SURAKARTA, Suara Muhammadiyah – Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menggelar Tabligh Akbar dalam dengan tema ‘Bersiap menjadi Generasi Unggul dan Mencerahkan’ yang dikemas dalam serangkaian Gema Kampus Ramadhan (GKR) 1444 H, pada Jumat, (31/3) yang dilaksanakan di Masjid Hj. Sudalmiah Rais.
Dalam kesempatan tersebut, diawali sambutan Rektor UMS, Prof., Sofyan Anif M.Si., yang menyampaikan pada Tabligh Akbar putaran ke dua ini dimohon mahasiswa dapat mengikutinya dengan lebih baik.
“Mumpung di Bulan Ramadhan, bulan yang agung. Tentu setiap orang yang beriman menjalankan puasa dan ibadah lain, termasuk kita melakukan kajian malam ini. Insyaa Allah kita menjadi orang mulia sebagaimana menjadi tujuan puasa itu sendiri,” papar Rektor UMS itu.
Menurutnya, orang muttaqin itu salah satu cirinya adalah orang yang berilmu dan orang yang bertakwa adalah orang yang berilmu kemudian mengamalkan dalam bentuk amal sholeh. “Mahasiswa belajar, melakukan kajian seperti malam ini dalam rangka untuk menguatkan keilmuan,” ujarnya.
Narasumber Tabligh Akbar kali ini, Fathurrahman, Lc., M.Si., selaku Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengungkapkan akan sharing tentang karakter generasi yang unggul dan mencerahkan. “Mudah-mudahan pertemuan di kampus kita ini, di masjid kebanggaan kita semua senantiasa menginsipirasi dunia dan umat Islam,” ungkapnya.
Ketika Rasul SAW, diutus oleh Allah SWT, lanjutnya, bertugas memberikan satu amalan yang penting dari bangsa arab waktu itu, yang datang membawa misi untuk membaca ayat-ayat Allah SWT. Membacakan ajaran-ajaran Allah. Rasul membawa ajaran, sebagai kontra narasi, dan membuat narasi alternatif dari apa yang diyakini masyarakat masa jahiliyah.
“Transformasi kepribadian, dari satu tradisi jahiliyah yang dijelaskan dalam Al Qur’an, terdapat dua poin. Poin pertama konsep ketuhanan, mereka tidak sampai pada pengetahuan, siapa yang menjadi tuhan. Ke dua, mereka disorientasi terhadap kehidupannya,” paparnya.
Pada misi kenabian, tambahnya, membawa dua pelajaran paling penting dan menginsipasi dunia, ajaran nabi dan rasul yang pertama yaitu menjawab apa dan siap yang disembah. Ke dua, Allah tidak ada diantara kita yang bertemu atau beraudiensi dengan tuhan, yang pasti semua agama meyakini, diantara umat manusia ini ada yang punya kesucian diri. Diantara kualifikasi mereka yang disebut ulul azmi. Untuk melakukan trasformasi besar.
“Dalam Al-Qur’an, betul-betul melakukan satu apa yang disebutkan tauhid itu sendiri. Memurnikan konsep tauhid itu sendiri. Bagi Muhammadiyah narasi ini, sering dilantunkan dalam mars Muhamamdiyah. Dengan konsekuensi, harus bersedia menghadapi narasi dan wacana dan ajakan kehidupan yang bertentangan,” tambah Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu.
Ia menyampaikan dalam kehidupan, tanpa batas kadang-kadang dengan berbagai tampilan yang ada di sosial media. Apakah budaya semacam itu patut kita tiru atau tidak. Kecenderungan yang terjadi adalah masyarakat terkalahkan secara kebudayaan luar yang tidak sesuai dengan agama Islam. Dengan demikian terjadilah satu istilah, penjajahan kebudayaan.
“Ketika Islam datang pada masa jahiliyah, di mana tradisi jahiliyah sendiri berarti kebodohan. Maka tradisi yang dibangun oleh Islam adalah tradisi yang ilmiah, tradisi yang berbasis pada keilmuan,” ujarnya.
Kata kuncinya adalah Ramadhan yang kita alami, kita mampu mengalami transformasi. Di mana selama bulan Ramadhan, kita dilatih secara karakter maupun moral.
Terakhir, apa yang disebut ‘ibadah’ kita harus meninggalkan jejak perubahan, transformasi diri moral maupun akhlaq. Kalau kita ingin menjadi pribadi yang unggul harus mencontoh baginda Rasul. Mari kita trasnformasikan nilai profetik dalam kehidupan kita. (Fika)