Malam Al-Qadar, “Growth Mindset” dan Hari Idul Fitri

Qiyam Ramadhan

Foto Ilustrasi

Malam Al-Qadar, “Growth Mindset” dan Hari Idul Fitri

Oleh: Wildan dan Nurcholid Umam Kurniawan

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya

pada malam al-Qadar.

Dan apakah yang menjadikan engkau tahu

apakah Lailat al-Qadar? Lailat al-Qadar

lebih baik dari seribu bulan.

Turun malaikat-malaikat dan Ruh padanya

Dengan izin Tuhan mereka untuk mengatur

segala urusan. Salam ia sampai terbitnya fajar”

(QS al-Qadr [97] : 1 – 5)

Manusia dari kata manu (bahasa Sanskerta) dan mens (bahasa Latin) yang berarti “makhluk berakal budi”. Manusia bukan sekedar superior animal, tetapi ia diciptakan sebagai makhluk yang unik. Kemampuan adaptasi yang luar biasa yang tidak dimiliki oleh makhluk hidup lainnya, kemampuan manipulatif tangan-tangannya yang mengagumkan dan kemampuan berkomunikasi dengan bahasa. Lebih dari itu, menurut Jacob (1975), apa yang merupakan ciri khas manusia ialah kemampuan berpikir dengan otaknya. Dengan ciri khas otak yang dimilikinya manusia menamakan dirinya Homo Sapiens, yang secara optimistis berarti Manusia Si Bijak.

Otak dan perilaku saling terkait, kedua-duanya kompleks, dan secara evolusioner kedua-duanya berjalan bersama-sama. Setiap perilaku, baik pikiran, perasaan, ataupun tindakan-tindakan manusia berawal di dalam otak. Otak merupakan sumber fisik perilaku dan bertindak sebagai pusat komando pengendalian perilaku.

Dengan kerumitan otaknya yang telah mencapai perkembangan yang menentukan, muncullah bakat berbahasa. Dengan bahasa isyarat dan verbal sederhana, manusia purba dapat menyampaikan segala yang mereka pelajari dan alami; pengalaman yang disimpan di dalam otak sebagai ingatan (memory) itu diwariskan dari generasi ke generasi. Dengan demikian terjadilah evolusi lain, yaitu evolusi nonbiologis, evolusi yang dikendalikan oleh otaknya, yang dapat menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya, apa yang disebut peradaban manusia.

Bahwa al-Qur’an menyebut bahwa bulan Ramadhan  sebagai bulan turunnya al-Qur’an (QS al-Baqarah [2] : 185) dan itu terjadi pada malam hari, tetapi tanpa menetapkan tanggal tertentu (Shihab, 2009). Malam al-Qadar, “malam mulia” atau “malam penentuan”, adalah salah satu malam di bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan adalah anugerah Tuhan kepada umat manusia agar senantiasa menjaga dan memelihara akal budinya, karena konsekuensi dari keinsafan yang mendalam akan kehadiran Tuhan dalam hidup ialah moralitas yang tinggi, budi pekerti luhur, atau al-akhlaq al-karimah (Madjid, 1998).

Menurut M Quraish Shihab (2012), dalam bukunya “Al-Lubab, Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah al-Qur’an”, adapun tema utama Surah al-Qadr, Kemuliaan, sebagaimana kutipan di awal tulisan ini, adalah uraian tentang keagungan al-Qur’an dan kemuliaan malam al-Qadr.

Tujuannya adalah mengajak umat Islam untuk menyambut kehadiran al-Qur’an dengan mengamalkan tuntunannya serta meningkatkan ibadah pada bulan Ramadhan agar dapat meraih keistimewaan malam Qadar itu. Mengingat Lailat al-Qadr merupakan salah satu malam di bulan Ramadhan.

Jika surah yang lalu, al-‘Alaq [96] : Yang Berdenyut di Dinding Rahim, menguraikan tentang wahyu al-Qur’an yang pertama. Surah al-Qadr [97] ini antara lain menguraikan tentang masa turunnya wahyu al-Qur’an yang pertama itu dengan menyatakan : Sesungguhnya Kami, Allah Swt., melalui malaikat Jibril telah menurunkannya, yakni menampakkan al-Qur’an atau kelima ayat awal surah al-‘Alaq, pertama kali ke alam nyata pada malam al-Qadr yakni malam yang mulia, serta malam penentuan.

Selanjutnya, ayat ke-2 menguraikan kehebatan malam itu dengan menyatakan : Apakah yang menjadikan engkau, siapa pun engkau walau Nabi Muhammad Saw., tahu apakah Lailat al-Qadr? Yakni engkau tidak akan mampu mengetahui dan menjangkau secara keseluruhan betapa hebat dan mulia malam itu. Kata-kata yang digunakan manusia tidak dapat melukiskannya dan nalarnya sukar menjangkaunya. Untuk memberi sekedar gambaran, ayat 3 menyatakan bahwa Lailat al-Qadr itu lebih baik daripada seribu bulan.

Kebaikan dan kemuliaan Lailat al-Qadr yang disinggung oleh ayat-ayat sebelumnya, dilukiskan lebih jauh oleh ayat 4 dengan menyatakan bahwa pada malam itu silih berganti turun malaikat-malaikat dan Ruh, yakni malaikat Jibril dengan izin Tuhan Pemelihara mereka untuk mengatur banyak urusan. Dampak dari turunnya itu menurut ayat 5 adalah salam, yakni kedamaian dan kesejahteraan yang agung dan besar sampai dengan terbitnya fajar.

Adapun pelajaran yang dapat dipetik dari Surah al-Qadr [97] ayat 1 – 5 adalah :

  1. Al-Qur’an turun pertama kali pada salah satu malam agung, yang dinamai Lailat al-Qadr dan itu terjadi pada salah satu malam di bulan Ramadhan.

 

  1. Walaupun malam pertama turunnya al-Qur’an dapat diduga, yakni 17 atau 27 Ramadhan, namun menentukan kapan datangnya Lailat al-Qadr sesudah tahun turunnya al-Qur’an itu tidaklah dapat diketahui secara pasti, kecuali bahwa ia terjadi pada bulan Ramadhan.

 

  1. Malam al-Qadr tidak dapat dilukiskan kehebatannya. Dari namanya “malam mulia” atau “malam penentuan” dapat ditarik kesan bahwa ia sangat mulia dan sangat menentukan, melebihi kemuliaan dan penentuan yang terjadi pada seribu bulan selainnya.

 

  1. Malam di mana al-Qur’an yang merupakan cahaya wahyu Ilahi menerangi alam raya untuk memberi petunjuk kebahagiaan umat manusia, (satu malam itu) jauh lebih baik daripada seribu bulan, di mana kemanusiaan hidup dalam kegelapan syirik dan jahiliah.

 

  1. Beribadah pada malam Lailat al-Qadr sama nilai pahalanya – bukan kewajiban ibadahnya – dengan beribadah selama seribu bulan. Siapa yang “bertemu” dengannya, akan memperoleh bimbingan Ilahi sehingga pada akhirnya malam itu merupakan malam penentuan bagi perjalanan hidupnya ke depan, dunia dan akhirat.

 

  1. Malaikat adalah petugas-petugas yang ditetapkan Allah Swt. mengurus berbagai urusan. Kita tidak mengetahui bagaimana cara kerja mereka. Salah satu fungsi mereka, menurut al-Qur’an, adalah mengukukuhkan rohani manusia dan mendorongnya beramal saleh. Dengan demikian, salah satu indikator pertemuan dengan Lailat al-Qadr adalah terdorongnya seseorang melakukan aneka kebajikan.

 

  1. Sementara kaum sufi memahami arti terbitnya fajar pada ayat ini sebagai terbitnya fajar matahari dari sebelah barat, yaitu yang terjadi kelak menjelang kiamatnya dunia sehingga ayat ini mereka pahami bahwa keselamatan, kedamaian, dan kebebasan dari segala bentuk kekurangan terusmenerus berlangsung hingga saat terbitnya fajar tersebut. Ini bagi yang beruntung menemui Lailat al-Qadr. Demikian wa Allah A’lam

 

Malam al-Qadar dan “Growth Mindset”

Malam al-Qadar merupakan salah satu malam di Ramadhan, menurut Shihab (2009), dalam bukunya “Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an”, bahwa kemuliaan dan nilai seribu bulan itu dapat diperoleh seseorang sebagai hasil ibadah dan pendekatan kepada Allah selama bulan Ramadhan. Ibadah-ibadah yang dilakukannya secara tulus dan ikhlas itu akan dapat berbekas dalam jiwanya sehingga pada akhirnya ia mendapatkan kedamaian, ketenangan sehingga mengubah secara total sikap hidupnya.

Boleh jadi orang tersebut sebelum ini masih sering melakukan pelanggaran kecil atau besar, tetapi sebagaimana kita ketahui, seringkali ada saat tertentu di mana timbul kesadaran di dalam jiwa, kesadaran akan dosa dan kelemahan manusia di hadapan Allah, sehingga mengantar seseorang untuk mendekat kepada-Nya, sambil menginsafi kesalahannya. Kesadaran dan keinsafan itulah yang mengubah sikapnya 180 derajat. Kesadaran semacam itu, bila dirasakan seseorang, itulah bukti bahwa ia telah mendapatkan Lailat al-Qadr itu.

Kesadaran ini memang dapat muncul kapan saja, tetapi pada malam-malam Ramadhan – khususnya pada akhir bulan Ramadhan – kesempatan mendapatkannya sangat besar bagi mereka yang mengasah dan mengasuh rohaninya sejak awal Ramadhan, apalagi Allah sendiri telah menetapkan salah satu malam dalam bulan itu untuk tujuan tersebut.

Apabila kesadaran tersebut telah hadir dalam jiwa seseorang, pengaruh yang ditimbulkan dalam sikap dan pola hidupnya akan sangat besar sehingga benar-benar dapat merupakan semacam peletakan baru pertama dari kebajikan untuk sepanjang hayatnya, sekaligus ia merupakan malam penetapan bagi langkah-langkah hidupnya di dunia dan di akhirat kelak.

Yang dimaksud dengan mindset adalah pola pikir. Bahwa manusia memiliki dua jenis mindset. Pertama mindset yang tumbuh (growth mindset) dan kedua mindset yang tetap (fixed mindset). Orang-orang yang bermindset tetap cenderung mementingkan apa yang didapat dari masa lalunya, yaitu prestasi sekolahnya yang tampak dalam ijazah dan gelar sekolah. Akibatnya, gelar S Ag. yang diperolehnya, menjadi sekedar Sarjana Agak gimana, gitu loh atau gelar MSI menjadi Ming Sitik Ilmune. Dan sekali didapat, mereka percaya bahwa prestasi itu akan berlaku selama-lamanya. Persis seperti cara pandang kita tentang IQ. Yang parah jika dapat “gelar” M Sc. maksudnya Medal Saking campus atau DO (Drop-out) keluar sebelum lulus. Hal ini bisa terjadi, karena lebih dulu mendapat “gelar” Ph. D yaitu Perkawinan hamil Duluan !

Sebaliknya, yang ber-mindset tumbuh berani menghadapi tantangan baru. Mereka percaya bahwa kecerdasan bisa berubah seperti otot, yang kalau dilatih akan menjadi kuat dan besar. Menurut Carol S Dweck (2008), penulis buku “Mindset : The New Psychology of Success” yang telah diterjemahkan dengan judul, “Mindset, Mengubah Pola Berpikir untuK Perubahan Besar dalam Hidup Anda”, menemukan bahwa mindset tumbuh itu kelak akan diraih oleh mereka yang berani menghadapi kesulitan dan tantangan-tantangan baru, beradaptasi dengan perubahan. Dengan kata lain, seseorang yang berhasil menghadapi kesulitan dan tantangan dalam menjalani ibadah puasa Ramadhan dan “menemukan” malam al-Qadr, terlihat mindsetnya tumbuh ! Hidupnya berubah dari buruk menjadi baik, dari baik menjadi lebih baik ! Dari saleh ritual menjadi saleh esensial ! Atau, saleh substansial ! Agar tidak jadi sialan !

Menurut Madjid (1998), dalam bulan Ramadhan dengan berbagai latihan rohaniahnya (spiritual exercice), orang beriman diharapkan akan dapat melepaskan diri dari belenggu penyembahan kepada hal-hal selain Allah Swt. serta mampu menemukan kembali harkat kemanusiaannya sebagai makhluk atau ciptaan Allah Swt. yang terbaik.

Adapun problem belenggu kemanusiaan yang dapat memalingkan manusia dari Allah Swt., terkadang dapat berbentuk nafsu tak terkendalikan kepada cinta materi, seperti rumah mewah, mobil mewah, tanah, isteri dan anak. Yang kalau saja seseorang melakukan penyembahan kepada hal-hal yang bersifat materi tersebut, dengan sendirinya, sebenarnya, ia sudah terjerumus ke perilaku syirik, seperti yang dikatakan dalam ungkapan keseharian orang Inggris, “He washes his car ritually”. Ini mengindikasikan betapa manusia, karena belenggu kecintaan kepada hal-hal yang bersifat materi tersebut, tanpa disadari menjadi materi sebagai sesembahannya, seperti harus mencuci mobil sebagai layaknya ritual saja.

Namun juga jangan disalahpahami bahwa tidaklah benar bahwa bila kita harus hidup sesuai dengan ajaran Islam, maka kita harus pula menghindari dari atau menjauhkan diri dari hal-hal berbau keduniaan atau materi. Dunia dan materi dalam Islam dipandang sebagai hal-hal yang positif, seperti disebutkan dalam al-Qur’an, “Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan langit dan bumi dengan hak ?” (QS Ibrahim [14] : 19).

Bahwa bumi dan langit beserta isinya semua diciptakan untuk kepentingan manusia dalam beribadah menyembah Allah Swt. Islam melihat alam semesta ini dengan konsep positive values, dipenuhi dengan nilai-nilai positif bagi kehidupan dan kelestarian manusia itu sendiri.

Perlu ditegaskan di sini bahwa sekali-kali Islam bukan agama rahbaniyah, yang mengharamkan hal-hal bersifat duniawi atau materi, atau mengajarkan kepada pengikutnya untuk meninggalkan hal-hal berbau duniawi, zuhud atau asketik.

Satu hal yang harus digarisbawahi di sini bahwa kelebihan malam Qadar itu adalah nilai pahalanya bukan kewajiban ibadahnya sehingga, dengan demikian, amat keliru mereka yang hanya ingin beribadah dan melaksanakan kewajiban agama pada malam Lailat al-Qadr atau malam-malam Ramadhan dan tidak lagi melaksanakan kewajiban pada hari-hari lainnya dengan dalih bahwa pelaksanaannya ketika itu sudah seimbang dengan pelaksanaan tuntunan agama seribu bulan lainnya (Shihab, 2009).

Maka,

Berhati-hatilah dengan pikiranmu,

sebab akan jadi kata-kata

Berhati-hatilah dengan kata-katamu,

sebab akan jadi perbuatan

Berhati-hatilah dengan perbuatanmu,

 sebab akan jadi kebiasaan

Berhati-hatilah dengan kebiasaanmu,

sebab akan jadi watak

Berhati-hatilah dengan watakmuy,

sebab akan menentukan nasibmu !

 

Menurut Shihab (2012), maka jiwa yang mencapai kedamaian dan ketenteraman mengantar pemiliknya dari ragu kepada yakin, dari kebodohan  kepada ilmu, dari lalai kepada ingat, khianat kepada amanat, riya’ kepada ikhlas, lemah kepada teguh, dan sombong kepada tahu diri. Itulah alamat jiwa yang telah mencapai kedamaian dan itu pula yang dapat dijadikan bukti pertemuan dengan Lailat al-Qadr.

Kesehatan Otak, Ramadhan Bulan Purgatorio, dan Hari Idul Fitri

Kadang muncul suatu ungkapan yang menyatakan bahwa hidup pada zaman sekarang, bila ingin menjadi orang yang bersih atau “Mr. Clean”, adalah sulit. Perlu dicamkan benar-benar bahwa setiap orang beriman dituntut untuk dapat melakukan mujahadah, menahan diri. Dengan demikian, ia tidak hanyut terbawa arus, dengan terus mentransendensikan diri dari kultur politik yang ada. Dan inilah yang sesungguhnya dinamakan ketakwaan, demikian tulisan Nurcholish Madjid, 1998, Sang Guru Bangsa.

Miriam Budiarjo, Guru Besar Ilmu Politik Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial UI, telah menulis buku dengan judul, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”. Adapun isinya : !) Sifat dan Arti Ilmu Politik; 2) Hubungan Ilmu Politik dengan Ilmu Pengetahuan Lainnya; 3) Konsep-Konsep Politik; 4) Demokrasi; 5) Komunisme dan Istilah Demokrasi dalam Terminologi Komunis; 6) Undang-Undang Dasar; 7) Hak-Hak Azasi Manusia; 8) Federalisme : Pembagian Kekuasaan Menurut Tingkat; 9) Trias Politica : Pembagian Kekuasaan Menurut Fungsi; 10) Partai-Partai Politik; 11) Badan Legislatif; 12) Badan Eksekutif; 18) Badan Yudikatif.

Berbuat salah itu manusiawi. Mempertahankan kesalahan itu perbuatan iblis. Sudah tahu itu perbuatan salah, lalu mengajak orang lain untuk ikut berbuat salah itu perbuatan setan. Contohnya, korupsi berjamaah. Setan itu kata sifat, bukan kata benda. Maka, setan dapat berwujud jin atau manusia ! Andaikata, Kanjeng Nabi Ibrahim masih sugeng di zaman now, bisa jadi para koruptor itu alias para-setan berwujud manusia, sudah dilempari batu pada jidatnya ! Genting bocor sih gampang nambalnya. Anggaran bocor, susah bener nambalnya. Karena sengaja dibuat bocor beramai-ramai. Dalam bahasa keren berkolaborasi untuk korupsi ! Bekoar, Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Tetapi, kelakuannya “sila pertama” Keuangan yang maha kuasa !

Tulang jidat adalah tulang tengkorak manusia yang paling tebal. Di balik tulang jidat terdapat prefrontal cortex, otak yang hanya dianugerahkan Tuhan hanya kepada manusia, hewan tidak. Maka, dalam bahasa agama, takwa itu letaknya dibalik jidat. Bukan di dalam dada, yaitu jantung yang dalam bahasa salah kaprah seringkali disebut hati. Hati letaknya di rongga perut.

Kata iman diterjemahkan percaya. Kata percaya berasal dari kata cahaya. Maka, orang yang beriman atau percaya kepada Tuhan mukanya akan memancarkan cahaya, meskipun jidatnya tidak hitam.

Tuhan menciptakan manusia dengan penuh kecintaan, maka sudah sepatutnya dan selayaknya manusia juga membalas dengan penuh rasa cinta kepada Tuhan. Oleh karena itu, untuk mengenali tanda-tanda bahwa orang itu beriman adalah, (QS al-Anfal [8] : 2),  apabila disebut nama Allah berdebar-debar jantungnya (bukan bergetar hatinya), hal ini terjadi karena saking cintanya kepada Allah. Selain itu, apabila mendengar ayat-ayat Allah akan bertambah-tambah imannya (karena makin bertambah cintanya kepada Allah). Hal ini serupa dengan, jika mendengar nama isteri tetanggamu disebut atau dipanggil namanya, lalu berdebar-debar jantungmu. Maka, fenomena ini namanya “senior” alias “senang isteri orang” ! Jantung berkaitan dengan otak emosi (sistem limbik) yang letaknya di dalam kepala manusia.

Ibaratnya, otak emosi kalau dalam pemerintahan adalah bupati /walikota, otak pikiran adalah gubernurnya. Maka, prefrontal cortex atau otak budi, adalah menteri dalam negeri. Jadilah manusia “makhluk berakal budi”. Tanpa (otak) budi akalnya di-pake untuk ngakali dan akal-akalan bagaimana caranya agar dapat membobol anggaran ! Tuhan pun mengancam, kelak akan diseret ke neraka pada jidatnya ! (QS al-‘Alaq [96] : 15).

Adapun fungsi prefrontal cortex adalah :

  1. Pengendali nilai, para Nabi adalah contoh manusia yang sukses menggunakan prefrontal cortex-nya, perilakunya bernilai di hadapan Tuhan maupun umat manusia yang beriman. Para Nabi adalah manusia yang sesungguhnya manusia, perilakunya manusiawi, tidak hewani;

 

  1. Perencanaa masa depan, lewat Kitab Suci Tuhan mengingatkan umat manusia tentang adanya Hari Akhir, Hari Pembalasan, agar menjadi manusia yang visioner, punya pandangan dan membuat perencanaan yang jauh ke depan, agar kelak selamat dan sejahtera ketika hidup di Akhirat; dan

 

  1. Pengambilan Keputusan, hal ini dikarenakan Tuhan menciptakan manusia untuk bebas membuat pilihan (free choice), bebas berkehendak (free will), dan bebas bertindak (free act). Adapun keputusan itu bernilai, apabila keputusan itu baik, benar dan adil. Baik, apabila sesuai dengan petunjuk Tuhan dalam Kitab Suci dan yang dicontohkan para Nabi. Benar, apabila sesuai dengan ilmu pengetahuan. Adil, apabila hal itu sesuai dengan proporsinya. Syukur-syukur ikhsan. Lalu apa bedanya adil dengan ikhsan? Jika dapat jatah lima, lalu diambil lima itu adil. Namun, jika ingin berbuat ikhsan, maka, jatah lima diambil dua saja. Yang tiga diberikan kepada anak yatim piatu, fakir miskin, janda “glamour”, maksudnya janda yang sudah “golongan lanjut umur”. Mengapa? Karena janda muda sudah banyak yang mau mengurus. Apalagi sang janda “kutilang datang”, alias “kurus tinggi langsing dada menantang”. Maka, yang mau mengurus akan berlomba-lomba untuk mengurusnya. Jika perlu dikawin siri !

Oleh karena itu, agar perilaku manusia tidak ngaco, maka mendagri senantiasa sowan kepada Presidennya para presiden, Allah Swt, Zat Yang Mahatinggi, The Ultimate, sehari lima kali dan tujuh belas kali mengucapkan “Hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan. Bimbing (antar)lah kami (memasuki) jalan lebar dan luas. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat” (QS al-Fatihah [1] : 5 -7), ketika melakukan ritual shalat. Bahkan Presidennya para presiden tengah malam pun ketika umumnya manusia tidur lelap masih berkenan disowani.

KH Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah dan tokoh bangsa ini berpesan, hendaklah menjadi manusia berkemajuan yaitu manusia yang senantiasa menjalankan ajaran agama dan hidup sesuai dengan arah gerak zaman. Sedangkan Indonesia Berkemajuan menurut Muhammadiyah mempunyai banyak dimensi beberapa di antaranya adalah : Pertama, berkemajuan dalam semangat, alam pikir, perilaku, dan senantiasa berorientasi ke masa depan. Kedua, berkemajuan untuk mewujudkan kondisi yang lebih baik dalam kehidupan materiil dan spiritual. Ketiga, kemajuan untuk menjadi unggul diberbagai bidang dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain. Dan menurut Muhammadiyah Indonesia Berkemajuan dapat dimaknai sebagai negara utama (al-Madinah al-Fadhillah), negara berkemajuan dan berkeadaban (Umran) dan negara yang sejahtera (Fanani, 2018).

Memang, “kesehatan bukan segalanya tetapi tanpa kesehatan segalanya menjadi tidak bermakna, health is not everything but without it everything is nothing”(Arthur Schopenhauer, 1788 – 1860).

Menurut Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik (jasmani), mental (nafsani), spiritual (rohani), maupun sosial (mujtama’i) yang memungikinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dengan kata lain, kesehatan adalah keadaan sehat jasmaniah, nafsaniah, rohaniah dan mujtama’iah.

Menurut Aswin (1995), selama berabad-abad orang merasa yakin bahwa pusat perilaku bukanlah otak. Jantung (atau hati) paling sering dikatakan sebagai mekanisme utama kegiatan manusia. Filsuf Yunani Plato (420 – 347 SM) membagi-bagi perilaku di antara tiga bagian tubuh : keberanian dan ambisi berpusat di hati (maksudnya jantung), penalaran di kepala. Sedangkan sifat-sifat yang lebih rendah, seperti hawa nafsu dan  rasa lapar berpusat di perut.

Otaklah yang membuat manusia menjadi manusia, it is the brain that makes man a man (Livingstone, 1967 dalam Aswin, 1995). Otak adalah organ paling penting manusia. Otak dibentuk oleh 172 milyar neuron (sel saraf) dan nonneuron. Dengan berat 1,5 kg otak mampu mengontrol fungsi organ lainnya secara keseluruhan, Karena itu, otak dapat mengatur segala aktivitas hidup manusia (Machfoed, 2016).

Belum ada definisi konkret tentang otak sehat. Karena itu mengacu pada Undang-Undang Kesehatan tersebut di atas, maka secara sederhana otak sehat dapat diartikan sebagai otak yang keberadaannya juga sehat secara fisik, mental, spiritual, dan sosial (Machfoed, 2016).

Otak sehat (healthy brain) amat penting bagi kehidupan manusia, lebih-lebih untuk seorang pemimpin yang berotak sehat ibarat matahari yang menyinari semesta alam. Sinarnya membuat alam hidup bergairah. Otak sehat berbeda dengan otak normal (normal brain). Disebut normal, apabila otak memiliki struktur anatomi dan fungsi seperti apa adanya (anatomical and physiological normally).

Otak sehat bukan sekedar otak normal. Otak sehat tidak saja karena ia dapat berfungsi secara baik, tetapi juga memiliki nilai-nilai (values) tertentu terhadap setiap fungsi yang dimilikinya. Bahwa otak bukan semata-mata daging biasa seperti dipahami selama ini oleh masyarakat, tetapi memiliki nilai-nilai (values) membangun peradaban hingga bisa bertahan. Bahkan, kepemimpinan yang tepat, harus bisa mendayagunakan kemampuan otak secara optimal, sehingga ia melampaui batas kenormalannya menuju kesehatan otak (Machfoed, 2016).

Chiefy Adi Kusmargono (2021), telah menulis buku dengan judul : “ Nationalism Leadership, Transforming Culture, Energizing Future, Kepemimpinan yang Lahir dan dibutuhkan Masa Depan Ibu Pertiwi”, yang guna mewujudkannya berdasarkan prinsip-prinsip : 1) Inspiring Role Model; 2) Change Agent; 3) Aktualisasi sebagai Tujuan; 4) Think Big, Move Fast, Great Action and Result; 5) Bekerja dan Melayani dengan Hati; 6) Kepentingan Negara sebagai Prioritas Utama; 7) Clear Direction, Engagement, Controlling Resources; 8) Tumbuh Bersama; 9) Manfaat untuk Lingkungan dan Semesta; 10) Transformasi yang Menginspirasi; 11) Menciptakan Pemimpin; 12) Dedikasi untuk Masa Depan; dan 13) Bekerja dalam Sunyi tanpa Mengharapkan Pujian.

“Bahasa menunjukkan bangsa”, demikian kata pepatah. Sayangnya, Bahasa Indonesia kita miskin, hanya mengenal dua kosa kata yang berkaitan dengan kesehatan, yaitu sehat jasmani dan sehat rohani. Akibatnya, gangguan jiwa (gangguan nafsani) dianggap atau dimasukkan ke dalam sakit rohani. Akibatnya lebih lanjut, pasien gangguan jiwa diperlakukan tidak sepatutnya, seperti : dipakai bahan lelucon, dilecehkan, direndahkan, membuat aib atau hina keluarga sehingga keluarganya merasa malu dan dipermalukan. Pelaku amal salah ini, justru dilakukan oleh mereka yang merasa sehat rohani.

Penyebab gangguan jiwa adalah multifaktorial : organobiologik, psikoedukatif, dan sosiokultural. Oleh karena itu, imunisasi untuk mencegah timbulnya gangguan nafsani hingga saat ini belum ditemukan. Maka, gangguan jiwa bisa menimpa siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Menimpa dari sinden sampai presiden, dari dukun sampai dekan, dari selebriti sampai politisi ! Adapun diagnosis gangguan jiwa lebih dari 300 diagnosis, dari yang dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan, sampai dengan yang berat sehingga memerlukan rawat inap.

Gangguan jiwa semakin berat gangguannya, semakin membuat pasien tidak merasa dirinya sakit. Maka, cenderung menolak makan obat dan tidak mau diobatkan, karena merasa dirinya baik-baik saja. Di rawat inap jika : !) Menolak tidak mau makan obat; 2) Melakukan tindakan yang dapat membahayakan dirinya, dan 3) Membahayakan orang lain di sekitarnya.

Menurut Prof. Kusumanto Setyonegoro, Guru Besar Psikiatri FK-UI, bahwa gangguan jiwa itu identik dengan penderitaan manusia (human suffering). Pasien dengan gangguan psikotik (bahasa awam gila) merupakan puncak penderitaan manusia, sehingga pasien mengalami disintegrasi (retak, pecah) kepribadiannya. Mereka tidak dapat membela diri dan memperjuangkan nasibnya. Sehingga mereka rawan mendapatkan pelanggaran HAM (Hak Azasi Manusia), seperti tidak diobatkan, dipasung, ditelantarkan, bahkan dibuang ! Siapa lagi pelakunya kalau bukan mereka yang selama ini merasa sehat rohani. Mereka lupa, bahwa Tuhan mengingatkan manusia lewat Kitab Suci, agar manusia senantiasa berpihak dan membela mereka yang lemah, tidak berdaya.

Adapun ciri-ciri seseorang itu sehat jiwanya adalah : 1) Menyadari sepenuhnya kemampuan dirinya; 2) Mampu menghadapi stres kehidupan yang wajar; 3) Mampu bekerja secara produktif dan memenuhi kebutuhan hidupnya; 4) Dapat berperan serta dalam lingkungan hidupnya; 5) Menerima baik dengan apa yang ada pada dirinya; dan 6) Merasa nyaman bersama dengan orang lain.

Lalu siapakah yang sebenarnya sakit rohani? Contoh paling gamblang adalah koruptor ! Lalu, apa bedanya antara maling ayam dengan koruptor? Maling ayam itu karena ada niat dan peluang. Sedangkan koruptor itu ada niat, peluang dan kekuasaan.

Kata Lord Acton, “Kekuasaan itu cenderung korup. Semakin absolut kekuasaannya semakin absolut pula korupsinya”. Maka, maling ayam adalah sakit rohani kelas teri. Sedangkan koruptor mulai dari sakit rohani kelas ikan kakap sampai dengan kelas ikan paus. Andaikata, pasien gangguan jiwa berat (psikosis) sampai melakukan tindakan merusak atau mengamuk, paling-paling yang menderita  orang-orang sekampung ! Itupun pasien tidak dapat disalahkan, yang dapat disalahkan adalah yang sehat jiwanya. Umumnya hal ini terjadi karena pasien tidak diobatkan atau telat obatnya. Hal ini berbeda dengan koruptor, wong licik, yang menderita dan menjadi korban akibat ulahnya adalah satu negara, satu bangsa, rakyat baik yang sehat jiwa maupun yang menderita gangguan jiwa ! Wong cilik !

Karena para (calon) koruptor adalah sekumpulan manusia-manusia yang hanya berotak normal, maka Tahun Pemilu dirasakan menjadi Tahun Pegel mikirin lu ! Karena terkesan perilaku mereka tidak rahmatan lil ‘alamin, tapi rahmatan lil kantonge dewe ! UUD, Ujung Ujungnya Duwit ! Uang dipakai untuk mencari kekuasaan. Setelah dapat kekuasaan, lalu kekuasaan itu dipakai untuk mencari uang lebih banyak. Uang itu lalu dipakainya lagi mencari kekuasaan yang lebih besar agar dapat dipakai untuk mencari uang yang lebih besar dan lebih banyak lagi. Demikian seterusnya. Maka, pada akhir pidato kampanyenya akan mengucapkan, “Terima kasih sebesar-besarnya dan sebanyak-banyaknya”.

Hal ini berbeda dengan seorang suami, ucapannya berbunyi : “ Terima kasih sedalam-dalamnya”. Sedangkan sang isteri mengatakan : “Terima kasih sebesar-besarnya”. Di Indonesia, barangkali para isteri pegawai RRI (Radio Republik Indonesia) yang paling “sial”. Mengapa? Karena RRI punya semboyan “Sekali di Udara Tetap di Udara”. Para isteri akan bertanya-tanya, “Kapan sih mendaratnya?”. Dijawab Band Kus Plus, “Kapan-kapan”.

Dampak sosial akibat korupsi adalah kemiskinan, anak-anak kurang gizi, jalanan rusak, fasilitas kesehatan tak memadai, atau masalah mendasar yang ada di tengah masyarakat. Dengan demikian koruptor itu merupakan manusia tidak sehat rohani sekaligus tidak sehat mujtama’i ! Langkah progresif dalam penindakan korupsi dengan menerapkan biaya sosial akibat korupsi bisa dilakukan untuk mentransformasikan dari “Republik Korupsi” menjadi “Republik Kesejahteraan”, demikian tulisan Budiman Tanurejo (2023) dalam tulisannya yang berjudul “Republik Korupsi”.

Dari semua cabang kekuasaan sudah punya perwakilan koruptor. Di cabang eksekutif ada menteri, gubernur, bupati/walikota meringkuk di penjara karena korupsi. Di cabang kekuasaan legislatif, banyak anggota DPR dan DPRD mendekam di lembaga pemasyarakatan karena menilap uang rakyat. Di cabang yudikatif sami mawon. Baik hakim agung maupun hakim konstitusi, hakim pengadilan negeri punya perwakilan koruptor di penjara. Dari kalangan advokat, polisi, dan jaksan juga punya perwakilan koruptor di penjara.

Dilihat dari sisi partai politik, hampir semua parpol, yang berbasis agama atau nasionalis, juga punya perwakilan koruptor. Dari lingkungan dunia akademis juga ada rektor yang masuk penjara karena makan dana mahasiswa dan dianggap korupsi. Tentunya ada representasi pengusaha. Para Nabi diutus Tuhan, dalam bahasa kesehatan, agar umatnya sehat rohani (etik, moral dan hukum) !

Para Nabi adalah contoh manusia yang sesungguhnya manusia, manusia yang perilakunya manusiawi, tidak hewani. Para Nabi adalah contoh manusia yang sukes naik kelas, dari sehat rohani meningkat menjadi bugar rohani (moral fitness) ! Oleh karena itu, para Nabi punya karakter sama, yaitu sidiq (lurus), jujur (mengatakan apa yang telah dilakukan) dan berintegritas (melakukan apa yang telah dikatakan), amanah (dapat dipercaya), menyampaikan pesan kebenaran (tabligh), dan smart (fathanah).

Berikut ini adalah “hasil karya monumental”, hasil otak normal para koruptor bangsa Indonesia di mata dunia, dapat dilihat pada grafis di bawah ini :

Sumber: monitorindonesia.com

Indeks Persepsi Korupsi

Menurut Nucholish Madjid (1998), dalam bukunya “30 Sajian Ruhani Renungan di Bulan Ramadhan”, bahwa bulan Ramadhan dapat dipandang sebagai bulan penyucian diri pribadi secara berkala. Melalui bulan suci dan penyucian ini seseorang diharap dapat membersihkan kembali dirinya dari kotoran kezaliman selama bulan-bulan sebelumnya.

Meminjam istilah sastrawan Dante (dalam Madjid, 1998) dalam buku syairnya Divina Comedia, manusia memulai hidup dalam alam kebahagiaan, alam paradiso, karena manusia menurut Islam dilahirkan dalam fitrah. Tetapi karena kelemahannya sendiri, tidak menggunak akal budinya, maka manusia mengalami proses pengotorannya hati nuraninya, mengarah menjadi hati zhulmani (hati yang gelap, tidak nurani atau bercahaya), menjadi “manusia gelap” atau zalim (zhalim), sehingga lama-kelamaan jatuh dan terseret ke alam kesengsaraan, alam inferno. Maka datanglah bulan Ramadhan sebagai rahmat Allah kepada manusia, untuk memberi kesempatan membersihkan diri dan bertobat, dan inilah proses di alam purgatorio.

Dengan asumsi bahwa proses itu dijalaninya dengan baik dan sukses, maka pada akhir Ramadhan manusia kembali ke alam kesuciannya sendiri, yaitu fitrahnya, yang membawa kebahagiaan, masuk lagi ke alam paradiso. Kebahagiaan inilah yang dilambangkan dalam Hari Raya Lebaran sebagai simbol kebebasan dari dosa, hari Idul Fitri, ‘Id al-Fithr, kembalinya fitrah.

Perlu diingat bahwa paradiso (dari bahasa Arab “firdaws”) atau surga adalah pola kehidupan bahagia yang digambarkan penuh perdamaian. Karena itu surga juga disebut Dar al-Salam (baca : Darus Salam), “Negeri Perdamaian” (QS al-An’am [6] : 127 dan Yunus [10] : 25), di mana penghuninya saling menyapa dengan ucapan, “Damai, damai” (Salam, salam). Artinya, salah satu kebahagiaan hidup ialah tegaknya nilai-nilai kemanusiaan, yang intinya ialah kedamaian.

Setelah berhasil menjalani ibadah puasa Ramadhan dengan baik, orang beriman kemudian oleh al-Qur’an dianjurkan untuk bertakbir atau mengagungkan asma Allah Swt. sebagaimana disebutkan, Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuknya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur (QS al-Baqarah [2] ; 185).

Dengan anjuran takbiran tersebut, sepertinya seorang Muslim yang telah menjalankan ibadah puasa Ramadhan diasumsikan berada dalam kemenangan atau kesucian sehingga yang ada hanya Tuhan dan yang lain dianggap tidak berarti apa-apa. Allah-u Akbar, Allah Mahabesar.

Dengan memahami hakikat ibadah puasa Ramadhan sebagai proses penyucian diri serta diiringi melaksanakan kewajiban zakat fitrah – yang tentunya juga dianjurkan untuk diikuti dengan zakat-zakat dan amal-amal sosial yang lain – maka makna sesungguhnya Idul Fitri adalah kembali kepada kesucian, Dan inilah hakikat kebahagiaan yang sejati : kembali kepada kesucianm fitri tanpa dosa – yang menjadi sumber segala penderitaan setiap manusia.

Akhirnya,

Memang penuh berkah Malam Kekuatan itu !

Ketika Berkah Wahyu Allah menembus

Kegelapan jiwa manusia !

Segala Kekuatan dari dunia Ilahi,

Menyampaikan Pesan Ampunan yang penuh pengertian dalam,

Atas perintah Allah, dan memberkahi setiap ceruk

Dan sudut hati ! Semua keributan

Menjadi tenang dalam pengaruh Kedamaian sempurna,

Sampai Malam fana ini digantikan oleh

Hari Gemilang dalam dunia abadi !

(Abdullah Yusuf Ali, 1983, The Holy Qur’an, Text, Translation and Commentary, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ali Audah, 1995, Qur’an, Terjemahan dan Tafsirnya)

Wildan, Dokter Jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul

Nurcholid Umam Kurniawan, Dokter Anak, Direktur Utama RS PKU Muhammadiyah Bantul dan Dosen FK-UAD

Exit mobile version