YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – “Dalam surat asy-Syams terutama ayat 7-10 Allah sswt memberikan satu informasi yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Kesuksesan dan keselamatan manusia itu sendiri, bentuk pelajaran dan penjelasan Allah swt itu diawali dengan satu sumpah. Dimana objek-objek sumpah yang digunakan oleh Allah adalah makhluk-makhluk ciptaannya sendiri,” terang ustadz Ruslas Fariadi pada ceramah tarawih yang ke-28 hari Selasa (18/04).
Maka di ayat ke-7 dikatakan:
وَنَفْسٍ وَّمَا سَوّٰىهَاۖ
“demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya,”
Allah swt bersumpah yang oleh Ibnu ashur dikatakan bahwa kata an-nafsu atau nafsun di situ digunakan dalam bentuk nakirah. Tentu ini untuk menunjukkan satu jenis tertentu sehingga konsekuensinya ayat ini memberikan satu informasi tentang jiwa manusia secara keseluruhan apakah mukmin atau kafir? Di dalam tafsir-tafsir Kemenag diterjemahkan demi jiwa dan penyempurnaannya padahal jika dilihat secara semantik kebahasaan, kata sawwaha itu berasal dari kata Sawwiyah. Hal itu menunjukkan bahwa ketika Allah menciptakan jiwa itu maka posisinya sama dari siapapun. Walaupun bayi itu terlahir dari rahim ibu yang seorang atheis sekalipun, ketika manusia diciptakan maka sama persis dengan jiwa yang ada pada bayi-bayi yang dilahirkan dari rahim seorang ibu yang muslimah dan solehah.
Dalam kitab Ibnu Katsir dikatakan bahwa Allah menciptakan jiwa manusia itu dalam keadaan sama dan memiliki potensi yang sangat kokoh untuk mencari siapa Tuhannya. Hal ini relevan dengan hadis Nabi saw.
“Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah. Orangtuanya yang akan membuat dia yahudi, nasrani, dan majusi” (H.R. Muslim).
Beliau menjelaskan salah satu makna fitrah itu adalah potensi yang dimiliki oleh manusia, sehingga manusia itu memiliki kecenderungan untuk bertuhan. Manusia diciptakan dalam keadaan selalu ingin meraih kebahagiaan kebahagiaan spiritual, maka artinya bahwa manusia itu merupakan makhluk spiritual. Sesungguhnya orang atheis yang tidak mengakui eksistensi tuhan hakikatnya dia telah keluar dari fitrahnya sebagai manusia. Karena manusia ketika diciptakan itu justru merupakan makhluk spiritual yang selalu ingin dekat dengan sang penciptanya. Selalu ingin menemukan dan meraih kebahagiaan spiritualnya.
Pada ayat berikutnya Allah menegaskan:
فَاَلۡهَمَهَا فُجُوۡرَهَا وَتَقۡوٰٮهَا
“Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya,”
Sebagian orang menafsirkan ayat ini sebagai bahwa Allah memberikan dua potensi pada diri manusia yaitu potensi kebaikan dan potensi keburukan. Lalu Allah menjelaskan sesuatu yang positif untuk diikuti dan sesuatu yang negatif untuk dihindari. Pada yang digunakan adalah kata ‘Ilham’ yang secara struktur dan budaya kebahasaan bahasa Arab saat itu kata ‘Ilham’ termasuk satu kata yang jarang digunakan dalam pergaulan dan kehidupan masyarakat Arab. Yang salah satu makna ‘Ilham’ adalah sesuatu yang diberikan dengan begitu cepat. Itulah yang membuat satu tafsiran bahwa pada diri manusia itu terdapat dua potensi. Yaitu potensi taqwa atau kebaikan dan potensi fujur atau potensi yang negatif.
Orang bisa menjadi baik atau buruk itu sesungguhnya adalah bagian dari pilihan manusia itu sendiri, karena itu ayat berikutnya diberikan satu stressing oleh Allah:
قَدۡ اَفۡلَحَ مَنۡ زَكّٰٮهَا
وَقَدۡ خَابَ مَنۡ دَسّٰٮهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.”
Mengartikan bahwa, baik dan buruknya kehidupan manusia itu adalah pilihan dari manusia itu sendiri. Sementara agama telah memberikan rambu-rambu jalan kebaikan dan jalan keburukan. Lalu manusia sendiri itu yang menentukan nasibnya. Iman seseorang itu fluktuatif, kadang naik kadang turun. Iman seseorang itu terus meningkat ketika dipupuk dibiasakan dengan amalan-amalan untuk meraih ketakwaan. Tetapi iman seseorang itu menjadi menurun bahkan pada titik yang sangat rendah ketika dikotori dengan berbagai macam perbuatan-perbuatan dan kemaksiatan.
Beliau memberikan pertanyaan bessar, apa korelasi ketika kita membaca ayat ini lalu kita hubungkan dengan amalan yang disyariatkan oleh Allah pada bulan Ramadan? Maka ternyata puasa sebagai salah satu rangkaian dari ibadah ramadhan memiliki satu tujuan memiliki satu fungsi yaitu untuk mensucikan jiwa seseorang dengan berbagai macam amalan-amalan yang disyariatkan mulai dari pagi hingga malamnya.
“Sesungguhnya puasa itu adalah satu tindakan-tindakan spiritual untuk menjadikan manusia konsisten pada posisinya sebagai manusia. Menjadikan dirinya menjadi manusia spiritual, untuk menjadikan dirinya manusia mukmin yang terus meningkat kualitas imannya. Kesimpulannya adalah seluruh syariat agama Allah ditekankan untuk kita jalankan untuk menjadikan kita sebagai makhluk yang fitri, makhluk spiritual, dan makhluk yang konsisten sesuai dengan awal penciptaannya dan orientasi penciptaannya,” tutup Ustaz Ruslan. (Sakila Ghina)