidak akan melakukan kemungkaran (Al-Baqarah: 188). Melalui puasa Ramadhan, sejak dini anak-anak dididik untuk mengetahui mana yang baik dan buruk.
Kelima dalam aspek emosi. Ketika puasa dianjurkan untuk tidak marah, tidak mudah tersinggung. Orang berpuasa dididik untuk memiliki kepribadian yang baik, peduli dan berempati pada orang lain.
Keenam dalam aspek komunikasi. Ketika orang sedang puasa Ramadhan dilarang untuk bicara kotor, bicara yang tidak ada gunanya namun diperintahkan untuk bicara yang baik, mulia, bermakna dan bermanfaat. Bicara yang baik, mulia dan bermakna akan mendatangkan pahala, manfaat, menguatkan silaturahmi dan ukhuwah.
Itulah enam keterkaitan puasa dengan pendidikan anak. Kemudian beliau memaparkan tentang faktor penyebab Rasulullah sukses membangun peradaban. Salah satunya yaitu hidup disiplin, prihatin dan amanah sejak kanak-kanak. Dan itu adalah faktor yang hilang dalam dunia anak.
“Maka puasa salah satunya yang mengajarkan untuk mampu hidup prihatin, mengerti bahwa hidup harus berjuang. Salah satu dampak pada era sekarang adalah anak-anak terkondisikan dengan menyukai yang instan atau menghilangkan rasa keprihatinan,” tutupnya. (Badru Tamam)