Kerja Sama dengan Non-Muslim (Bagian ke-1)

Kerja Sama dengan Non-Muslim (Bagian ke-1)

Foto Ilustrasi Unsplash

Kerja Sama dengan Non-Muslim (Bagian ke-1)

Oleh: Donny Syofyan

Bagaimana kita membangun koalisi atau kerja sama dengan non-Muslim, yang posisi mereka berbeda dengan kita terhadap isu tertentu, semisal politik, ekonomi atau gaya hidup. Di Amerika, gerakan Black Lives Matter didirikan oleh 3 orang lesbian— Patrisse Cullors, Alicia Garza, and Opal Tometi pada 2013. Apakah umat Islam di Amerika Serikat (AS) tak boleh bekerja sama dengan mereka? Tentu kita perlu mengapresiasi orang-orang yang berpikir demikian. Tapi jangan sampai kita diperbodoh oleh argumen yang salah.

Nabi SAW bekerja sama dengan non-Muslim. Saya tak akan mengisahkan tentang pamannya Abu Thalib. Dalam perang Uhud, kenapa pihak Quraisy tidak melanjutkan serangan setelah perang berakhir padahal mereka bisa saja melakukan penyerbuan terhadap Madinah, sehingga boleh jadi mereka menghabisi kaum Muslimin sepenuhnya? Seseorang bernama Ma`bad al-Khuza`i (dari suku Khuza`), seorang musyrik, adalah seorang sekutu rahasia Rasulullah. Ia meyakinkan para petinggi Quraisy untuk tidak lagi melakukan serangan. Nabi berkoalisi dengan kaum Musyrik.

Sebelum perang Hunain, yakni sebelum penaklukan Mekah, saat Rasulullah memerlukan banyak pasukan dan baju besi, Nabi SAW meminjam pasukan dan baju besi dari Shafwan bin Umayyah, salah seorang terkaya di Mekah dan kala itu masih Musyrik. Ketika kemudian menjadi Muslim, Shafwan mengatakan, “Tidak ada hal yang membuatku membenci Muhammad karena ia berlaku adil kepadaku dan karenanya ia adalah orang yang sangat aku cintai di dunia.” Lagi-lagi Rasulullah bekerja sama dengan non-Muslim untuk yang baik.

Tatkala Rasulullah menuju perjanjian Hudaibiyah, ia membuat kompromi dengan kaum Quraisy untuk tidak melakukan ibadah haji pada tahun itu dan menggantinya tahun depan. Banyak sahabat yang kaget dan protes kenapa harus berkompromi dengan kaum kafir Quraisy. Lalu dalam shahih Bukhari, Rasulullah berkata, “laa yas’alûna khuththatan yu’adzdzamunâ fîha khuramatallâh illâ a`thaituhum hiyâha” (mereka tidak bisa meminta aku apapun, bila itu semuanya berujung membesarkan Allah, maka aku akan memberinya).

Muhammad ibnul Wahhab memberikan komentar dalam bukunya زاد المعاد لابن القيم (zâdul ma`âdi li ‘ibnil Qayyim). Kalau Anda pengikut Muhammad ibnul Wahhab maka Anda akan yakin dengan apa yang akan saya katakan. Kalaupun Anda bukan penggemar Muhammad ibnul Wahhab, dan ketika tokoh paling konservatif mengatakan ini, maka Anda pun akan menerima apa yang saya katakan terkait non-Muslim. Dalam komentarnya ia menyatakan bahwa bila seseorang meminta sesuatu yang dicintai Allah—katakanlah keadilan, perdamaian, atau menolong orang-orang miskin—maka Anda harus memberinya sepanjang tidak ada kejahatan lebih besar yang muncul dari padanya.

Dalam konteks membangun kerja sama, kolaborasi atau aliansi dengan non-Muslim, kita perlu bertanya; apa yang kita perjuangkan? Tentu kita memperjuangkan hak-hak kita untuk melaksanakan keyakinan kita sebagai Muslim, hak-hak kita untuk tinggal di Tanah Air sendiri, hak-hak kita sebagai warga negara yang berketuhanan di negara ini? Apa yang lebih besar daripada itu? Ada kelompok LGBT yang mau kerja sama dengan kaum Muslimin untuk tujuan yang sama. Ada orang non Muslim yang mau kerja sama dengan kita untuk tujuan yang sama. Ada yang tak bersesuaian dengan kita dalam isu-isu politik mau bekerja sama dengan kita untuk tujuan yang sama.

Banyak yang berpendapat, “Saya tak mau ambil posisi ini sebab kontroversial, merusak jalan karir saya ke depan, saya menjadi tidak popular atau orang-orang akan mengkritik atau menghujat saya.” Kita lihat ada beberapa tempat atau negara di mana ada tekanan agar orang-orang tak lagi berbicara tentang isu Palestina, tidak lagi berbicara kasus-kasus yang dianggap membuat kita teralienasi. Singkatnya, we will lose our place at the table. If you don’t have a seat at a table then you are being eaten for dinner (Kita akan kehilangan tempat kita di meja. Jika Anda tidak memiliki kursi di meja maka Anda akan ‘dimakan’ (baca: dihabisi/dikalahkan) untuk makan malam). Dengan kata lain bicara tentang ketidakadilan di Palestina atau Kashmir membuat kita tidak lagi dianggap.

Keith Ellison, seorang politisi Muslim AS dan jaksa agung di negara bagian Minnesota, berbuat sekuat tenaga menenangkan atau membungkam pengkritiknya. Ia berbuat banyak hal, menandatangani apa pun untuk kebaikan publik AS bahkan mengeluarkan banyak pernyataan untuk menunjukkan bahwa ia seorang tokoh politik penting, berkarakter, dan bukan figur yang problematik dalam pandangan-pandangan politiknya. Lalu apa yang terjadi? Masyarakat masih saja menuduhnya sebagai seorang ekstremis Muslim. Media massa mencongkel fakta yang yang dipaksakan bahwa ketika masih muda Ellison adalah bagian dari kelompok garis keras. Ia menggalang dana untuk hal-hal yang dituduh terkait dengan Islam fundamentalis.

Mengapa takut untuk mengambil sikap tertentu karena takut Anda tak akan diterima jika pada kenyataannya Anda juga tak akan pernah diterima. Kenapa kita tak berdiri membela sesuatu yang berguna? Anda akan menemukan begitu banyak orang di luar sana yang sepakat dengan Anda. Tak terhitung artis Hollywood, ilmuan-ilmuan besar di Barat, aktivis dan lain-lain yang berdiri tegak membela hak-hak warga Palestina. Gigi Hadid adalah salah seorang artis Hollywood yang dikenal membantu perjuangan Palestina.

Ada sekelompok Muslim yang menentang atau tidak peduli dengan gerakan Boycott, Divestment, Sanctions (BDS). Mereka memandang rendah gerakan ini. Mereka percaya sikap demikian membuat mereka tampak smart dan beroleh posisi. Apakah kita sadar bahwa banyak orang-orang terhormat, pemikir, filsuf, artis dan lain-lain yang ikut gerakan ini, lalu meninggalkan barisan orang-orang Muslim sendiri yang apatis dengan BDS. Kelompok Muslim makin jauh ketinggalan di belakang dalam lalu lintas sejarah.

Membela gerakan BDS pada sejatinya adalah melakukan qawwâmîna bil qisth (menegakkan keadilan) dan syuhadâ’a lillâh (menjadi saksi bagi Allah). Ini tugas kita. Bila kita tidak melakukannya, maka kita gagal dalam menjalankan tugas kita kepada Allah sebagai Muslim. Jadi, apakah saya berdiri tegak menegakkan keadilan dan menentang kezaliman? Anda akan dianggap Muslim yang baik bila siap mengompromikan prinsip dan keyakinan Anda. Itu pun Anda masih dianggap tidak cukup menjadi Muslim yang baik.

Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Exit mobile version