Keadilan dalam Islam
Oleh: Donny Syofyan
Salah satu sumbangan Islam bagi peradaban dan kebudayaan dunia adalah keadilan. Ia tak hanya ditemukan dalam al-Qur’an tapi juga dalam praktik-praktik sejarah. Islam menawarkan hak-hak perlindungan mendasar, hak-hak untuk memperoleh proses yang adil di pengadilan terlepas apakah seseorang jahat atau saleh, apakah seseorang Muslim atau bukan Muslim. Anda berhak membela diri dan meminta orang yang memberikan tuduhan menyajikan bukti kalua Anda berada dalam posisi sebagai terdakwa.
Dalam Sunan Abu Dawud, ada kisah menarik tentang seseorang dari Hadhratul Maut dan seseorang dari suku Kindi yang terlibat persengketaan tentang tanah/lahan. Lelaki dari Hadhratul Maut menuduh lelaki Kindi ini merampas tanahnya. Rasul bertanya kepada lelaki Hadramaut ini, “Apakah kamu punya bukti?,” Ia menjawab, “Tidak ada. Tapi orang Kindi ini jahat.” Rasul menjelaskan bahwa dalam Islam bila seseorang melemparkan tuduhan mesti dibarengi bukti. Bila tidak, pihak tertuduh harus bersumpah ia tak bersalah.
Maka si Kindi bersumpah ia tak bersalah dan Rasul memenangkannya. Lelaki Hadratul itu berujar,” Orang ini adalah pendosa tak peduli dengan sumpah yang diucapkannya.” Nabi menjawab, “Tidak masalah.” Artinya, seseorang yang tertuduh merampas lahan namun si empunya tak punya bukti, maka seseorang yang tertuduh bebas tanpa adanya ‘bayyinah’ terlepas ia bukan orang saleh atau non-Muslim.
Dalam Shahih Bukhârî, seorang sahabat Rasul Asy’ats bin Qais. Lagi-lagi terlibat sengketa tanah dengan seorang Yahudi di Madinah. Rasul kembali bertanya, “Apakah kamu punya bukti”. Ia menjawab, “Tidak.” Rasul memutuskan berpihak kepada si Yahudi. Si sahabat protes, “Bagaimana Engkau berpihak kepada orang yang tidak percaya kepada si Yahudi ketimbang saya sahabatmu sebagai orang yang meyakini Allah dan Rasul-Nya?” Nabi menjawab, “Engkau tidak punya bukti.” Islam tidak hirau Anda Muslim atau Kristen. Yang dilihat adalah apa yang ditunjukkan oleh bukti. Para ilmuwan Muslim, seperti Abû Yûsuf dalam Kitâbul Kharâj, bahwa tak boleh hak milik diambil atau darah ditumpahkan tanpa adanya bayyinah dan haq ma`lûm.
Ketika kaum Mongol menjadi Muslim, mereka punya sistem pengadilan yang tidak mengenal gagasan ‘bukti’. Lantaran suasana masih dalam transisi, orang bisa saja datang ke mahkamah dan mengklaim lahan ini miliknya, ingin melakukan ini dan itu tanpa bukti. Hakim pun bisa memutuskan sesuai dengan keinginannya. Banyak kejadian seseorang pemilik properti dibunuh atau dieksekusi di properti atau lahan miliknya.
Dalam catatannya yang terkenal Ibn Bathûtah: Rihlah, Ibnu Bathutah bercerita ketika melewati sebuah daerah (yang sekarang dekat Sudan di pinggir Laut Merah), ia menemukan suatu kaum atau suku yang tidak memberikan warisan kepada anak perempuan. Dalam Islam anak perempuan bersama anak laki-laki berhak dengan harta warisan. Para ulama dan mufti selalu mengingatkan para sultan untuk tidak menggunakan kekuasaannya semena-mena, menghormati proses yang adil dalam peradilan. Banyak ulama dan mufti yang rela kehilangan jabatannya karena memperjuangkan keadilan dan menentang kezaliman para penguasa.
Ketika mengunjungi India, ia menjumpai Kesultanan Delhi yang dipimpin oleh Ghiyath al-Din ibn Tughluq di awal pertengahan abad 14 (tepatnya 1334). Sewaktu memasuki Delhi, ia kaget bahwa Sultan memberlakukan pajak ¼ untuk setiap barang yang diimpor atau dibawa dari luar negeri. Kemudian Khalifah Abbasiyah mengirim surat kepada Ghiyath al-Din ibn Tughluq. Surat ini dimulai dengan pengakuan khalifah terhadap kesultanan Delhi sebagian bagian dari Islam. Tak lama Sultan merasa bersalah dengan praktik perpajakan yang diperbuatnya dan menggantinya dengan syariah Islam.
Berbicara tentang syariah Islam, salah satu kontribusinya terhadap peradaban dan kebudayaan dunia adalah bahwa yang bersalah yang bertanggung jawab, yang bersalah yang menerima hukuman. Di masyarakat Pashtun di Afghanistan, ada sebuah tradisi disebut Pashtunwali. Dalam tradisi ini masa pra-Islam, ketika saya membunuh seseorang, maka saudara laki-laki korban berhak meminta saudara perempuan saya sebagai istrinya. Mereka tak kenal konsep bahwa bila seseorang bersalah maka yang bersangkutan lah yang menanggung akibatnya apakah hukuman atau denda. Dan bukan orang lain.
Tatkala menetapkan hukuman, sejarah menyuguhkan bukti bagaimana para ulama selalu mengingatkan para sultan atau raja untuk menghukum pelaku kejahatan sebengis mungkin. Nuruddin Ar Raniri mengingatkan Sultan Aceh untuk menghentikan cara kejam menghukum para kriminal dengan merebusnya dengan minyak. Sebab cara ini tidak mendapatkan di dalam hukum Allah.
Ilmuwan Barat selalu bertanya bagaimana Islam menyebar begitu cepat di dan keluar Timur Tengah. Rasulullah wafat 632 M. Pada 650 M, umat Islam sudah sampai dan mengusai Asia Tengah. Muslim menaklukkan Semenanjung Iberia pada 711. Mengapa pasukan Muslim begitu cepat menyapu berbagai daratan, semenanjung, pulau dan kota dan desa yang begitu luas dalam tempo yang begitu singkat?
Salah satu jawabannya adalah orang-orang yang daerahnya ditaklukkan oleh Muslim, semisal Kristen dan Yahudi, begitu nyaman dengan Muslim dibandingkan kehidupan mereka sebelumnya di bawah kekuasaan kekaisaran Bizantium dan Persia. Muslim sebetulnya tidak peduli dengan ‘agama apa yang kamu praktikkan.’ Ketika Muhammad wafat pada 632 M, Kaisar Roma memaksa orang-orang Yahudi untuk menjadi pengikut Kristus di semua wilayah kekuasaan pemerintahan Romawi.
Beberapa tahun kemudian, kekaisaran Romawi tumbang oleh kekuasaan Islam. Saat ini, orang-orang Yahudi tidak pernah dipaksa untuk menjadi Muslim bahkan mereka diberi kemerdekaan menjalankan keyakinannya. Anda bisa baca artikel yang ditulis oleh David Wasserstein berjudul How Islam Saved the Jews. Wasserstein adalah seorang profesor studi Yahudi, sejarah, dan klasik di Universitas Vanderbilt.
Ketika Muslim sudah menaklukkan Mesir, kenapa mereka membangun pusat pemerintahan di Kairo? Mengapa bukan di Alexandria yang lebih besar sebagai ibukota? Sebab di Kairo ditemukan banyak biara Kristen Koptik. Muslim ingin bekerja sama dengan mereka membangun Kairo. Sebelumnya Kekaisaram Bizantium memecat para pendeta Kristen Koptik untuk kemudian diganti oleh pendeta Kristen Ortodoks yang berpusat di Konstantinopel. Ketika Islam berkuasa, kaum Muslimin mengembalikan posisi pendeta dan uskup Kristen Koptik dan bekerja sama dengan mereka.
Sejarah menjadi saksi bahwa level toleransi Islam dan Muslim amat luar biasa. Ke mana atau di mana pun Islam tersebar, maka keadilan ditegakkan, hak-hak asasi manusia terpelihara dan kemerdekaan beragama dihormati.
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas