YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah- “Allah berjanji, bahwa orang-orang yang bertakwa itu akan diberi balasan surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dan juga akan diberikan pasangan-pasangan yang suci serta kerinduan dari Tuhannya”. Prolog ustadz Diyan Fathurrahman (Kepala Asrama Putra Persada UAD) selaku penceramah tarawih Kamis (13/04), mengutip makna dari salah satu ayat di dalam Al-qur’an tentang balasan bagi orang-orang yang bertakwa.
Beliau mengatakan bahwasanya untuk menjadi bertakwa itu ada syarat-syaratnya. Nah, hal ini merujuk pada firman Allah dalam surah As-Syams ayat 8, yang berbunyi;
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَىٰهَا
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”.
Ayat ini menerangkan bahwa di dalam diri setiap insan terkandung dua potensi yang pasti dimilikinya, yaitu potensi fujur atau potensi untuk berbuat kejahatan, dan wataqwaha atau potensi untuk berbuat kebajikan, yakni berbuat takwa. Untuk menjadi bertakwa, seseorang perlu melakukan aneka macam kebaikan. Al-qur’an menyebut bahwa salah satu fungsinya adalah hudan warahmatan lil muhsinin (petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat baik), kadang disebut hudan lil muttaqin (petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa), dan yang sering didengar, Al-qur’an juga menjadi hudan linnas (petunjuk bagi manusia) yakni petunjuk bagi orang-orang yang berbuat baik.
Beliau kemudian melanjutkan, bahwa kebaikan di dalam Al-qur’an itu memiliki berbagai nama. Pertama, disebut dengan istilah ‘Toyib’. Ini untuk menunjukkan baik dari sisi jasmani atau dari sisi fisiknya orang tersebut sehat. Tetapi, kadangkala ada orang yang jasmaninya terlihat sehat namun pikirannya tidak.
Selanjutnya, untuk menunjukkan bahwa jasmaninya sehat, pikirannya sehat, akalnya sehat, dan jiwanya sehat, maka disebut istilah yang kedua; yaitu ‘Khoir’. Yakni sehat dalam hal fisik (jasmani), sehat akal, dan juga sehat jiwa. Kemudian yang ketiga, disebut dengan istilah ‘Ma’ruf’, yaitu apabila kebaikan tersebut berubah menjadi sikap. Misalnya, apabila seseorang dicela, ia kemudian membalasnya dengan hal yang lebih baik. Lalu yang terakhir, apabila kebaikan itu kemudian dikerjakan karena mengharap ridho Allah swt, maka itu disebut sebagai Ihsan. Oleh sebab itu, seseorang bisa dikatakan bertakwa apabila ia melakukan kebaikan-kebaikan ini.
“Mudah-mudahan kita disebut sebagai orang yang bertakwa, sebagaimana tujuan kita berpuasa,” tutup Ustad Diyan Fathurrahman. (Siti Kamaria)