Konsistensi Muhammadiyah bagi Pendidikan Bangsa
Akhir April 2023, masih dalam suasana Idul Fitri 1444 Hijriyah, kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bahkan beragama di Indonesia kembali terusik oleh statemen emosional melalui media sosial facebook yang dilakukan oleh seorang aparat sipil negara (ASN) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang berkomentar sangat frontal tentang ijtihad Muhammadiyah dalam penetapan 1 Syawal.
Pelaku berinisial APH yang sekarang telah resmi menjadi tersangka kasus ujaran kebencian (hate speech) di Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri dijerat Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) dan/atau pasal 29 jo pasal 45B Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Perbuatan APH dengan mengeluarkan kalimat ancaman bernada sinis dan membenci tidak hanya melukai warga Muhammadiyah, tetapi juga negara kesatuan Republik Indonesia. Bumi Pertiwi yang telah yang hampir 78 tahun merdeka, disatukan oleh kebersamaan, kerjasama, toleransi dengan menghilangkan perbedaan yang tampak. Jika pendiri bangsa, pemimpin dan para pemuda lebih mengedepankan ego dari pada persatuan dan kepentingan bersama, Indonesia mungkin belum dapat memerdekakan diri.
Kecerdasan para tokoh pemuda saat itu dengan melihat dan memaafkan situasi kekosongan kekuasaan (vacuum of power) untuk segera memerdekakan diri, terlepas dari penjajahan Jepang. Sutan Sjahrir, salah satu tokoh pemuda mendesak Soekarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Allah pun meridhoi, kegigihan para tokoh bangsa akhirnya menjadikan Indonesia sebagai negara berdaulat, diakui oleh negara lain.
Muhammadiyah dan Pendidikan Bangsa
Tidak ada yang bisa mengkerdilkan peran Muhammadiyah bagi peradaban bangsa. Peneliti dunia pun sebut saja Prof. Nakamura dari Jepang, James L Peacock dan William Lidle mengakui bahwa Muhammadiyah dan Aisyiyah adalah organisasi keagamaan (pendidikan) dan perempuan, besar, representatif hadir untuk menjawab, memberikan kebaikan bagi bangsa melalui amal-amal usaha yang terus berkembang bahkan telah melintasi negara.
Fakta sejarah yang mungkin perlu dipahami sebagai sebuah kelapangan hati pemimpin Muhammadiyah yang juga menular ke kader militan dan para simpatisan adalah, menerima keputusan pemerintah untuk menjadikan 2 Mei sebagai hari pendidikan nasional, padahal jauh sebelum Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara, Kiai Dahlan melalui Muhammadiyah meneguhkan diri sebagai organisasi yang konsisten memberikan edukasi dan dakwah kepada masyarakat.
Hal ini sebagai sebuah bukti konkrit betapa Muhammadiyah tidak pernah mempermasalahkan perbedaan dalam konteks keindonesiaan jika tujuannya adalah kebaikan dan kemaslahatan bangsa. Taman siswa seperti namanya adalah tempat belajar yang didirikan Ki Hadjar Dewantara 3 Juli 1922 dengan tujuan mencerdaskan putra putri bangsa khususnya rakyat jelata agar sama dengan priyayi atau orang-orang Belanda, Muhammadiyah pun bertujuan sama, tidak melihat kaya miskin, bahkan agama sekalipun untuk dapat mengenyam pendidikan di perguruan Muhammadiyah.
Saat ditetapkan secara nasional oleh pemerintah Republik Indonesia melalui Keppres RI Nomor 316 Tahun 1959. Hari pendidikan nasional diharapkan mampu menumbuhkan semangat belajar generasi bangsa agar tetap memiliki semangat untuk peduli, Muhammadiyah mengapresiasi hal tersebut sebagai nilai baik untuk bangsa bermartabat agar terus berkemajuan mencetak insan unggul. Pendidikan bagi Muhammadiyah adalah solusi terbaik menjaga NKRI agar tetap kuat bermartabat.
Selamat hari Pendidikan Nasional, kuat selalu bangsaku, cerdas dan bertakwa generasi penerus perjuangan bangsa.
Amalia Irfani, Mahasiswa Doktoral Sosiologi UMM. Divisi Penguatan Politik Perempuan LPPA PWA Kalbar