Paris dan Kepercayaan Diri Orang Perancis
Oleh: Dr Mahli Zainuddin Tago
Lyon, Sabtu 1 Juli 2023. Pukul lima sore pesawat Air France yang menerbangkan kami mendarat di Perancis. Kami dalam penerbangan menuju Paris. Sebenarnya kami berminat naik KA Cepat Amsterdam-Paris. Tetapi tidak kebagian tiket. Mungkin karena pemesanaan tidak jauh-jauh hari sebelumnya. Sedangkan pesawat langsung harga tiketnya lebih mahal. Maka penerbangan transit menjadi alternatif dan menginjakkan kaki di Lyon kota di tenggara Paris menjadi rezeki tersendiri bagiku. Di dalam pesawat kami terkepung oleh penumpang yang pulang kampung setelah liburan ke Norwegia. Mereka berbicara dalam bahasa Perancis. Di sebelahku duduk seorang kakek yang ramah. Tetapi komunikasi kami tidak efektif. Aku tidak bisa berbahasa Perancis. Beliau tidak bisa berbahasa Inggris. Apalagi bahasa Indonesia. Maka aku duduk santai saja di samping Nino. Sambil mulai menulis paragaraf-paragraf perjalanan ke Eropa. Khususnya etape-Amsterdam-Paris.
Karena mendarat di Lyon maka aku uluk salam pada orang sekitar. Semacam ijin untuk lewat karena tidak bisa singgah. Pertama, pada Sanupal kemenakanku yang alumni S-2 di Grenoble, kota di dekat Lyon di kaki Gunung Alpen. Meski kini dia sudah di tanah air dan mengabdi di UMY almamaternya. Kedua, pada Andar Nubowo teman lama sesama pengurus Lazismu. Beliau sedang bersitekun menyelesaikan S-3 di universitas bergengsi Ecole Normale Supérieure (ENS). Ketika beliau berangkat ke Lyon aku menempati posisinya sebagai Sekretaris Lazismu Pusat. Berkabar berita seperti ini adalah bagian dari memelihara silaturrahmi dengan kerabat maupun sahabat. Andar lalu menelepon dan meminta aku mengontak beliau bila ada apa-apa selama di Paris. Suhu sosial politik di Perancis beberapa hari ini sedang sangat panas. Kerusuhan sosial meluas dimana-mana. Aku tentu menjawab sami’na wa atha’na pada kawan yang cerdas dan sangat rajin sekolah ini.
Menjelang pukul sembilan malam pesawat Air France yang membawa kami mendarat dengan lembut di Bandara Charles de Gaulle. Kemegahan gedung bandara segera terlihat. Sangat kokoh dengan karakter yang kuat. Meski kini terasa lebih sepi dibanding Bandara Istanbul dan Bandara Schipol. Perancis memang memiliki karakter yang kuat. Orang-orangnya penuh percaya diri. Beda tipis dengan sombong. Khususnya terhadap orang yang menggunakan bahasa Inggris. Dua bangsa besar ini memang lama bersaing. Sejak zaman baheula, zaman kerajaan dan kolonialisme. Kini kami merasakan kesombongan ini. Lebih terasa sebagai ketidakramahan. Ketika masuk bandara kami bertanya pada penjaga Meja Informasi. Ridwan menantuku menggunakan bahasa Inggris yang fasih. Si Madam penjaga konter sekedarnya saja menjawab. Bahkan tanpa melihat sang penanya. Sama sekali tidak sopan. Beda sekali dengan keramahan orang Norwegia.
Ketidaknyamanan bertambah ketika kami mencari taksi. Pertama seseorang nenawarkan jasa taksi kepada kami. Dia meminta kami keluar melalui pintu 16. Tetapi yang bersangkutan tidak memakai atribut apapun. Jadi dia calo. Kami lewati saja dia dan keluar nemesan taksi resmi bandara. Ketika aku membuka pintu taksi sopirnya berteriak dengan wajah masam, ” don’t touch.” Karena ada rasa bersalah membuka pintu tanpa izin aku menutup kembali pintu taksi. Dia malah teriak lebih keras. Aku makin tidak mengerti apa salahku. Tetapi aku mengalah. Memilih tidak melawan. Meskipun ini tentu saja merusak suasana. Taksi pun berjalan. Nampaknya pintu mobil ini buka tutup dengan sentuhan otomatis. Masalahnya adalah cara sang sopir itu menegur. Kalaupun ada implikasi bila pintu ini rusak akibat aku buka manual kan bisa dirundingkan implikasinya. Taksi ini pun tidak bagus-bagus amat. Si Raize-ku di tanah air rasanya jauh lebih bagus.
Maka perjalanan ke hotel berlangsung sedikit tegang. Pengalaman di bandara tadi ditambah cerita di medsos tentang kerusuhan di Paris membuat aku sedikit kuatir. Tetapi musik dan lagu Perancis lembut yang dihidupkan sopir taksi membuat suasana mulai cair. Apalagi Sang Sopir mulai buka bicara. Dia menasehati kami tidak keluar malam karena malam ini jam malam diberlakukan. Tetapi di sepanjang perjalanan tidak ada tanda-tanda kerusuhan. Juga di Nanterre tempat kami akan menginap yang diberitakan menjadi titik awal kerusuhan. Jalanan yang bersih dan sepi membuat perjalanan kami lancar jaya. Setelah 35 menit sesuai perkiraan Sang Sopir kami sampai tujuan. Berita gembiranya meski sudah jam 10 malam suasana sekitar masih hidup. Beberapa toko dan sebuah warung halal masih buka. Penduduk masih lalu lalang. Maka ketegangan dan pikiran negatif tentang Paris yang mencekam perlahan sirna. Malam pertama di Paris pun berlangsung nyaman.
Pada pagi yang cerah di hari kedua kami mulai menjelajah Paris. Sasaran pertama adalah Arc de Triomphe. Kami naik bis kota menuju Stasiun La Defense. Lalu berlanjut naik Metro. Sekeluar dari bumi nampaklah Monumen Arc de Triomphe yang megah. Monumen ini mulai dibangun pada 1806 dan dibuka pada 1836. Tingginya 50 M, lebar 44M, dan kedalaman 22 M. Monumen dibangun untuk mengenang para jenderal yang gugur sejak zaman Napoleon. Nama mereka para pemenang perang itu diukirkan dengan indah pada dinding monumen. Lalu di bawah kubahnya terdapat makam para prajurit tidak dikenal. Di sekeliling monumen berdiri bangunan-bangunan megah enam lantai yang artistic dan tertata rapi. Sungguh berselera tinggi. Arc de Triomphe dikelilingi boulevard yang menjadi titik temu 12 jalan raya. Kalau dilihat dari atas terlihat seperti bintang. Wajar kalau menjadi daya tarik para pengujung dari segala penjuru. Termasuk kami yang datang jauh-jauh dari Indonesia.
Setelah puas dengan Arc Triomphe kami menuju destinasi kedua yang tidak kalah menarik, Menara Eiffel. Kami kembali naik bis kota. Segera setelah turun bis kami terpana oleh kemegahan menara ini. Maka kami langsung berfoto ria. Tetapi lokasi foto belum memuaskan kami. Juga banyak pengunjung yang lain di sekitar kami. Jaraknya terlalu dekat. Keseluruhan menara tidak terlihat penuh. Maka kami bergeser menjauh untuk mendapatkan sudat foto terbaik. Setelah pindah empat tempat kamipun mendapatkan lokasi terbaik. Seluruh bangunan menara terlihat jelas. Dari bagian paling bawah sampai pucuknya. Puluhan ribu pengunjung nampak menyemut di sekitar Menara. Setelah puas berfoto kamipun duduk santai di tempat yang teduh. Di halaman yang luas para turis dari berbagai bangsa asik mengabadikan kunjungan mereka. Beberapa pedagang asongan, umumnya berkulit legam menjajakan berbagai souvenir. Satu dua nampak agresif mendekati pengunjung.
Menara Eiffel dibangun sebagai gerbang Pameran Dunia. Gustav Eiffel arsitek menara ini berencana membangun menara di Barcelona untuk Pameran Dunia 1888. Tetapi pemerintah setempat menolaknya. Dianggap aneh dan mahal. Eiffel lalu mengirim konsepnya ke Paris. Idenya diterima. Dia lalu membangun menara ini dan diresmikan pada 1889. Sekaligus mengenang seratus tahun Revolusi Perancis. Pembangunan menara memakan waktu 2 tahun lebih. Ketika menara dibangun banyak orang dikejutkan dengan bentuknya yang menantang. Bangunan setinggi 324 meter ini seakan menembus langit mengangkangi bumi. Gustav Eiffel diminta merancang sesuatu yang berseni. Tetapi dia bersikukuh. Alasannya bangunan tertinggi di dunia harus menyesuaikan diri dari tiupan angin. Menara Eiffel memang bangunan tertingi di dunia selama empat dekade. Rekornya patah pada tahun 1930 ketika Chrysler Building di New York selesai dibangun.
Sambil menikmati kemegahan Eiffel kami melihat para turis yang mengalir tiada henti. Tidak ada kerusuhan sosial disini sebagaimana berita media sosial. Bahkan suasana tegang tidak terasa sama sekali. Mungkin kerusuhan sudah selesai sebelum kedatangan kami. Beberapa tentara memang nampak berpatroli bersenjata lengkap. Aku lalu mengirim kabar pada Andar di Lyon. Lengkap dengan foto berlatar belakang Menara Eiffel yang gagah. Andar membalas, “harus naik dan lihat di malam hari. Sampai puncak Eiffel. Atau makan di restonya di lantai 2. Resto Jules Verne. Dan ngopi di Cafe Trocadero. Mantap itu… ” Aku menolak sarannya dilpolomatis “wah informasi yang menarik ini. Sangat provokatif. hehehe.” Alasan sesungguhnya adalah kami sudah puas dengan berfoto saja. Mengingat harga di rumah makan pinggiran Paris aku membayangkan harga menu resto di atas menara ini. Rasanya levelku belum sampai. Entah pada kunjungan berikutnya.
Titik kunjungan kami berikutnya adalah Museum Louvre. Sebagaimana dua titik sebelumnya, aku kembali terkesima melihat kemegahan dan ramainya pengunjung museum ini. Museum ini bagian dari Istana Louvre di tepi Sungai Seine yang menempati 40 hektar lahan. Walau dua kali kesini kami baru melihat sebagian kecil saja dari museum ini. Bepergian bersama cucu yang masih usia dini membuat langkah kami berkeliling menjadi terbatas. Kunjungan di Louvre kami akhiri dengan nangkring di kafe. Pelayananya agak sinis melayani kami. Dikiranya kami mencari tempat duduk nyaman dengan hanya memesan minuman ringan. Padahal kami menggunakan lima kursi. Di tempat ini Dilla bertemu Essa teman KKN-nya ketika S-1 di UGM dulu. Dia alumni sastra Perancis yang menikah dengan orang Paris dan kini tinggal di Paris. Enam kursi yang kami pesan dengan menu standar membuat pelayan kafe ini akhirnya tersenyum manis pada kami. Dasar orang Perancis!
Tiga destinasi yang kami kunjungi nampaknya menjadi bagian pondasi kuatnya kepercayaan diri orang Perancis. Arc de Triomphe simbol semangat juang penaklukan bangsa lain. Eiffel karya masterpiece ilmu pengetahuan moderen. Museum Louvre adalah jendela puncak karya seni dunia. Mengunjungi ketiganya membuat aku bisa memahami kepercayaan diri yang bernuansa kesombongan orang negeri Michel Platini ini. Bahkan ketika mereka berhadapan dengan bangsa Eropa lainnya. Termasuk Belanda yang pernah berada di bawah kekuasaan mereka. Pada suatu masa Nyai Ontosoroh dan Minke didampingi orang Perancis. Maka mereka menjadi penuh percaya diri menghadapi orang Belanda anak Tuan Ontosoroh yang mau merampas rumah Nyai Ontosoroh. Tentu ini tidak di dunia nyata. Tetapi bagian dari cerita Pramudya Ananta Toer dalam “Bumi Manusia.” Andai saja orang Perancis seramah orang Norwegia, maka Eropa akan terasa lebih hangat.
Oslo-Norwegia, 14 Juli 2023
Dr Mahli Zainuddin Tago, Wakil Ketua V Majelis Pendayagunaan Wakaf