Keselamatan di Luar Islam
Donny Syofyan
Kalau Anda lahir di Indonesai atau Arab Saudi, Anda mungkin tak berpikir tentang orang-orang yang beragama lain atau kenapa orang memiliki agama yang lain selain Islam. Tapi bila Anda seorang mualaf, pernah menganut agama selain Islam atau tidak beragama sama sekali, Anda tentu pernah bertanya apa hakikat dari keputusan untuk memeluk agama tertentu? Dan kenapa pilihan Anda tepat? Anda bisa menjawab, “Saya telah mempelajari Islam dan yakin akan kebenarannya.” Lalu bagaimana dengan orang-orang yang berpaling menjadi penganut Katolik, Kristen, Hindu, Budha dan lain-lain? Mereka juga membuat keputusan. Lalu bagaimana Anda menilai apakah itu keputusan itu benar atau salah, tepat atau tidak tepat?
Dari pengalaman para mualaf, bukti seringkali datang berwujud pengalaman langsung. Ini tentu tidak mengabaikan fakta bahwa kita bisa saja bicara tentang logika, dalih atau hal-hal lain yang mengantarkan seseorang kepada Islam. Ketika Anda berdebat dengan pasangan Anda (suami atau istri), logika atau akal sehat terkadang sama saja. Sebab bila terlalu bersandar pada ‘akal sehat’ maka ia tak terlepas dari konsep. Konsep berdasarkan definisi. Bila definisi berganti, maka konsep juga berganti. Bila konsep berganti, maka argumentasi tak lagi fungsional.
Imam al-Ghazali menulis dalam al-Munqidz min Dhalâl (Pembebasan dari Kesalahan) bahwa ia menghadapi krisis kepercayaan yang masif ketika masih muda. Sebagai rektor madrasah Nizhamiyah di Baghdad ia terbilang amat sukses dan lagi-lagi masih muda. Tapi ia menghadapi krisis kepercayaan kepada Tuhan. Lalu bagaimana ia memperbaiki atau mengembalikan kepercayaannya kepada Tuhan? Mungkin kita beranggapan ia membaca buku-buku tentang kenapa Tuhan ada dan sebagainya? Tidak. Ia menulis bahwa “Allah memasukkan cahaya ke dalam hatiku.”
Benar bahwa banyak bukti-bukti yang menunjukkan keberadaan Allah atau baik dan bagusnya menjadi Muslim. Ini tak perlu dipertentangkan. Tapi pada akhirnya perubahan seseorang karena Allah melemparkan cahaya kebenaran ke dalam hati manusia. Dari pelbagai pengakuan para mualaf, saat mereka didera kesulitan atau krisis hidup alih-alih berpaling kepada bukti ilmiah nyatanya mereka memilih untuk kembali ke masa-masa di mana mereka mengalami nikmatnya kebenaran Islam, a moment of truth.
Persoalannya bahwa pengalaman pribadi bersifat subjektif. Anda bisa saja mengatakan, “Inilah pengalaman saya.” Bila demikian, Anda bisa baca bagaimana Santo Paulus, penulis sebagian besar Perjanjian Baru , pindah ke Kristen dari Yahudi sebab ia memiliki pengalaman serupa. Apa bedanya pengalaman seseorang memiliki momen kebenaran menjadi Muslim dan menjadi Yahudi, Katolik, Budha dan lain-lain? Sifat dan karakteristik pengalaman ini tak bisa dibandingkan ala apple to apple sebab bersifat subjektif. Bagaimana kita bisa menilai atau menghakiminya?
Kenapa pertanyaan ini saya ajukan karena tidak sedikit Muslim yang hidup di negara-negara bukan mayoritas Islam. Gerakan agama ini secara sosial dan historis seperti suku; suku saya lebih baik atau bagus daripada kamu, dan sebaliknya. Sebagai Muslim tentu kebenaran Islam sudah ditegaskan dalam Al-Quran. Tapi kita tetap perlu menjawab bagaimana apa sifat dan karakter agama yang benar? Apa tanda-tanda sebuah petunjuk yang benar? Kenapa ada orang yang tak mau menerima petunjuk Ilahi? Ini adalah sederet pertanyaan serius, terutama di kalangan anak-anak muda di Barat. Anak-anak Muslim di Barat sering tak paham kenapa teman-teman mereka yang notabene non-Muslim harus masuk neraka, padahal mereka anak-anak baik.
Memami konsep keselamatan di luar Islam, ada dua hal yang perlu diperhatikan— îmân syar`î dan îmân fithrî. Yang pertama îmân syar`î artinya keyakinan formal/legal. Contohnya Anda punya KTP Muslim. Dengan identitas ini, maka Anda punya hak dan kewajiban tertentu, dimakamkan dengan cara Islam, berpakaian ala Muslim dan sebagainya. Bagi yang ber-KTP Kristen boleh minum alkohol dan makan daging babi, sementara Muslim terlarang melakukannya. Kategori ini punya implikasi hukum. Bila Anda laki-laki Muslim, Anda boleh menikahi wanita Muslimah. Bila Anda bukan laki-laki Muslim, Anda tak boleh menikahi wanita Muslimah. Jika Anda Muslim maka wajib bayar zakat, bila bukan Muslim tak ada kewajiban bayar zakat.
Îmân syar`î ini hanyalah penanda luar atau lahiriah. Bisa saja seseorang identitasnya Muslim, dimakamkan secara Islam tapi ternyata hatinya tidak mengakui Allah atau penyembah Tuhan yang lain. Namun demikian kategori legal ini sangat penting. Ada pihak-pihak, bahkan juga dari kalangan Muslim, sendiri yang tidak nyaman menyebut orang di luar Islam sebagai kuffar. Mereka menuduh ini sikap yang kejam dan intoleran. Sebetulnya ini bukan wujud intoleransi. Sebutan ini semata-mata kategori hukum bahwa dalam Islam yang bukan Muslim disebut kuffar. Al-Quran tidak menyebut ghayrul muslimin. Sebagian interaksi kita justru lewat jalur kategori legal ini. Adapun yang kedua, îmânul fithrî, adalah keyakinan terdalam. Ini hanya Allah yang tahu. Kita tak bisa meneropong hati manusia.
Kedua, ketika kita bicara tentang non-Muslim, maka fokus kita adalah kelompok non-Muslim yang kenal dengan Islam. Sebab prinsip utama dalam teologi Islam bahwa Anda tak bertanggung jawab atas apa yang Anda tak ketahui atau punya kuasa atasnya. Prinsip ini berasal dari konsep ahlal fatrah dari surah al-Ma’idah: 19, “Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami, menjelaskan (syari’at Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul agar kamu tidak mengatakan: “Tidak ada datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan.”
Kata ‘fatrah’ di sini menegaskan adanya masa kosong di mana Nabi yang sebelumnya diutus tidak ada lagi sementara Nabi selanjutnya belum diutus oleh Allah. Dengan kata lain, ‘fatrah’ ini adalah masa lemahnya pesan kenabian. Posisi umum para ulama memahami ayat ini bahwa jika seseorang tidak mengetahui tentang sepenuhnya tentang Islam atau hanya mengenal Islam dengan cara-cara yang tidak akurat atau tidak bisa dipercaya maka ia tidak bertanggung jawab atau dimintai pertanggungjawaban karena tidak menjadi Muslim.
Pernyataan ini sangat krusial. Tentu ini berlaku bagi kaum yang mereka tidak pernah mendapatkan dakwah Islam atau memang Rasul tidak sampai kepada mereka, katakanlah suku Inca di Amerika. Hal yang sama juga berlaku, sebagai misal, Anda adalah penonton setia FoxNews di Amerika yang hanya mengenal Muslim sebagai teroris, jorok, atau miskin, maka Anda tidak akan menjadi Muslim. Terpikirkan pun tak pernah. Kalau berdasarkan ayat tersebut, Allah tidak akan menghukum mereka pada saat dihisab di hari akhir. Apa yang akan terjadi kepada mereka? Allah akan menghisab mereka dengan kebijaksanaan-Nya.
Posisi mayoritas ulama dan umat meyakini bahwa satu-satunya jalan keselamatan adalah lewat Islam. Tidak peduli Sunni atau Syiah sepakat dengan pendapat ini. Al-Quran sangat terang tentang persoalan ini, seperti QS Ali Imran 19 dan 85. Lalu bagaimana dengan QS Al Baqarah 62, Al Ma’idah 69 dan Al Hajj 17? Ada hadits yang menyatakan, “man qâlâ lâ’ilâha illallah dakhalal jannah” (Barang siapa yang mengucapkan lâ’ilâha illallah akan masuk surga, HR Turmudzi). Artinya, bila Anda percaya kepada Allah dan berbuat baik, maka Anda bakal masuk surga.
Tiga surah di atas sebetulnya berbicara kepada orang-orang yang didekati atau didakwahi untuk menjadi penganut Islam.
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas