YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Pada pendampingan ASLAMA PTMA ada indikator atau standar mutu berupa LED (Laporan Evaluasi Diri) atau laporan LKPT (Laporan Kinerja Perguruan Tinggi) sehingga Pengelola Asrama itu harus mampu membantu penyusun lembaga penjamin mutu dalam menampilkan data-data pengelolaan asrama dan data hasil output atau outcome asrama, jadi ini outlinenya akreditasi standar nasional.
Achmad Nurmandi selaku pembicara mengajak para peserta bahwa pentingnya penjaminan mutu internal, di mana hal itu membantu kinerja selama mengelola asrama. Pada mutu internal ini pencerminan perguruan tinggi memiliki standar mutu yang sudah ditetapkan. Pada Muhammadiyah menetapkan standar pendidikan tinggi berjumlah 31 standar. Jika dibanding pemerintah yang hanya memiliki 24 standar diantaranya Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian. Maka Muhammadiyah melampaui sebanyak 7 standar yang nanti diturunkan menjadi indikator-indikator mutu.
Cara mengukur standar, misalnya lulusan mahasiswa dalam standar nasional yaitu IPK harus 2. Dalam Perguruan Tinggi Muhammadiyah ada standar tambahannya yaitu mampu membaca al-Qur’an. Maka standar yang ditetapkan oleh Perguruan Tinggi itu akan menjadi mimpi bahwa nanti perguruan Tinggi yang kita kelola punya standar di atas rata-rata. Kemudian meningkatkan reputasi yang akhirnya para alumninya akan lebih punya daya saing dibandingkan dengan yang lain.
“Kita itu diharapkan melampaui standar nasional. Pelampauan itulah dibagi diberikan peringkat namanya baik sekali dan unggul. Peringkat unggul itu menunjukkan kita sudah melampaui yang dimaksud unggul itu. Unggul artinya kita melampaui standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah.” Serunya.
Di dalam peraturan Majelis Diktilitbang juag memiliki standar pengelolaan asrama. Maka setiap PESMA tinggal merumuskan indikator-indikator. Misalnya, standar pendamping mahasantri. Ada 9 kriteria visi dan misi, tujuan, strategi tata pamong, tata kelola mahasiswa, sarana pendidikan dan lain-lain. Pada tata kelola perguruan tinggi harus memiliki standar lalu indikator di mana dalam akreditasi dinamakan IKU (Indikator Kinerja Utama) dan IKATI (Indikator Pendidikan Tambahan).
IKU adalah indikator yang diturunkan dari 24 standar mutu yang dalam akreditasi ada 62 indikator baik kuantitatif ataupun kualitatif. Kemudian, kinerja tambahan adalah asrama yang mengelola mahasiswa itu menjadi indikator pada kriteria prasarana. Lalu, masuk pada standar pendidikan di mana pembelajarannya 50 menit per SKS. Metode pembelajaran bisa tatap muka atau eksperimental learning yang ada di RPS mata kuliah untuk sampai capaian pembelajaran yang sudah ditulis di RPS.
Dia menyampaikan bahwa CP tentang sikap itu menjadi indikator, karena dengan itu nanti akan ditekankan oleh universitas sehingga muncul karakter yang berbeda antara lulusan dengan PTM lain. Kemudian ia menegaskan kepada pengelola PTM untuk tidak meremehkan organisasi karena hal itu termasuk pemenuhan standar minimal PTM.
“Nah ini menjadi beban Perguruan Tinggi yang baru. Ada 15 rata-rata hanya satu yang memiiki mahasiswa yang lain kekurangan mahasiswa. Hal ini karena organisasinya minim. Oleh karena itu, Majelis Dikti tidak membuat moratorium yang baru jadi lebih baik bergabung dengan yang sudah ada akreditasinya.” Ungkapnya.
Dia memberikan runtutan akreditas agar sesuai standar mulai dai laporan profil alumni asrama kemudian audit pembelajaran asrama dari mulai sampai akhir kegiatan sehingga hal ini menjadi kepuasan bagi mahasiswa juga.
“Mengelola asrama ini kan dalam satu sistem Pendidikan Tinggi bahwa itu ada penjaminan mutu untuk eksternal dinamakan akreditasi jadi kita harus ikut itu. Jadi kita tidak bisa seenaknya sendiri seperti pesantren pada umumnya. Sehingga yang namanya pembelajaran itu ada auditnya. Maka kita itu malah memberikan profit kepada PTM institusi masing-masing,” tutupnya. (Badru Tamam)