Surga Ganjaran Menahan Marah
SOLO, Suara Muhammadiyah – Alumni Peserta Standardisasi Da’i Majelis Ulama Indonesia (MUI) angkatan ke-19 ustaz Jatmiko mengupas Surga Ganjaran Menahan Marah dalam silaturahmi dan halal bi halal Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di Perum Indra Indah Bolon Colomadu, Karanganyar, Jawa Tengah, Kamis (10/5/2023) Sore.
“Terima kasih ketua PKK ibu Asih Lestari sore ini bisa sambung silaturahmi. Mudah-mudahan dengan tidak marah kepada siapun kita dimasukkan surganya Allah,” ucap Jatmiko.
Dari sekian data yang masuk, masih ada di anatara yang diterapkan oleh orang tua bahwa mendidik anak-anak di era industry 4.0 menuju masyarakat 5.0 yang baik adalah dengan cara yang keras, yaitu marah apabila anak berbuat salah.
“Rasulullah pernah berkata laa taghdhab walakal jannah yang artinya jangan marah, kamu dapat surga. Ganjaran bagi orang yang dapat menahan marah yang bukan pada tempatnya adalah surga,” bebernya.
Dia menyebut pesan lain dari Nabi, Silaturahmi merupakan kunci terbukanya rahmat dan pertolongan Allah SWT. Dengan terhubungnya silaturahmi, maka ukhuwah Islamiyah akan terjalin dengan baik.
Begitu pentingnya menjalin silaturahmi ditegaskan dalam Al Qur’an Surat Ar Rad ayat 21. “Tidak masuk surga seorang yang memutus tali silaturahmi,” ucapnya, sambil tersenyum.
Berbakti kepada kedua orang tua memang sudah kewajiban anak yang wajib dilakukan. Kewajiban berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tua senantiasa disebut oleh Allah SWT setelah perintah kewajiban untuk menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya.
Dalam islam, berbakti kepada kedua orang tua merupakan perilaku ataupun amalan yang memiliki nilai yang sangat mulia dan tinggi disisi Allah SWT. Di dalam Al-Qur’an berbakti kepada kedua orang tua sering sekali di sandingkan dengan pemenuhan hak-hak Allah SWT, seperti perintah tentang bersyukur dan larangan menyekutukan Allah SWT.
Seorang ibu merupakan orang yang mengandung dengan susah payah selama sembilan bulan lamanya, bahkan ketika melahirkan ia mempertaruhkan nyawanya untuk sang anak selamat dan terlahir kedunia.
Tidak bisa terbayarkan oleh apapun atas jasa-jasa seorang ibu dari ia mengandung selama sembilan bulan, kemudian melahirkan, membersihkan kotoran anaknya, memberi minum air susunya, memberi makan, mengurus anaknya dua puluh empat jam tak henti sampai ia dewasa dan mandiri, sungguh sangat luar bisa pengorbanan yang telah di berikan yang tak bisa dibalas oleh apapun.
“Oleh karena itu kolaborasi seorang ibu dengan ayah adalah hal utama. Adakah seorang anak mau menyedot ingus bapak ibunya dengan mulut?,” pungkasnya. (Jatmiko)