وَقَالُوا كُونُوا هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ تَهْتَدُوا ۗ قُلْ بَلْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ﴿١٣٥﴾ قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزِلَ إِلَىٰ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَىٰ وَعِيسَىٰ وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ ﴿١٣٦﴾ فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنتُم بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوا ۖ وَّإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ ۖ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ﴿١٣٧﴾ صِبْغَةَ اللَّهِ ۖ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةً ۖ وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ ﴿١٣٨﴾
(135) Mereka berkata: “Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk”. Katakanlah: “Tidak, melainkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang musyrik”. (136) Katakanlah (hai orang-orang mukmin): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”. (137) Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (138) Shibghah Allah. Siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah? Hanya kepada-Nya-lah kami menyembah.
Setelah pada ayat-ayat sebelumnya Allah mengingatkan umat-umat yang lalu atas perbuatan mereka terhadap para nabi yang diutus kepada mereka, al-Quran mencela mereka yang enggan mengikuti ajaran Islam yang diwasiatkan oleh Nabi Ibrahim, maka kecaman dilanjutkan pada ayat ini dengan menjelaskan keangkuhan mereka ketika mereka mengatakan bahwa agama Yahudi dan Nasrani yang benar, sedangkan selainnya salah.
Secara umum ayat-ayat ini menegaskan kerangka keberagamaan para nabi yang diakhiri dengan kenabian Muhammad yang disebut dengan Islam dan pemeluknya disebut muslim –sebagaimana disebutkan pada akhir ayat 136 surah al-Baqarah ini. Dengan kata lain, Islam merupakan agama para nabi, namun sebelum kerasulan Muhammad keberagamaan Islam itu belum ditetapkan sebagai proper name (nama diri) bagi agama, tetapi masih berupa sebuah sikap keberagamaan, yakni sikap submission (ketaatan dan kepatuhan hanya kepada Allah). Dalam hal ini, istilah islam merupakan pengertian secara generic (umum, intisari). Islam ditetapkan sebagai nama agama (proper name) setelah Muhammad diutus sebagai nabi yang mengakhiri seluruh garis kenabian (QS. al-Mâidah [5]: 3). Pengertian ini menunjukkan bahwa istilah islam mempunyai dua pengertian, yakni islam sebagai sebuah sikap ketaatan, kepatuhan, dan loyalitas kepada Allah yang disebut islam generic; dan islam sebagai nama dari sebuah sikap ketaatan, ketundukan, dan loyalitas tunggal kepada Allah yang baru dideklarasikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw sebagai penutup kenabian. Hal ini diungkapkan oleh Allah dalam al-Quran surah al-Maidah (5) ayat 3, yakni:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.
Ayat 135 dalam surah al-Baqarah ini juga merupakan bentuk penyangkalan umat Yahudi dan Nasrani terhadap konsep keberagamaan dan agama yang disebut Islam tersebut. Begitu pula sebaliknya, ayat ini menunjukkan kepada umat Islam bahwa sebagian penganut Yahudi dan Nasrani telah terjebak pada kemusyrikan. Penyangkalan umat Yahudi dan Nasrani ini diberitakan oleh Allah kepada Rasulullah karena sikap syirik dilakukan oleh sebagian besar dari mereka (Q.S. al-Taubah [9]: 29-30).
Ayat 135 ini turun berkaitan dengan peristiwa ketika para pembesar Yahudi dan pembesar Nasrani di Madinah saling berbantahan dengan kaum muslimin dan kaum Yahudi serta Nasrani mengajak umat Islam untuk mengikuti agama mereka. Para pembesar Yahudi, seperti Ka’ab ibn al-Asyraf, Malik ibn al-Shayf, Wahb ibn Yahuda, dan Abi Yasir al-Akhthab, menyatakan bahwa agama Yahudi adalah agama yang paling benar di sisi Allah dengan mengatakan, “Nabi kami, Nabi Musa adalah nabi yang paling mulia, kitab kami, kitab Taurat adalah kitab yang paling utama, dan agama kami adalah agama yang paling benar, kami tidak percaya kepada Nabi Isa dan kitab Injil, kami juga tidak percaya kepada Nabi Muhammad dan al-Quran”. Demikian juga halnya dengan para pembesar Nasrani, seperti al-Sayyid dan al-‘Aqib. Mereka mengatakan bahwa Nabi Isa adalah nabi yang paling mulia, kitab Injil kitab paling utama, dan agama Nasrani sebagai agama yang paling benar, serta mengingkari Nabi Muhammad dan al-Quran. Kemudian turunlah ayat ini sebagai jawaban atas perkataan, pengakuan dan ajakan mereka dan menyatakan bahwa agama Nabi Ibrahim yang hanîf lah yang benar dan mereka agar mengikuti agama Nabi Ibrahim yang hanîf serta tidak melakukan kemusyrikan.[1]
Dalam riwayat lain dijelaskan, Muhammad ibnu Ishâq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abû Muhammad, telah menceritakan kepadaku Sa’îd ibnu Jubair atau Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbâs yang mengatakan bahwa Abdullah ibnu Suria al-Anwâr pernah berkata kepada Rasulullah saw, “Tiadalah petunjuk itu melainkan agama yang kami peluk. Maka ikutlah kami, hai Muhammad, niscaya kamu mendapat petunjuk.” Dan orang-orang Nasrani mengatakan hal yang serupa, maka Allah menurunkan ayat ini.[2] Allah menyuruh Nabi Muhammad untuk kembali pada millah Ibrahim yang hanîf, yakni sebuah keberagamaan yang terbebas dari sikap kemusyrikan.
Kata millah di sini dimaknai sebagai “sebuah sistem” keberagamaan yang menghimpun sistem keberagamaan para nabi yang dimulai dari kenabian Ibrahim. Mengapa Ibrahim? Pada surah al-An’âm ayat 75-78 Allah memberitahukan bahwa Ibrahim merupakan nabi yang beriman kepada Allah dengan pertimbangan rasional melalui observasi empiris. Pembuktian demi pembuktian dilakukan oleh Ibrahim, dan selanjutnya Ibrahim membenarkan keyakinannya bahwa rabb alam semesta bukanlah benda, melainkan Zat yang menciptakan dari semula sesuai “desain asali” (fathara), dan Ibrahim menyatakan bahwa dia “hanya” menghadapkan wajahnya (maksudnya tunduk, patuh, dan loyal) kepada Allah semata dan membebaskan diri dari kemusyrikan. Dalam konteks inilah Nabi Muhammad saw disuruh oleh Allah untuk mengikuti millah Ibrahim yang hanîf.
Millah adalah syariat Allah kepada hamba-Nya melalui para nabi agar dapat mendekatkan diri kepada Tuhan. Pada dasarnya, millah sama artinya dengan dîn, tetapi antara keduanya dapat dibedakan. Millah tidak pernah dirangkaikan dengan dengan kata selain nama Nabi yang membawa syariat, seperti millata Ibrahîm dalam ayat ini atau millata abâ’î Ibrâhîma wa Ishâqa wa Ya’qûb dalam firman Allah berikut ini:
وَاتَّبَعْتُ مِلَّةَ آبَائِي إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ ۚ مَا كَانَ لَنَا أَن نُّشْرِكَ بِاللَّهِ مِن شَيْءٍ ۚ ذَٰلِكَ مِن فَضْلِ اللَّهِ عَلَيْنَا وَعَلَى النَّاسِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ
Dan aku pengikut agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya’qub. Tiadalah patut bagi kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah. Yang demikian itu adalah dari karunia Allah kepada kami dan kepada manusia (seluruhnya); tetapi kebanyakan manusia tidak mensyukuri (Nya). (Q.S. Yusuf [12]: 38).
Kata millah tidak pernah dirangkaikan dengan Allah atau umat Nabi, sedangkan kata dîn bisa dirangkaikan dengan kata Allah (dînillâh) atau selainnya (dînil haqq, dînukum, dînihî, dînî)[3]. Hal ini memberi pengertian bahwa konsep millah merupakan bentuk dari pola keberagamaan dari individu atau umat tertentu. Dengan demikian, ketika kata millah dirangkaikan dengan tradisi Ibrahim yang hanîf, maka kata millah menjadi sebuah pola keberagamaan yang azali yakni islâm, dan sikap islâm ini menjadi nama agama setelah seluruh kenabian ditutup oleh Nabi Muhammad. Pengertian ini jelas sangat bertentangan dengan millah Yahudi atau millah Nasrani, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Baqarah ayat 120. Konsep millah Ibrahim merupakan pengungkapan Allah untuk sebuah sistem keberagamaan yang otentik (ür-religion, agama azali), yakni sebuah penghambaan total (ibadah) hanya kepada Allah sebagai Tuhan semesta alam yang tunggal (tauhid) dengan pola penghambaan tertentu sesuai dengan konteks zaman ketika para nabi diutus. Bertentangan dengan konsep tersebut, millah Yahudi dan Nasrani telah terjebak pada kemusyrikan, dan cenderung pada angan-angan saja (Q.S. al-Baqarah [2]: 111).
Unsur-unsur otentisitas millah sebagai keberagamaan otentik dapat dilihat dari pola keberagamaan di dalamnya, yakni didasarkan pada wahyu dari Allah yang diturunkan kepada para nabi yang berisi ketauhidan dan sistem peribadatan yang mukhlish yang jauh dari kemusyrikan. Inilah sebuah sistem keberagamaan yang dikenal dengan istilah dîn al-hanîf, dîn al-haqq, dîn al-fithrah. Islam yang merupakan millah Ibrahim adalah dîn al-hanîf sebagaimana tersebut dalam surah Yusuf ayat 38. Millah (agama otentik, ür-religion)[4] sebagai dîn al-Haqq selalu dihadapkan atau dipertentangkan dengan seluruh dîn lainnya yang telah terjebak pada kemusyrikan. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam Q.S. al-Fath [48]: 28 dan al-Taubah [9]: 33, sebagai berikut:
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai. (Q.S. al-Fath [48]: 28)
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا
Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi. (Q.S. al-Taubah [9]: 33)
Penjelasan di atas menegaskan bahwa millah Ibrahim merupakan bentuk dari agama otentik, sedangkan dîn merupakan nama dari keberagamaan, sehingga tidak selalu mengacu pada cara beragama yang sesuai dengan risalah para nabi. Dengan demikian, istilah dîn terbagi menjadi dua, yakni dîn yang haq dan dîn yang telah tercampur dengan kemusyrikan. Dalam konteks ini, agama para nabi (millah Ibrâhîm, dîn al-haq) harus dimenangkan atas dîn yang ada dan yang hidup berkembang mengiringi dîn al-haq.
Karakter utama dari dîn al-haq (millah Ibrâhîm) adalah hanîf, yang berarti lurus atau condong yaitu condong kepada kebenaran bukan condong pada kesesatan. Dalam al-Quran kata hanîf disebutkan pada surah an-Nahl (16): 120 dan Ali Imran [3]: 67, sedangan jamaknya hunafa’ sebagaimana disebutkan dalam surah al-Hajj [22]: 30-31. Sebutan orang yang kakinya bengkok adalah ahnaf. Orang jahiliyah menyebut orang yang melakukan haji atau khitan sebagai hanif, artinya orang yang condong kepada ajaran Nabi Ibrahim. Kata hanîf ini biasa disifatkan kepada Nabi Ibrahim. Yang dimaksud dengan lurus di sini adalah sifat Nabi Ibrahim yang lurus menuju Allah, atau condong hanya mengikuti yang lurus menuju Allah, tidak membelok kepada yang lain, jauh dari kemusyrikan dan kesesatan.[5]
Agama yang hanif’ ialah agama yang lurus, mengajarkan tauhid, mengakui keesaan dan kekuasaan Allah, agama yang mencapai jalan yang benar, jalan kebahagiaan dunia dan akhirat. Itulah agama nabi Ibrahim. Firman Allah dalam Q.S. al-Hajj [22]: 26.
وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَن لَّا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
Dan (ingatlah), ketika kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumahKu Ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud.( Q.S. al-Hajj [22]: 26)
Orang-orang yang mengikuti Nabi Ibrahim disebut dengan “muslim”, dan tradisi Nabi Ibrahim ini kemudian ditetapkan oleh Allah untuk diikuti oleh Nabi Muhammad saw (Q.S. al-Hajj [22]: 78). Disebut ‘kaum muslimin mengikuti agama Ibrahim yang hanîf’ karena prinsip dasar keyakinan kaum muslimin adalah sama dengan agama Ibrahim yang hanif, yakni bertauhid mengesakan Allah dan tidak mensekutukan-Nya dengan apapun. Hal itu juga untuk menyadarkan orang orang Yahudi dan Nasrani yang menyatakan diri sebagai penerus dari keberagamaan nabi Ibrahim, padahal mereka telah menyimpang dan tidak lagi mengikuti keyakinan dan ajaran nabi Ibrahim.
Dengan memperhatikan seluruh “tradisi keagamaan” para nabi yang mengikuti millah Ibrahim yang hanîf, maka seluruh nabi pada hakikatnya adalah “muslim” dan para pengikutnya pun juga “muslim”. Namun, secara istilah kata islâm belum menjadi nama sebuah agama (proper name), sehingga masih berupa “tradisi keagamaan” yang hanîf. Tradisi inilah yang merupakan tradisi kenabian, yakni ketauhidan yang lurus.
Kemudian ayat 136, merupakan penegasan dari Allah kepada Rasulullah dan umatnya untuk memantapkan keimanan hanya kepada Allah semata. Dasar keimanan ini merupakan “tradisi” para nabi, dan Allah tidak pernah membeda-bedakan substansi keimanan yang berupa ketauhidan dan loyalitas tunggal hanya kepada Allah semata. Inilah sikap yang disebut dengan islâm, sementara nabi-nabi dan umatnya disebut dengan muslim.
Kata asbâth ialah anak cucu Nabi Yakub yaitu keturunan dari anak-anaknya yang dua belas orang. Mereka dinamakan asbâth yang diambil dari sibth artinya berturut-turut (bertumpuk-tumpuk), maka mereka merupakan sebuah jamaah yang besar yang berasal dari satu keturunan. Menurut pendapat lain, bentuk asalnya adalah sabath yang artinya pohon. Karena jumlah mereka yang banyak, maka keadaan mereka diserupakan dengan pohon (yang banyak cabangnya); bentuk tunggalnya adalah sabathah.[6]
Adapun yang dimaksudkan dengan “beriman kepada nabi-nabi” sebagaimana disebut di atas ialah beriman kepada nabi Allah, yang telah diperintahkan kepada umat pada masanya beriman kepada Allah. Prinsip-prinsip pokok agama yang dibawa oleh nabi adalah sama, yaitu ketauhidan. Kalimat wa nahnu lahû muslimûn (وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ), yang artinya “dan kami berserah diri kepada-Nya (Allah)”, merupakan penegasan akan tradisi kenabian seperti ini. Kalimat ini merupakan sindiran tajam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah jatuh pada kemusyrikan.
Secara kesejarahan, agama Yahudi dan Nasrani yang terjebak pada kemusyrikan merupakan bentuk “penyimpangan” dari ajaran nabi-nabi mereka dan dijadikan sebagai bangunan agama tersendiri yang berada di luar tradisi kenabian. Sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan sebelumnya, tradisi Yahudi yang dihadapi Rasulullah bukan dari Nabi Musa, apalagi Ibrahim, demikian pula tradisi Nasrani bukan dari Nabi Isa. Yahudi menjadi nama sebuah agama (proper name) baru kira-kira tahun 538 SM. Nama Yahudi (Judaism) digunakan oleh orang-orang Persia pimpinan Kisra Cyrus untuk menamai tradisi orang-orang Kerajaan Judea/Yudah/Yahuda dalam menjalankan agama.[7] Nabi Musa hidup kira-kira 1200an SM.
Sementara itu, tradisi Nasrani baru secara resmi dibakukan dalam Konsili Nicea I (sidang agung uskup-uskup sedunia) tahun 325 M. Dalam konsili ini ditetapkan sistem ketuhanan Trinitas. Dasar-dasar keimanan Nasrani ini bukan dari ajaran ‘Isa, tetapi dari para pengikutnya. Dengan demikian, klaim orang-orang Yahudi dan Nasrani bahwa mereka mengikuti millah Ibrahim jelas tidak ada dasarnya (QS. Âli ‘Imran [3]: 67); dan klaim bahwa Ibrahim dan semua anak cucunya beragama Yahudi dan Nasrani juga tidak ada dasar sejarahnya (QS. al-Baqarah [2]: 140).
Oleh karena itu, di dalam ayat 137 ini, Allah menegaskan bahwa jika orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mengimani apa yang diimani oleh Rasulullah, yakni keimanan tauhid dan diterjemahkan ke dalam tindakan nyata, maka mereka telah mendapatkan petunjuk. Namun, jika mereka tetap menolak sistem keimanan tauhid sebagaimana para nabi, maka mereka memposisikan diri “berhadapan-bermusuhan” dengan orang beriman.
Meskipun sikap dasar orang mukmin adalah percaya kepada kitab yang diturunkan kepada Nabi Musa berupa Taurat dan Nabi Isa berupa Injil, tetapi Nabi berpesan agar berhati hati tidak langsung percaya dan juga tidak langsung menyanggahnya, tetapi dengan menelitinya terlebih dahulu. Rasulullah saw bersabda,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ كَانَ أَهْلُ الْكِتَابِ يَقْرَؤُونَ التَّوْرَاةَ بِالْعِبْرَانِيَّةِ وَيُفَسِّرُونَهَا بِالْعَرَبِيَّةِ لأَهْلِ الإِسْلاَمِ ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : لاَ تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ ، وَلاَ تُكَذِّبُوهُمْ وَقُولُوا )آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ( الآيَةَ.
Abu Hurairah berkata, ada seorang ahli Kitab membacakan kitab Taurat dengan bahasa Ibrani lalu menfsirkannya dengan bahasa Arab untuk kaum Muslimin, lalu Rasulullah bersabda, “Janganlah engkau percayai orang ahli kitab itu, tetapi juga jangan engkau dustakan, tetapi katakan “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami … dan seterusnya ayat 136 surat al-Baqarah”. (HR Imam Bukhari).
Orang orang Yahudi dan Nasrani akan senantiasa membujuk kaum muslimin untuk mengikuti mereka. Menurut Quraish Shihab, ‘menjadi Yahudi atau Nasrani’ tidak harus dalam arti menganut agama mereka, tetapi cukup menganut pandangan hidup atau mengikuti cara-cara kehidupan mereka, dalam bidang ekonomi, sosial budaya dan sebagainya. Walaupun orang Yahudi dan Nasrani tidak mengajak pihak lain untuk memeluk agamanya, tetapi ajakan untuk mengikuti cara hidup mereka sungguh amat jelas. Rasulullah bersabda:
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ ». قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ « فَمَنْ ».
Abu Sa’id al-Khudriy berkata, Rasulullah saw bersabda, “Kamu akan mengikuti jalan hidup orang orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai jika mereka masuk ke lubang biawak, kalianpun ikut masuk”. Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang Yahudi dan Nasrani?”. Nabi menjawab, “Siapa lagi (kalau bukan mereka)?”. (HR Bukhari dan Muslim).
Karena sedemikian besar “rasa permusuhan” yang berasal dari Yahudi dan Nasrani kepada orang beriman, maka di penghujung ayat ini Allah menyatakan “fa sayakfîkahumullâh” (فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ) yang artinya “maka Allah akan memelihara kamu semua dari mereka”, memberi penegasan kembali bahwa millah Ibrahim selalu berawal dari Allah dan berakhir dari Allah pula. Maka, sebagai agama otentik, millah Ibrahim memberikan orientasi amalan dan tindakan yang akan dilakukan oleh manusia harus mengacu pada prinsip bahwa Allah Maha Kuasa dan Maha Mengetahui.
Pola-pola ketundukan seperti yang telah ditunjukkan oleh konsep millah Ibrahim ini disebut oleh Allah sebagai celupan Allah (صِبْغَةَ اللَّهِ). Artinya, kedekatan manusia kepada Allah dalam menjalankan aktifitas sehari-hari yang merupakan bentuk ketundukan (islâm) manusia merupakan “pewarnaan dan peresapan” nilai-nilai tauhid ke dalam perilaku. Istilah teknis shibghah (celupan) menggambarkan bagaimana warna kain yang putih ketika dicelupkan ke dalam warna-warna tertentu, maka kain tersebut akan berwarna seperti warna yang digunakan untuk mencelupkannya. Oleh karena itu, ungkapan shibghatallâh (صِبْغَةَ اللَّهِ) yang artinya “celupan Allah” merupakan bentuk “determinasi nilai” yang paling asasi dari masyarakat manusia.
Menurut Ibn ‘Abbas, yang dimaksud sibghatullah adalah din Allah (agama Allah), disebut sibghah (celupan) karena nilai-nilai ajaran agama nampak membekas pada orang yang menjalankan agama tersebut, sebagaimana warna celupan nampak membekas pada kain yang dicelup. Adapun menurut Mujahid, yang dimaksud celupan Allah adalah fitrah Allah atau kemurnian Allah yang telah difitrahkan manusia atasnya. Dengan kata lain, shibghatullah maksudnya ialah keimanan kepada Allah dengan sepenuhnya yang tidak disertai dengan kemusyrikan dan dilaksanakan secara konsisten sehingga nilai-nilai ajaran agama nampak terlihat dalam pola pikir, perkataan, perilaku dan tindak tanduknya sehari hari. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah dalam Q.S. al-Rûm [30] ayat 30, yakni:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Dalam ayat tersebut din al-hanîf disebut dengan fitrah Allah, maksudnya adalah ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia yang tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka yang tidak beragama tauhid lebih disebabkan karena pengaruh lingkungan.
Dalam istilah Sosiologi, istilah shibghah ini dimaknai sebagai sacred canopy (langit suci) – memakai istilah yang digunakan oleh Peter L. Berger, yakni sistem yang mendeterminasi perilaku manusia.[8] Karena manusia dinaungi dan diresapi oleh “warna-warna ilahiyah” maka manusia yang berada dalam naungan itu hanya patuh dan tunduk pada “pewarnaan dan celupan” dari Allah. Lafal wa man ahsanu minallâhi shibghatan (وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّه صِبْغَةً) yang artinya “dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah?” menegaskan bahwa celupan yang paling bagus adalah celupan fitrah Allah (tauhid). Qatadah menyebutkan bahwa, “Orang Yahudi mencelup anak- anaknya dengan celupan keyahudian. Orang orang Nasrani pun mencelup anak anaknya dengan celupan kenasranian, tetapi sesungguhnya celupan yang asli dari Allah adalah Islam. Tidak ada celupan yang lebih bagus dan lebih bersih daripada celupan Islam”. Di dalam Islam, anak lahir ke dunia dalam keadaan suci, tidak ada dosa dan bersih (fithrah). Setelah berada di lingkungan orang tua dan masyarakatnya, barulah anak itu mempunyai warna yang tidak asli. Berkaitan dengan hal itu, Nabi Muhammad bersabda,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ.
Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda, “Setiap bayi yang dilahirkan (ke dunia ini) berada dalam keadaan kesucian (fitrah), Kedua orang tuanya akan membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi, sebagaimana hewan dilahirkan dari hewan. Apakah engkau melihat kejanggalan? (H.R. Bukhari).
Oleh sebab itu, maka hendaklah pendidikan orang tua memelihara dan menumbuhkan kemurnian anak itu di dalam hidupnya, agar tidak terlepas dari beribadah kepada Allah. Pada penghujung ayat 138, Allah menegaskan bahwa sikap manusia sebagaimana disebutkan di atas sebagai bentuk penghambaan yang diungkapkan dengan istilah wa nahnu lahû ‘âbidûn (وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ) yang artinya “dan hanya kepada-Nya lah kami mengabdi”. Kata ’âbidun (mengabdi) harus dimaknai secara sosiologis, yakni seluruh aktifitas manusia sehari-hari, bahkan yang terkecil sekalipun, bukan hanya dalam pengertian ibadah mahdhah saja.
Dengan demikian, millah Ibrahim merupakan sistem keagamaan yang otentik, yang asali dari Allah, bukan ciptaan manusia, sehingga melahirkan perilaku yang otentik pula, yakni humanis, samhah, dan tasâmuh. Perilaku otentik itu merupakan inti dari kedamaian (islâm, salâm). Sikap keberagamaan seperti ini berbeda dengan sikap keberagamaan yang formalistik dan ritualistik sebagaimana dalam sebagian besar tradisi Yahudi dan Nasrani.
[1] Al-Wahidi, Asbâb an-Nuzûl, (Kairo, Dâr al-Hadits, 1998), hlm. 41.
[2]Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, (Bairut, Dar al-Ma’rifah, 1986), jilid I, hlm 192.
[3]Al-Raghîb al-Ashfahâni, Mufradât Alfâzh al-Qur’ân (Beirut, Dâr asy-Syâmiyyah, 1997), hlm. 491-492.
[4]Ismâ’îl Raji’ al-Fârûqî, “Islam and Other Faiths”, dalam Altaf Gauhar, The Challenge of Islam (London: Islamic Council of Europe, 1978), hlm. 82-111.
[5]Al-Raghîb al-Ashfahâni, Mufradât Alfâzh al-Qur’ân (Beirut, Dâr asy-Syâmiyyah, 1997), hlm 260.
[6]Ibid, hlm. 394.
[7]Ahmad Shalaby, al-Muqâranah al-Adyân, juz. 1: al-Yahûdiyah, cet. Ke-12 (Cairo: Maktabah al-Nahdlah al-`Arâbiyah, 1997), hlm. 60.
[8]Baca selengkapnya dalam Peter L. Berger, Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial, terj. Hartono (Jakarta: LP3ES, 1994).
Tafsir Tahlily ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan naskah awal disusun oleh DR Agung Danarto, DR Ustadi Hamsah dan Aly Aulia, Lc., M.Hum
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 4-6 Tahun 2015