Taqwa itu Karakter Permanen Bukan Gelar setelah Berpuasa
Oleh: M. Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag.
Karakteristik ayat-ayat tentang kewajiban puasa ramadhan itu sangat unik, karena kewajiban puasa ramadhan hanya terdapat di satu tempat saja dan menjadi satu rangkaian utuh, yaitu di surat al Baqarah ayat 183 sampai dengan 187.
Selain di tempat ini tidak ada lagi ayat yang menyinggung tentang puasa ramadhan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Menariknya lagi ketika kita mencermati rangkaian ayat-ayat itu akan kita ketahui bahwa penggalan akhir ayat pertama [2:183] berbunyi la’allakum tattaqún (agar kamu bertaqwa) dan rangkaian ayat-ayat puasa yangvterakhir [2:187] ditutup dengan la’allahum yattaqūn (agar mereka bertaqwa). Di mana bertaqwa yang pertama berhubungan dengan kewajiban menjalankan puasa, sedangkan bertaqwa pada ayat kedua berkaitan dengan beberapa batasan dalam hal puasa yang tidak boleh dilanggar (fa lā taqrabūhā).
Realitas teks ini semakin menguatkan pernyataan bahwa puasa itu kalau dilakukan dengan benar akan memberi pengaruh yang kuat bagi kualitas dan peningkatan level manusia menjadi muttaqīn.
Taqwa ketika merujuk kepada target puasa dan pengaruhnya yang berkelanjutan, maka akan
sangat naif kalau taqwa hanya sekedar diartikan secara terminologis, sekedar menjalankan perintah dan menjauhi larangan saja.
Seharusnya takwa yang dihasilkan melalui ibadah puasa yang benar akan membangun malakah yaitu karakter yang tumbuh melekat di dalam jiwa memberi kekuatan ruhiyah guna menciptakan harmoni gerak semua anggota badan untuk saling bersinergi menjaga ritme langkah hidupnya di atas kebenaran agama.
Dalam sebuah hadits kekuatan ruhiyah yang dikembangkan melalui puasa ini dianalogkan fungsinya seperti wijā’ yang secara literal berarti tameng atau perisai. Wijā’ yang disabdakan oleh nabi berfungsi sebagai pengendali hawa nafsu bagi pemuda yang belum mampu nikah sebenarnya dalam tradisi arab dipahami sebagai bentuk tindakan medis memutus urat yang menimbulkan hasrat seksual.
Dengan demikian filosofi puasa yang dengan analogi ini berfungsi memberi kekuatan ruhaniah untuk meredam gejolak syahwat agar tidak mudah merespon segala bentuk stimulus negatif dari luar. Dengan demikian yang dituntut adalah kecerdasan dan kelihaian pemakai tameng dalam menghalau dan membaca serangan musuh.
Puasanya harus tulus dan benar agar mampu menajamkan kecerdasan spiritual dan emosional dalam rangka memaksimalkan fungsi perisai ruhaniah itu.
Dalam kesempatan lain nabi menyebutkan fungsi puasa sebagai junnah [al-shiyāmu junnah] yang artinya benteng. Benteng itu berfungsi sebagai basis pertahanan yang kokoh sekaligus tempat yang paling aman mengatur strategi melawan dan menyerang balik dengan mengoordinasikan semua potensi dan kekuatan internal.
Dengan mengacu kepada dua analogi tersebut serta memahami makna filosofi wijā dan junnah maka fungsi puasa itu benar-benar membangun kekuatan karakter yang permanen bukan hanya bertahan satu bulan. Tetapi masing-masing dari dua terma itu memiliki objek yang berbeda yang wijā’ lebih fokus kepada fungsi pengendalian shahwat sedangkan junnah lebih dikaitkan dengan fungsi mencegah syubuhāt yang ditimbulkan oleh hati yang kalau tidak diredam akan mengembangkan sikap suka pamrih dan melahirkan kehebohan sosial dalam setiap ibadahnya.
Kenyataan inilah yang menjadi latar belakang pernyataan nabi tentang kualitas ibadah puasa mayoritas umatnya yang tidak bernilai karena syahwatnya yang tidak mampu dikendalikan dan hatinya yang melahirkan syubuhat suka pamrih dan mengurangi nilai lillāhnya.
Karakter takwa yang permanen tidak hanya ditumbuhkembangan melalui ibadah puasa wajib tetapi juga harus disinergikan dengan ibadah sunnah yang lain, inilah yang disebut dengan muhsin.
Seseorang muttaqin yang perbuatannya sampai pada tingkatan ihsan tidak hanya menjalankan yang wajib tetapi menambah nilai ibadah wajibnya dengan yang sunnah sehingga menghasilkan kebaikan yang melampaui secara kualitas maupun kuantitas.
Amal ibadah manusia ibarat bekal untuk sebuah perjalanan panjang, bekal itu harus dirawat untuk sampai di tempat tujuan yang diinginkan.
Maka orang yang bertakwa harusnya tidak merusak nilai amal ibadah yang akan menjadi bekal perjalanan menuju akhirat dengan tindakan dosa dan perbuatan sia-sia lainnya.
Di samping itu salah satu cara menjaga nilai ibadah tetap berfungsi sebagai bekal menuju akhirat adalah dengan melaksanakan ibadah-ibadah sunnah sebagai penyempurna ketidaksempurnaan pelaksanaan ibadah-ibadah yang wajib yang sudah kita lakukan.
Kalau paradigma menjaga nilai ibadah dilakukan seperti halnya menjaga bekal dalam perjalanan ini sudah menjadi pilihan hidup bagi seorang muslim, maka sejatinya dia telah merawat takwa itu menjadi karakter yang tumbuh permanen dalam hatinya.