Lakum Dinukum Wali Yadin

Lakum Dinukum Wali Yadin

Sumber Foto Unsplash

Lakum Dinukum Wali Yadin

Waktu sekolah menengah (Sekolah Guru Agama) awalnya saya belum tahu apa maksud guru saya mengajarkan mata pelajaran perbandingan agama. Agama-agama besar di dunia dipelajari ajarannya, kitab yang dipergunakan, cara beribadah, sejarah munculnya agama, istilah-istilah teologis dan istilah sosiolgis dan istilah teknis dalam pernik-pernik beribadah, struktur organisasi agamanya dan pola berkomunikasinya.

Agama Hindu, Budha, Konghucu, Katolik, Kristen, agama Shinto menjadi bahan studi. Seiring dengan itu juga diajarkan sejarah pendidikan, pola pendidikan yang khas bangsa-bangsa besar dunia. Sejarah pendidikan bangsa Mesir Kuno, bangsa India, bangsa Cina, bangsa Jepang, bangsa Arab bangsa Persia. Ini dilemgkapi dengan pelajar antropologi budaya dan sejarah dunia, dan mata pelajaran ekonomi, termasuk sejarah uang dan semacam metabolism finansial dunia.

Untuk agama lokal dan antropologi suku Indian di Amerika saya pelajari sendiri dengan membaca karya-karya Karl May. Semuanya jadi asyik karena ada koneksitas dan relasi fungsional antara informasi dan ilmu yang satu dengan lainnya.

Salah seorang guru saya kemudian menjelaskan bahwa maksud mempelajari itu semua, ”Ben kowe kabeh isa srawung. Ora kaget kalau ketemu orang yang berbeda agamanya dan kebudayaannya.”

Pak Guru tadi menjelaskan bahwa maksud dari mempelajari itu semua adalah agar kami semua nantinya mudah bergaul dan tidak mudah kaget kalau bertemu dengan orang yang berbeda agamanya dan kebudayaannya. Tentu saat bergaul kita tidak perlu larut sampai kebablasen. “Fungsikan dengan cerdas prinsip lakum dinukum wali yadin, “ tambahnya.

Tidak usah menunggu bertahun-tahun, saya langsung merasakan manfaat mempelajari ilmu perbandingan agama, sejarah pendidikan di banyak belahan dunia, antropologi budaya, sejarah dunia dan ekonomi. Masih kelas dua sekolah menengah atas saya memasuki komunitas sastra di Malioboro yang anggotanya multi etnik dan multi agama juga multi edukasi alias berbeda sekolah dan berbeda kuliahnya. Dalam komunitas sastra ini semua dioplos, bergaul gayeng. Yang ada hanya bahasa prestasi dan gairah membuat karya sastra bermutu.

Kemudian masuklah saya ke dalam dunia yang lebih obyektif dibanding dunia sastra yang menurut pakar komunikasi Bang Hadi atau Ashadi Siregar, satra masih terkungkung dalam dunia subyektif. Dunia obyektif ini adalah dunia jurnalistik, dunia kewartawanan dan dunia media umum atau media publik, koran atau harian. Kerja di dunia jurnalistik di media umum atau media publik memaksa seseorang, wartawan dan redakturnya harus bergaul lintas agama, lintas etnik, lintas profesi, lintas pemikiran sampai lintas teori keilmuan.

Ditekankan oleh guru jurnalistik saya bahwa berita yang ditulis harus berdasar fakta yang faktual, ditulis seobyektif mungkin dan sama sekali tidak boleh dicampuri atau dinodai dengan imajinasi dan opini penulisnya. Siapa pun narasumbernya apapun pendapat dia atau peristiwa apapun yang terjadi dengan pelaku dari mana pun, harus ditulis apa adanya.

Dan teman-teman jurnalis dari media mana saja, beragama apa saja waktu itu sepakat untuk menulis fakta yang faktual dengan pendekatan obyektivitas yang terjaga. Ini yang membuat pergaulan antarwartawan, termasuk kalau dia Cah Kristen dan lainnya tetap diwarnai oleh rasa saling percaya.

Kemudian masuklah saya pada dunia yang paling obyektif, dunia keilmuan, dunia penerbitan buku. Asal naskah, dai ilmuwan dan budayawan beragama apa pun, asal secara obyektif tulisannya bermutu kami terbitkan. Pengalaman di tiga dunia itu, dunia sastra, dunia jurnalistik dan dunia buku membuat saya relatif bisa bergaul luwes. Termasuk menembus narasumber yang langka dan rumit untuk ditemui. Ahli sastra Jawa Kuno pastor PJ Zoetmulder dengan menggunakan semacam password bisa saya temui di tempat tersembunyi di sebuah ruang di dalam kompleks sebuah gereja di kota Yogyakarta, misalnya.

Dan keakraban dalam pergaulan dengan banyak teman yang berbeda agama tetapi sama dalam profesi atau berbeda profesi ini kemudian terus berkembang ketika saya diajak seorang teman untuk memasuki dunia yang lebih rumit lagi, dunia pergaulan dialog antar pemeluk agama di berbagai kota, sehingga pluralitas sosiologis para pemeluk agama yang berbeda memang nyata ada dan perlu difahami. Suasana saling menghormati di dalam komunitas unik ini membuat orang bisa dan biasa berterus terang kalau ada ganjalan dalam praktik pergaulan antar pengikut agama yang berbeda dan dengan payung kemanusiaan banyak masalah bisa diselesaikan dengan cantik tanpa mengorbankan keimanan dan kepercayaannya masing-masing.

Di kemudian hari, ketika saya mendalami soal pengalaman beragama, maka pengalaman bergaul dengan pemeluk agama lain yang sama dewasa dalam beragama bisa mengasah dan mematangkan terus-menerus kedewasaan dalam beragama kita. Dan ini menjadi modal atau malahan fondasi untuk membangun perdamaian dan kedamaian dalam harmoni pergaulan bersama di masyarakat luas. (Mustofa W Hasyim)

Sumber: Majalah SM Edisi 14 Tahun 2022

Exit mobile version