Pak AR Fahruddin, Jenderal Sigit, dan Pendidikan Anti Korupsi
Oleh: Aminnu Annafiyah
Kyai AR Fahruddin atau Pak AR, adalah seorang ulama terkenal di Indonesia, yang dikenang masyarakat karena kearifannya dalam memahami dan mendakwahkan risalah Islam. Puluhan tahun Pak AR mengemban Amanah sebagai ketua PP Muhammadiyah.
Suatu hari, Pak AR menempuh ujian untuk memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM).Pak AR adalah Ketua Muhammadiyah, sebuah ormas Islam yang senantiasa taat azas dalam menjalankan gerakannya. Maka Pak AR sepanjang hayatnya sangat menghormati hukum dan aturan negara, termasuk hukum berkendara di jalan raya.
Sebagai sosok ulama dan panutan masyarakat, Pak AR menyadari bahwa menjalani proses ujian untuk memperoleh SIM adalah akhlaq warga negara yang bertanggung jawab dan wajib dilakukan. Pak AR-pun berkunjung ke kantor layanan SIM pada hari yang telah ditentukan. Beliau mengikuti semua prosedur yang diperlukan, termasuk pemeriksaan kesehatan, tes teori, dan ujian praktik.
Masyarakat yang melihat merasa heran melihat Kyai-nya mengikuti ujian SIM. Khalayak ramai tentu “mbatin” ngapain Kyai-nya mengikuti ujian SIM, toh apabila Pak AR mau sangatlah mudah memiliki SIM tanpa perlu menempuh ujian. Jangankan Kasatlantas dan Kapolres, bahkan Kapolri-nya sekalipun pasti sangat hormat pada Kyai yang akrab dengan Presiden Soeharto ini.
Namun Pak AR memiliki prinsip bahwa seorang kyai juga harus menjadi teladan dalam menghormati hukum dan aturan yang berlaku di masyarakat. Setelah menjalani semua tahapan ujian, Pak AR berhasil lulus dan memiliki SIM secara syah.
Menuntun Sepeda Motor
Kisah Pak AR mengikuti ujian SIM ini sangat populer, dan patut kita syukuri telah menginsprasi kita tentang akhlaq seorang tokoh besar yang sadar dengan kewajiban untuk patuh pada aturan hukum yang berlaku di masyarakat. Beliau telah menunjukkan bahwa mengikuti ujian untuk memperoleh SIM adalah tindakan yang penting dalam menghargai keselamatan di jalan raya.
Kisah populer ini juga diwarnai kejenakaan pak AR. Saat ujian praktik tengah berlangsung, Pak AR mengikuti route yang telah ditentukan oleh pengujinya. Rupanya peserta ujian SIM wajib melewati jalanan sempit, berkelok, dan licin, yang sulit dilalui. Barangkali ini untuk menilai ketangguhan peserta ujian SIM dalam berkendara.
Sebelum melintas rupanya Pak AR menghentikan sepeda motornya, mematikan mesin, lalu dituntun perlahan untuk melewatinya. Seorang polisi yang menjadi pengawas ujian lalu menegur Pak AR, dan bertanya kok sepeda motornya malah dituntun, wong ini tes ketangguhan berkendara.
Pertanyaan Pak Polisi dengan tenang dijawab oleh Pak AR bahwa dirinya selalu turun dan menuntun sepeda motor saat melintasi jalanan sempit, berkelok, dan licin. Pak Polisi-pun tersenyum dan menyilakan Pak AR melanjutkan perjalanannya.
Bagi Pak Polisi jawaban Pak AR masuk akal, wong orang berkendara itu ingin selamat, jadi wajar dan sama sekali tidak salah jika pengendara menuntun sepeda motornya di jalanan yang sulit dilalui. Sikap Pak AR ini dinilai oleh Pak Polisi sebagai akhlaq pengendara yang tangguh, tidak ngawur, dan menghargai keselamatan. Maka Pak AR berhasil lulus ujian SIM dengan baik, jujur, berintegritas tanpa kolusi.
Kapolri Sigit Menggugat Ujian SIM
Belum lama ini, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memerintahkan seluruh anggotanya untuk memperbaiki sistem birokrasi pelayanan masyarakat. Pernyataan ini disampaikannya dalam wisuda Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian 21 Juni 2023.
Menurut Kapolri, pembenahannya termasuk dalam pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM). Ujian praktek SIM C dinilai oleh Jenderal Sigit sering menjadi perbincangan masyarakat. Tahapan ujian ini dianggap momok karena sulit ditembus.
Dalam ujian praktik, peserta antara lain diminta untuk uji pengereman/keseimbangan, uji slalom/zig-zag, uji membentuk angka delapan, uji reaksi menghindar, dan uji berbalik arah membentuk huruf U. Menurut Kapolri, peserta biasanya gagal di uji melalui lintasan zig-zag dan membentuk angka delapan.
Kapolri Sigit kemudian memerintahkan Kakorlantas meninjau ulang tes lintasan angka 8 dan zig-zag ini. Jenderal Sigit menilai yang terpenting dalam pelaksanaan ujian SIM adalah menumbuhkan kesadaran pengendara untuk menghargai keselamatan pengguna jalan.
Ujian praktik SIM menurut Kapolri adalah untuk menilai keterampilan dalam mengendarai kendaraan, sehingga tidak perlu melintasi jalur yang tidak masuk akal yang hanya cocok untuk pemain sirkus. Selain itu, Kapolri tidak ingin ujian praktik SIM oleh masyarakat dinilai hanya untuk mempersulit. Celakanya jika ujung-ujungnya di bawah meja, yang tidak tes malah lulus.
Stop Mengajari Anak SMA Korupsi Gratifikasi Kolusi
Bila ujian praktik SIM bertujuan untuk mengukur pemahaman pemohon SIM dalam etika dan peraturan berlalu lintas, mengukur ketrampilan berkendara yang baik, serta mendorong masyarakat menghargai keselamatan di jalan, tentu saja alat ukur berupa lintasan zig-zag dan angka 8 ini tidak valid. Hal ini disadari sepenuhnya oleh Kapolri Sigit yang hendak mengevaluasinya.
Jenderal Sigit juga melihat peluang penyimpangan berupa praktik gratifikasi, main sogok, dan kolusi karena masyarakat sulit memperoleh SIM gara-gara metode ujian praktiknya tidak masuk akal. Langkah Jenderal Sigit ini patut diapresiasi, mengingat sudah sekian kali ganti Kapolri baru Jenderal Sigit yang berinisiatif mereformasi ujian SIM.
Kita menjadi saksi bahwa ujian praktik SIM yang tidak masuk akal ini telah puluhan tahun diterapkan di Indonesia. Hasilnya sama sekali tidak menumbuhkan kesadaran menghargai keselamatan berlalu lintas. Fakta yang terjadi justru membudayakan praktik koruptif, gratifikasi, dan kolusi.
Mayoritas rakyat Indonesia tentu saja bersikap pragmatis, yang penting bisa memiliki SIM sehingga ketika gagal lulus ujian praktik rela hati merogoh koceknya. Jangankan masyarakat awam, bahkan para wakil rakyat selama puluhan tahun adem ayem saja dengan masalah ini.
Ironisnya, selama puluhan tahun penerapan lintasan zig-zag dan angka 8 ini telah mengajarkan perilaku korupsi, gratifikasi, dan kolusi sebagai hal yang lumrah kepada para pelajar SMA yang pertama kali dalam hidupnya memanfaatkan KTP barunya untuk mencari SIM. Jadi para remaja Indonesia itu di benaknya langsung tertanam budaya nyogok gara-gara mencari SIM. Maka wajar KPK itu kerjaannya tidak pernah habis.
Rakyat Indonesia tentu berharap Kakorlantas segera merealisasikan perintah Kapolrinya untuk memperbaiki cara ujian praktik SIM. Selain untuk meningkatkan citra layanan Polri di mata public, yang lebih penting adalah untuk mengakhiri internalisasi budaya koruptif, gratifikasi, dan kolusi dari benak tunas-tunas pelajar kita yang untuk pertama kalinya berurusan dengan layanan SIM.
Akhirnya, ada baiknya seluruh rakyat Indonesia ketika ujian praktik SIM mengikuti sikap Pak AR Fahruddin yang menuntun sepeda motornya saat melalui jalur zig-zag dan lintasan angka 8. Apa yang dilakukan Pak AR itu sangat masuk akal karena berkendara pasti ingin selamat sampai tujuan. Insya Alloh jika langkah itu dilakukan secara berjamaah, akan mendorong Jenderal Sigit mengawal instruksinya agar direalisasikan oleh jajaran Korlantas POLRI.
Aminnu Annafiyah, Guru SMA Negeri 2 Bantul Yogyakarta