Bedanya Wakaf Uang dengan Wakaf Menggunakan Uang
Pertanyaan:
- Dapatkah benda wakaf berupa uang?
- Dapatkah wakaf berupa jumlah uang (untuk membeli sebidang tanah yang akan diwakafkan) dibayar dengan dicicil atau diangsur hingga lunas sebagaimana yang dijanjikan? Jika tanah wakaf dibeli secara bersama-sama dalam ikrar wakaf dan pensertifikatannya, siapa yang bertindak sebagai wakif?
- Tanah yang dibeli secara bersama-sama oleh para pembelinya kemudian diwakafkan kepada Muhammadiyah, apakah Muhammadiyah sebagai pemiliknya?
Ahmad Sjah, Anggota Muhammadiyah Ranting Kartini, Binjai Kota, Binjai Sumatera Utara
(disidangkan pada Jum’at, 13 Syakban 1437 H / 20 Mei 2016 M)
Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan yang saudara ajukan kepada kami. Perlu kami sampaikan bahwa pertanyaan saudara yang lain, yaitu tentang bentuk sumbangan yang diberikan oleh umat seperti wakaf, zakat, infak dan shadaqah serta bagaimana penyaluran sumbangan-sumbangan dalam bentuk zakat, wakaf, infak dan sedekah tersebut telah dimuat pada Majalah Suara Muhammadiyah No. 24 tahun 2016 dan No. 1 tahun 2017. Berikut adalah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saudara yang lain.
-
Wakaf Uang
Dilihat dari segi tetap atau tidaknya, harta dapat dibagi menjadi dua, yaitu manqul dan aqar. Harta manqul adalah harta yang dapat dipindahkan (bergerak) dari satu tempat ke tempat lain, baik tetap ataupun berubah kepada bentuk yang lain seperti uang (nuqud), hewan, benda-benda yang ditimbang atau diukur. Sedangkan harta aqar adalah harta yang tidak bisa dipindahkan dan dibawa dari satu tempat ke tempat lain, seperti tanah, bangunan. Dari pengertian di atas jelas bahwa uang termasuk harta manqul.
Dari keterangan di atas, dapat diketahui bahwa uang (nuqud) sebagai harta manqul (harta bergerak). Uang memiliki fungsi sebagai satuan harga, alat transaksi dan penyimpan nilai. Di sisi lain uang juga memiliki ciri mempunyai jaminan dan tahan lama. Sebagai benda yang dapat menyimpan nilai, mempunyai jaminan dan tahan lama, maka uang (nuqud), dapat diwakafkan.
Dalam Kitab Waqaf Himpunan Putusan Tarjih disebutkan, “kalau engkau menerima uang untuk waqaf atau mendapat barang waqaf yang tidak tertentu, atau yang berwaqaf (waqifnya) tidak menentukan, hendaklah engkau pergunakan sebagai amal jariyah yang sebaik-baiknya, jangan sampai harta benda waqaf itu tertimbun menjadi kanaz (timbunan) yang terkutuk”. Putusan Tarjih pada Muktamar Khususi ke-32 di Purwokerto tahun 1953 tersebut mengindikasikan bolehnya wakaf dalam bentuk uang tunai, akan tetapi tidak diperinci tentang ketentuan lainnya.
Adapun Majelis Ulama Indonesia melalui Komisi Fatwanya telah menetapkan fatwa tentang wakaf uang pada tanggal 28 Shafar 1423 H / 1 Mei 2002 M sebagai berikut:
- Wakaf Uang (Cash Wakaf/Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
- Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
- Wakaf Uang (Cash Wakaf/Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
- Wakaf Uang hukumnya jawaz (boleh).
- Nilai pokok Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam Buku III Bab I Pasal 215 butir (4) secara umum disebutkan bahwa benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam. Dengan demikian, uang sebagai benda bergerak termasuk ke dalam kategori benda wakaf.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf pada Pasal 1 butir 5. disebutkan bahwa benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif. Pada pasal 16 ayat (1) disebutkan, Harta benda wakaf terdiri dari: a. benda tidak bergerak; dan b. benda bergerak, dan pada ayat (3) disebutkan, benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi : a. uang; b. logam mulia; c. surat berharga; d. kendaraan; e. hak atas kekayaan intelektual; f. hak sewa; dan g. benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kebolehan wakaf uang atau juga sering disebut dengan wakaf tunai ini tentu saja dengan syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi. Persyaratan yang berkaitan dengan benda wakaf antara lain adalah bahwa benda wakaf harus kekal. Terkait dengan pengekalan ini berdasarkan hadis,
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ عُمَرُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمِائَةَ سَهْمٍ الَّتِي لِي بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَعْجَبَ إِلَيَّ مِنْهَا قَدْ أَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْبِسْ أَصْلَهَا وَسَبِّلْ ثَمَرَتَهَا [رواه النسائي].
Dari Ibnu Umar (diriwayatkan), ia berkata, Umar mengatakan kepada Nabi saw, Saya mempunyai seratus dirham saham di Khaibar. Saya belum pernah mendapat harta yang paling saya kagumi seperti itu, tetapi saya ingin menyedekahkannya. Nabi saw mengatakan kepada Umar: Tahanlah (jangan jual, hibahkan dan wariskan) asalnya (modal pokok) dan jadikan hasilnya sedekah untuk sabilillah [HR. an-Nasā`ī, no. 3546].
Adapun tata cara wakaf uang, dalam UU RI No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf disebutkan,
- Pasal 28, Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri.
- Pasal 29,
- Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dilaksanakan oleh Wakif dengan pernyataan kehendak Wakif yang dilakukan secara tertulis.
- Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang.
- Sertifikat wakaf uang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan dan disampaikan oleh lembaga keuangan syariah kepada Wakif dan Nazhir sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf.
Dengan demikian, cara untuk mengekalkan uang sebagai benda wakaf adalah melalui lembaga keuangan syariah, seperti bank syariah. Oleh bank syariah ini nantinya uang wakaf akan dikelola dengan mudharabah. Bank syariah berlaku sebagai mudharib dan nadhir berlaku sebagai shahibul maal.
Terkait dengan ketentuan lebih rinci tentang tata cara dan manajemen wakaf uang, dapat dilihat pada UU RI No. 41 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan UU tersebut.
-
Wakaf menggunakan uang yang dibayarkan untuk membeli tanah secara angsuran dan siapa yang menjadi wakif untuk tanah yang dibeli bersama
Perlu dijelaskan sebelumnya bahwa wakaf uang atau wakaf tunai berbeda dengan wakaf menggunakan uang. Dalam wakaf uang, uang itulah yang menjadi benda wakaf, sementara dalam wakaf menggunakan uang, uang tersebut hanya digunakan untuk membeli benda yang akan diwakafkan, misalnya mewakafkan tanah setelah sebelumnya membeli (dengan uang) tanah tersebut. Mengenai wakaf tanah yang dibeli secara angsuran dapat terlaksana atas kerelaan dari pihak penjual tanah. Pihak penjual tanah tersebut tidak merasa keberatan untuk menjadikan tanah itu sebagai benda wakaf pada waktu pengangsuran. Jadi pengangsuran uang untuk membeli tanah kemudian diwakafkan hukumnya boleh selama ada kerelaan dari pihak penjual tanah untuk dibeli secara mengangsur. Tentang kerelaan ini diterangkan dalam al-Qur’an,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ [النسآء، 4: 29].
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu [QS. an-Nisa’ (4): 29]
Diterangkan pula dalam hadis sebagai berikut,
عَنْ دَاوُدَ بْنِ صَالِحٍ الْمَدَنِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ [رواه ابن ماجه و ابن حبان وأبو يعلى والبيهقى].
Dari Dawud bin Shalih al-Madaniy dari ayahnya (diriwayatkan), ia berkata: Aku mendengar Abu Sa’id al-Khudriy berkata: Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya jual-beli itu berdasarkan kerelaan [HR. Ibn Majah/2185, Ibn Hibban/4967, Abu Ya’la/1354 dan al-Baihaqi/10858].
Mengenai tanah yang dibeli secara bersama-sama dan kemudian diwakafkan, dalam pasal 7 UU RI No. 41 tahun 2004 dijelaskan macam-macam wakif, meliputi perseorangan, organisasi dan badan hukum. Tanah yang dibeli secara bersama-sama dan kemudian diwakafkan tersebut termasuk kategori wakif perorangan. Secara syariat semua orang yang bersepakat itu merupakan wakif atas tanah yang diwakafkan, tidak ada perbedaan. Namun, secara administrasi negara, dalam pasal 19 UU RI No. 41 tahun 2004 dinyatakan, agar dapat melaksanakan ikrar wakaf, wakif atau kuasanya menyerahkan surat atau bukti kepemilikan atas harta benda wakaf kepada pejabat pembuat akta ikrar wakaf (PPAIW). Dengan demikian, tanah yang telah dibeli untuk diwakafkan itu harus dibuatkan sertifikat sebagai bukti kepemilikan atas nama wakif.
Dalam hal ini, ada dua cara yang dapat dilakukan. Pertama, para wakif secara bersama-sama membuat satu sertifikat kepemilikan, sesuai dengan Pasal 31 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang mengatur bahwa hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun kepunyaan bersama beberapa orang atau badan hukum diterbitkan satu sertifikat, yang diterimakan kepada salah satu pemegang hak bersama atas penunjukan tertulis para pemegang hak bersama yang lain. Dengan demikian, seluruh wakif dapat dicantumkan namanya dalam satu sertifikat.
Kedua, diperlukan kesepakatan di antara para wakif, untuk menunjuk salah satu di antara mereka yang akan dituliskan namanya di atas sertifikat tanah maupun menandatangani surat bukti kepemilikan harta wakaf tersebut, mewakili semua orang yang berpartisipasi dalam perwakafan tersebut. Perwakilan atau wakalah ini dibenarkan dalam Islam, sebagai contoh perwakilan yang dikemukakan dalam firman Allah,
وَكَذَٰلِكَ بَعَثْنَاهُمْ لِيَتَسَاءَلُوا بَيْنَهُمْ ۚ قَالَ قَائِلٌ مِّنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ ۖ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۚ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُم بِوَرِقِكُمْ هَٰذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنظُرْ أَيُّهَا أَزْكَىٰ طَعَامًا فَلْيَأْتِكُم بِرِزْقٍ مِّنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا [الكهف، ١٨: ١٩].
Demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini?). Mereka menjawab: Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari. Berkata (yang lain lagi): Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun [QS. al-Kahfi (18): 19].
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa sekolompok orang boleh menugasi/ mendelegasikan salah seorang di antara mereka untuk melakukan suatu perbuatan, mewakili mereka semua. Orang yang telah bersepakat itu tidak boleh mengingkari janjinya, berdasarkan dalil berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ ۚ [المآئدة، 5: 1].
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu [QS. al-Maidah (5): 1].
وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ ۖ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا [الإسرآء، 17: 34].
Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya [QS. al-Isra’ (17): 34]
Dalam hadis disebutkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ [رواه البخاري ومسلم].
Dari Abu Hurairah (diriwayatkan), dari Nabi saw. beliau bersabda: Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga: Apabila berbicara dia berdusta, apabila berjanji dia mengingkari, dan apabila diamanahi dia berhianat [HR. al-Bukhari: 33, Muslim: 220].
Agar kesepakatan itu lebih kuat, hendaknya kesepakatan/perjanjian itu dicatat, sesuai firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَن يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللهُ ۚ [البقرة، 2: 282].
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya [QS. al-Baqarah (2): 282].
Dari ayat di atas, diketahui bahwa dalil tersebut membicarakan mengenai utang piutang. Utang-piutang merupakan suatu perjanjian, maka dalil ini dapat diterapkan dalam semua jenis perjanjian, seperti halnya dalam masalah ini. Hal ini karena sebuah perjanjian akan lebih kuat apabila ditulis. Dalam konteks sekarang, pencatatan perjanjian tersebut sebaiknya dilakukan secara formal di depan pejabat berwenang atau notaris.
-
Tanah yang dibeli secara bersama-sama oleh para pembelinya kemudian diwakafkan kepada Muhammadiyah, apakah Muhammadiyah sebagai pemiliknya?
Persoalan wakaf telah diatur di dalam Undang-Undang (UU) No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Berdasarkan pengertian wakaf menurut UU tersebut, maka wakaf terbagi menjadi dua, yaitu:
- Wakaf untuk selamanya, yaitu wakaf yang tidak memiliki jangka waktu tertentu, sehingga benda wakaf tidak boleh menjadi milik perorangan atau sekelempok orang tertentu, karena benda setelah diwakafkan selamanya tetap menjadi benda wakaf, yang tidak boleh untuk dijual, dihibahkan dan diwariskan. Atas dasar inilah jumhur ulama berpendapat bahwa benda wakaf adalah milik Allah, sehingga penerima benda wakaf hanya memiliki manfaat dari benda wakaf itu saja, bukan sebagai pemilik bendanya. Pendapat ini didasarkan kepada hadis,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: أَصَابَ عُمَرُ بِخَيْبَرَ أَرْضًا، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: أَصَبْتُ أَرْضًا لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ مِنْهُ، فَكَيْفَ تَأْمُرُنِي بِهِ؟ قَالَ: إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا، فَتَصَدَّقَ عُمَرُ أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ فِي الفُقَرَاءِ، … [رواه البخاري :2772]
Dari Ibnu Umar r.a. (diriwayatkan), ia berkata: Umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, kemudian ia menghadap Nabi saw, lalu berkata: Aku mendapatkan sebidang tanah (di Khaibar) di mana aku tidak mendapatkan harta yang lebih berharga bagiku daripadanya, maka apakah yang hendak engkau perintahkan kepadaku sehubungan dengannya? Rasulullah saw bersabda: Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan engkau sedekahkan manfaatnya. Lalu Umar pun menyedekahkan manfaatnya, tidak boleh diperjualbelikan, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan [HR. al-Bukhari no: 2772].
Menurut jumhur ulama, lafal لاَ يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ (tidak boleh diperjualbelikan, tidak boleh diwariskan, dan tidak boleh dihibahkan) menunjukkan bahwa benda wakaf tidak boleh menjadi milik perorangan atau sekelompok orang tertentu. Selain itu, dalam hadis tersebut, juga menunjukkan larangan pengelolaan barang yang diwakafkan, sebab kata “menahan” dalam hadis tersebut artinya adalah menghalangi, yakni menghalangi harta untuk menjadi milik orang yang mewakafkan, juga menghalanginya untuk menjadi objek pengelolaan kepemilikan. Oleh karena itu, benda wakaf tersebut menjadi milik Allah, dan implikasinya adalah bahwa wakaf itu bersifat selama-lamanya (Wahbah az-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, 2009, Damasykus: Dar al-Fikr, hlm. 153).
Wakaf tanah yang diberikan kepada Muhammadiyah, secara administratif nama Muhammadiyah dan nama-nama pimpinan Muhammadiyah setempat akan dicantumkan sebagai Nadzir di dalam sertifikat tanah wakaf tersebut.
- Wakaf untuk sementara atau wakaf berjangka, yaitu wakaf yang memiliki jangka waktu tertentu. Artinya, penerima benda wakaf hanya dapat memanfaatkan benda wakaf dalam jangka waktu tertentu. Setelah jangka waktu tertentu berlalu, maka benda wakaf itu kembali menjadi milik wakif, sehingga benda itu (setelah kembali pada wakif) boleh dijual, diwariskan, dan dihibahkan. Sebagai contoh seseorang boleh mewakafkan sawahnya dalam jangka waktu sepeluh tahun misalnya, maka selama sepuluh tahun itu penerima wakaf memanfaatkan sawah tersebut, dan setelah sepuluh tahun berjalan, sawah tersebut kembali kepada wakif sebagai pemiliknya.
Menurut Malikiyah, wakaf sementara tidak memutus atau menghilangkan kepemilikan barang yang diwakafkan, namun, hanya memutus hak pengelolaannya. Mereka menjadikan dalil akan tetapnya kepemilikan terhadap harta yang diwakafkan pada riwayat Umar, yang Rasulullah saw bersabda إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا (jika engkau suka tahanlah tanah itu dan engkau sedekahkan manfaatnya). Dalam hadis ini ada indikasi bersedekah dengan hasil tanah tersebut, sementara kepemilikan barang yang diwakafkan tetap ada dalam tanggungjawab orang yang mewakafkan.
Larangan segala bentuk pemindahan kepemilikan barang tersebut kepada orang lain, yang ditegaskan dalam hadis tersebut dengan lafal لاَ يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ (tidak boleh diperjualbelikan, tidak boleh diwariskan, dan tidak boleh dihibahkan), berlaku sepanjang benda itu berstatus sebagai benda wakaf. Pendapat yang diungkapkan oleh Malikiyah, serupa dengan kepemilikan mahjur ‘alaih (orang yang dilarang mengelola harta miliknya) karena orang itu bodoh. Kepemilikannya, terhadap barangnya tetap, namun dia dihalangi untuk menjual dan menghibahkannya (Wahbah az-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, 2009, Damasykus: Dar al-Fikr, hlm. 154).
Dari penjelasan yang telah dipaparkan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa benda yang telah diwakafkan dapat bersifat selamanya dan dapat pula bersifat sementara (berjangka). Apabila tanah yang dibeli secara bersama-sama yang diwakafkan pada Muhammadiyah itu bersifat selamanya, maka tanah tersebut adalah milik Allah, dan Muhammadiyah bertindak sebagai nadzir yang mengelola dan memanfaatkannya.
Namun apabila tanah itu diwakafkan untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu, maka Muhammadiyah dapat memanfaatkan tanah tersebut selama jangka waktu tertentu itu, sementara wakif tidak boleh memanfaatkan tanah tersebut. Setelah jangka waktu tertentu itu berlalu, tanah tersebut kembali sepenuhnya menjadi milik para wakif dan dapat memanfaatkannya kembali.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 19 Tahun 2018 dengan judul Wakaf Uang, Wakaf Menggunakan Uang, dan Kepemilikan Benda Wakaf