Suami Siaga dan Rakernas Dua Majelis
Oleh: Mahli Zainuddin Tago
Kampus UMY, Ahad 30 Juli 2023. Musyawarah Ranting Muhammadiyah Tamantrito Selatan dilaksanakan. Ini bagian dari ribuan Musyawarah di berbagai level Muhammadiyah se Indonesia Pasca Muktamar ke-48. Kepengurusan Unsur Pembantu Pimpinan (UPP) di berbagai level pun sudah terbentuk. Masing-masing sudah pula merencanakan maupun melaksanakan program dan kegiatan. Sebagian UPP tingkat Pusat sudah dan sebagian lainnya sedang menyiapkan Rakernas. Menariknya beberapa pengurus Muhammadiyah beristrikan pengurus Aisyiyah. Aku dan tiga teman pengurus Majelis Pendayagunaan Wakaf (MPW) PPM beristrikan pengurus Majelis PAUD Dasmen Pimpinan Pusat Aisyiah (PPA). Kebetulan dua majelis ini disibukkan Rakernas. Maka akupun terlibat dalam keduanya. Tentu dengan dua peran yang berbeda. Pertama sebagai panitia Rakernas MPW PPM dan kedua sebagai suami siaga panitia Rakernas Majelis PAUD Dasmen PPA.
Rakernas MPW direncanakan pada 9-11 September 2023. Sebagai ketua Steering Committee aku bersama teman-teman SC sudah menyiapkan proposalnya. Awalnya aku mengajak sesama SC dan OC rapat melalui zoom meeting. Tetapi anggota tim yang bisa bergabung tidak sesuai harapan. Maka aku langsung menemui Pak Jarot di kantor MPW DIY. Beliau ketua MPW DIY, wakil ketua MPW PPM, dan temanku sesama SC Rakernas. Maka kamipun ngobrol santai di kantornya yang nyaman. Kantor ini menggunakan Gedung Wakaf yang terletak di jalan besar tidak jauh dari kantor PWM DIY. Di tempat ini MPW DIY berkantor bersama dengan Lazismu DIY. Kamai diibantu Tiara staf MPW DIY yang ketika kuliah menjadi mahasiswaku di UMY. Kamipun berhasil menyusun draft proposal Rakernas MPW. Untuk pembahasan yang lebih fokus, mendalam, dan intensif, pertemuan offline memang lebih efektif dibanding pertemuan online.
Untuk penyelenggaraan Rakernas ini MPW akan berkolaborasi dengan Sebuah Universitas Muhammadiyah. Ternyata universitas ini telah dan akan menjadi tuan rumah Rakernas beberapa UPP lainnya. Alterntif lain harus dicari. Pada sisi lain beredar wacana yang meragukan efektivitas Rakernas offline. Bagi mereka target utama adalah sosialisasi program. Secara online diyakini lebih murah dan terjangkau. Pada kenyataannya banyak pertemuan online yang tidak efektif. Mengutip Rektor UIN Suka, peserta pertemuan online yang betul-betul aktif tidak lebih separuh. Sisanya hanya setor foto profile. Pak Ari, Ketua DPS MPW, menegaskan konsolidasi organisasi lebih efektif dengan tatap muka. Aspirasi, problematika, dan solusi perwakafan di bawah perlu didengar langsung. Bagiku dalam pertemuan offline ada kebersamaa. Ini sangat diperlukan. Terutama untuk organisasi nirlaba seperti Muhammadiyah.
Sedangkan Rakernas Majelis PAUD Dasmen PP Aisyiyah sudah berlangsung. Di Jakarta pada tgl 9-11 Agustus di hotel Balairung. Dalam masa penyiapannya aku menjadi suami siaga. Istriku disamping pengurus juga Sie Acara Rakernas. Istriku tinggal di Jogja tetapi bertugas menyiapkan beberapa hal. Pertama, materi presentasi divisi PAUD. Untuk itu dia melakukan berkali-kali pertemuan online dengan para pengurus lainnya yang banyak berdomisili di Jakarta. Kedua, menyiapkan tim adhoc dari guru TK ABA terpilih untuk membantu kelancaran sidang. Empat guru dari Jogja diberangkatkan ke Jakarta. Sebagai suami siaga aku membantu menyiapkan tiket dan mengantar ke stasiun atau ke bandara. Ketiga, menyiapkan tas, souvenir, dan perlengkapan Rakaernas lainnya. Keempat, memesan seragam batik untuk panitia. Bagian terakhir ini menjadi cerita paling seru. Seakan sebuah drama.
Ide seragam batik panitia ini muncul mendadak. 37 baju batik harus siap dalam waktu tiga hari. Tentu tidak banyak penjahit yang sanggup mengerjakannya. Tetapi seorang ibu tetangga kami bisa mengusahakannya. Beliau sebelumnya melakukan ahal yang sama untuk seragam ibu-ibu Pengajian RT kami. Sesuai perjanjian, Selasa siang 25-07-2023 seragam itu sudah diterima. Malamnya dibawa istriku ke Jakarta, dari Stasiun Tugu Jogja pada jam 20.50. Selasa pagi barang -barang pesanan istriku lainnya sudah sampai karena langsung dikirim pembuatnya dari Jogja ke alamat panitia di Jakarta. Maka sebagai suami siaga aku merasa tenang. List tanggun gjawab yang dipegang istriku hampir semuanya tercentang selesai. Maka sejak bakda subuh sampai bakda zuhur aku bisa fokus menyelesaikan sebuah tulisan. Tentu di sela-sela bermain dengan si Alia cucu kami. Dia sedang menikmati minggu terakhir di Jogja sebelum kembali terbang dibawa ayah-bundanya ke Norwegia.
Tetapi menjelang jam dua siang situasi berbalik arah. Tetangga kami sang penerima order ternyata salah paham. Menurut beliau Selasa siang adalah pesanan selesai dan dikirim ke Jogja. Bakda zuhur ditanya seragam sudah sampai dimana. Dengan tenang beliau menjawab seragam sudah berada di kantor ekspedisi JNT di Klaten. Diperkirakan akan sampai Jogja Rabu pagi. Oalah…. Rabu pagi Rakernas sudah dimulai. Artinya saat itu seragam itu akan kehilangan fungsi. Maka ketegangan mulai mengahampiri kami. Untungnya masih ada waktu enam jam sebelum KA Taksaka berangkat. Maka kami memutuskan akan mengambil sendiri seragam batik ini di Klaten. Kami mengontak pihak JNT dan meminta barang ditahan disana. Lalu aku meminta shareloc kantor JNT tersebut. Sambil mulai menjalankan si Raize keluar rumah di Ringoad Selatan Jogja, aku membuka googlemap memastikan jalur tercepat menuju kantor JNT Klaten.
Tetapi rupanya drama baru dimulai. Menurut google map dibutuhkan hampir tiga jam untuk mecapai kantor JNT Klaten. Setelah dicermati ternyata ini bukan Klaten. Tetapi Sragen. Tepatnya JNT Cabang Masaran. Allaahu Akbar. Daripada komplain dan bertengkar dengan tetangga kami berpikir alternatif. Kami mencari pihak ketiga di Sragen yang bisa mengambil seragam itu lalu membawanya ke arah Jogja. Dengan begitu kami bertemu di tengah. Misalnya di Kartosuro. Untuk itu kami menghubungi kantor JNT Masaran. Penjaga kantor tidak bisa membantu karena sedang sendirian. Lalu kami menghubungi penjahit seragam. Dia juga tidak bisa membantu karena beberap hal. Meski demikian istriku tetap meminta kami tetap meluncur ke arah Solo. Dia yakin sekali ada jalan keluar. Sedangkan aku sebagai suami siaga mulai menghitung waktu. Kalau tidak ada pihak ketiga yang bisa menjalankan rencana kami, bisa dipastikan istriku ditinggal KA Taksaka dari Stasiun Jogja.
Kami membuka hape dan segera menghubungi teman yang tinggal di Sragen. Pertama, Kang Jazuli, adalah adik kelas kami di Pondok Shabran utusan Jogja yang kini menjadi hakim di PA Sragen. Sayangnya Kang Jazuli sedang berada di Semarang. Meski memahami masalah kami beliau tidak bisa membantu langsung. Kedua, Dik Firoh. Dik Firoh juga adik kelas kami di Shabran. Dia utusan Lampung tetapi kini menetap di Sragen karena menikah dengan orang Sragen. Ketika kami hubungi Dik Firoh masih berada di kantornya KUA Kalijambe, lumayan jauh dari Masaran. Sebagaimana Kang Jazuli Dik Firoh antusias memikirkan solusi masalah kami sebagai teman rasa saudara mereka ini. Sikap ini berbeda dengan tetangga kami, pihak JNT, dan pihak produsen seragam yang bekerja mengikuti SOP. Dik Firoh meminta dikirimi resi pengiriman dan meminta waktu lima menit. Dia akan menghubungi pimpinan cabang JNT yang ternyata adalah temannya juga.
Lima menit kemudian menjelang Asar kami memasuki kota Klaten. Telepon dari Dik Firoh pun masuk. Dik Firoh mengabarkan tiga hal. Pertama, pihak JNT tidak bisa mengirim barang hari ini karena itu tidak sesuai SOP. Kedua, Dik Firoh tidak menemukan pihak ketiga yang bisa mengambil seragam dan mengirim ke arah Jogja sebagaimana rencana kami. Ketiga, Dik Firoh akan keluar dari kantornya lebih cepat. Dari Kalijambe di antar Mas Eko suaminya Dik Firoh akan menuju Masaran. Lanjut Dik Firoh “kami akan mengambil sendiri seragam batik di kantor JNT dan mengantarnya ke Njenengan di Kartosuro melalui jalan tol…” Kalimat terakhir Dik Firoh ini sungguh mengejutkan kami. Istriku spontan menjawab, “maasaya Allaah Dik Firoh…..” Aku yang duduk di sebelahnya sangat terharu. Ini sama sekali di luar dugaan kami. Sambil menyopir Si Raize tanpa terasa bulir-bulir hangat membasahi pelupuk mataku. Si sopir siaga ini memang terkadang menjadi cengeng.
Maka sepanjang perjalanan dari kota Klaten menuju Kartasura perasaan kami lega luar biasa. Pukul empat kami sudah menunggu di sebuah warung soto di pintu keluar tol. Mestinya tidak sampai setengah jam kemudian Dik Firoh sudah muncul. Tetapi sebuah adegan lain dalam drama ini masih bermain. Untuk mengejar waktu Mas Eko menggeber mobilnya pada kecepatan tinggi. Sampai 130 km/jam. Ini ternyata berdampak ban mobil mereka kempes di tengah perjalanan. Untungnya tidak sampai membahayakan. Maka kedatangan mereka mundur setengah jam lebih. Menjelang pukul lima sore batik seragam panitia Rakernas Majelis PAUD Dikdas PPA sudah berada di tangan kami. Sebenarnya ada rindu untuk berlama-lama dengan Dik Firoh ini. Sudah sekian purnama kami tidak jumpa. Tetapi kami harus berpisah. Aku dan istri harus putar kepala ke Jogja. KA Taksaka menunggu di Stasiun Jogja. Terima kasih Dik Firoh. Juga Mas Eko yang dengan gembira telah menjadi suami siaga.
Cerita di atas mengingatkan aku pada teori Mbah Weber tentang tindakan sosial. Ada empat basis tindakan sosial (Weber: 1958, Johnson: 1986, Ritzer: 2000): rasionalitas instrumental, rasionalitas nilai, tradisional, dan emosional. Dalam tindakan dengan rasionalitas instrumental tujuan, alat, dan hasil secara rasional dihitung dan diukur. Tiga tokoh dalam cerita ini bertindak demikian: tetangga kami, penjahit seragam, dan petuga JNT. Mereka menghitung tujuan dan hasil dan tidak mau repot dengan pekerjaan di luar SOP. Sebaliknya adalah tindakan dengan rasionalitas nilai. Komitmen terhadap nilai begitu tinggi. Pertimbangan efisiensi tidak relevan. Kang Jazuli, Dik Firoh, dan suaminya bertindak dengan rasionalitas ini. Komitmen mereka begitu tinggi untuk membantu kelnacaran Rakernas Majelis PAUD Dikdasa PPA. Dik Firoh dan Mas Eko rela menempuh perjalanan dari Masaran menuju Kartasura. Meski harus mbolos dari kantor dan mengalami ban bocor di jalan tol.
SM Tower-Jogja, 16 Agustus 2023
Mahli Zainuddin Tago, Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta