YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah– “Perumpamaan kita adalah perumpamaan seperti lebah. Bukan diperumpamakan dengan hewan-hewan lainnya, tetapi kita diperumpamakan seperti lebah”. Jelas ustadz Fadhlurrahman, Dosen PAI UAD, mengutip salah satu hadits riwayat Imam Ahmad, saat mengawali ceramah tarawih di Masjid Islamic Center UAD. Senin (03/04).
Beliau kemudian melanjutkan dengan menyebutkan ciri-ciri lebah, yaitu pertama; ‘akala tayyiban’ (memakan yang baik). Lebah itu makan makanan yang terbaik. Di dalam bunga ada benang sari, putik dan lain-lain. Tetapi yang paling baik itu yang diambil dan dimakan oleh lebah. Begitu pula, seorang mukmin sejatinya akan pilih-pilih makanan, karena ada halal dan haram. Maka orang mukmin pasti akan memilih makanan yang halal dan menghindarkan seluruh makanan yang mengandung syubhat. Bahkan perintah untuk memakan yang baik dan halal sudah Allah katakan dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 168;
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ اِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu”.
Ciri yang kedua, adalah; setelah memakan yang baik, lebah pasti meninggalkan yang baik pula, yaitu madu. Bahkan Nabi sendiri menjelaskan bahwa madu memiliki keutamaan yang luar biasa, salah satunya adalah baik untuk stamina, sebagai obat dan lain lain. Ketiga, setelah memakan yang baik dan meninggalkan yang baik, lebah itu ketika hinggap di tempat tertentu, dia tidak akan merusak dan tidak akan memecahkan tempat tersebut atau sarangnya.
Hakikatnya seperti seorang mukmin. Dimanapun berada, tidak akan meninggalkan kecuali kebaikan. Lebah juga termasuk hewan yang suka menyerang bersama-sama, tetapi tidak akan menyerang kecuali diserang terlebih dahulu. Maka dalam hadis, Nabi Muhammad saw. menjelaskan bahwa; “Seorang mukmin dengan mukmin yang lain seperti satu bangunan yang saling menguatkan”. Maka, sejatinya seorang muslim itu tidak akan mungkin menyakiti saudaranya dengan lisan dan tangan serta menyalahkan saudara ketika salah dengan lisan dan tangannya, kecuali disampaikan dengan cara yang hikmah atau baik.
“Sudah bukan waktunya untuk saling menyalahkan, tapi saatnya kita ‘ittihadul muslim’, saling menghargai sesama muslim. Persatuan umat muslim harus kita jaga, seperti lebah tadi, ketika diserang sarangnya, dia pasti akan menyerang bersama-sama. Ketika kita umat Islam diserang secara utuh, pasti kita akan bersatu,” tutupnya. (Siti Kamaria)