Oleh: Mu’arif
Muhammadiyah pernah menjadi ‘payung besar’ yang menaungi ideologi-ideologi pergerakan nasional. Mulai dari ideologi Islamisme, Nasionalisme, hingga Marxisme pernah menyala di dalam tungku Persyarikatan Muhammadiyah. Salah seorang tokoh yang pernah dibesarkan ideologi Marxisme yang kemudian berkdhidmat kepada Muhammadiyah adalah Drijowongso, sekretaris Bagian PKO.
Sebelum bergabung dengan Muhammadiyah (1923), Drijowongso adalah aktivis kaum buruh dari Porong, Sidoarjo. Bekerja berpindah-pindah tempat sebagai tenaga buruh di perkebunan tebu, perusahaan kereta api, hingga pabrik gula. Ia menjadi aktor penggerak aksi-aksi demostrasi dan pemogokan. Sepak terjangnya selalu dalam intaian tantara kolonial. Beberapa kali masuk bui namun tidak membuatnya jera menyuarakan keadilan bagi kaum buruh.
Ketika mendekam di tahanan di Semarang, ia didekati oleh para aktivis Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV). Ketika dipindah ke penjara di Magelang, ia mendengar kiprah sosok kiai kharismatik dari Yogyakarta yang memiliki pandangan cukup maju pada waktu itu. Dialah K.H. Ahmad Dahlan, President Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah, yang kebetulan mengajar di OSVIA Magelang.
Sebelumnya, sosok Drijowongso hanya seorang buruh tani yang miskin asal Jawa Timur. Menikah dengan Marakati, Drijowongso dikaruniai seorang anak. Hingga kini, nama anaknya belum diketahui. Namun, sang istri yang bernama Marakati Drijowongso dapat diketahui perannya dalam sejarah pergerakan nasional ketika menghadiri Kongres Perempuan Pertama di Yogyakarta (1928).
Dari Porong, Sidoarjo, Drijowongso mengadu peruntungan nasib menjadi buruh tani tebu di Klaten. Anak dan istrinya dititipkan kepada Drijosastro, saudaranya yang tinggal di Porong. Terbakar semangat oleh bujukan Haji Misbach, para buruh tani tebu di Klaten berontak. Mereka melakukan pemogokan massal pada sekitar tahun 1921. Drijowongso termasuk salah satu aktor di balik aksi pemogokan buruh tersebut. Buruh tani asal Porong itu kemudian oleh tentara kolonial dijebloskan ke dalam penjara Semarang yang kemudian dipindah ke Magelang selama satu setengah tahun.
Betapa sedih Drijowongso selama di penjara. Anak dan istrinya tidak mendapat kiriman uang untuk membiayai hidup di kampung. Dalam keheningan di penjara, ia teringat pada sosok ulama modernis yang sangat murah hati. Teringat dalam pikirannya sebuah organisasi yang telah didirikan oleh ulama tersebut: Muhammadiyah.
Tampaknya, kemunculan sosok ulama modernis dari Kauman, Yogyakarta, sudah santer beredar di daerah Magelang. Bahkan, ulama tersebut juga mengajar di salah satu sekolah kolonial ternama di kota ini (OSVIA). Pandangan keagamaannya dinilai sangat maju. Apalagi, lahirnya gerakan Islam modern yang digagas oleh ulama modernis tersebut bertujuan untuk memajukan kaum pribumi. Drijowongso pun tertarik. Ia mengajukan surat permohonan kepada HB Muhammadiyah supaya berkenan menghidupi anak istrinya yang berada di Porong.
Surat Drijowongso langsung direspon oleh HB Muhammadiyah. Setelah openbare vergadering Sarekat Islam di Kediri dan mengunjungi salah satu sekolah Muhammadiyah di Kepanjen, tanggal 20 November 1921, K.H. Ahmad Dahlan, Haji Fachrodin, dan Siti Mundjiyah berangkat ke Jawa Timur untuk menjemput anak dan istri Drijowongso. (Soewara Moehammadijah nomor 1/ Th. IV/1922 menjadi sumber primer yang mengungkap siapa sebenarnya sosok Drijowongso).
Satu setengah tahun sudah lewat, Drijowongso baru saja keluar dari penjara di Magelang. Ia langsung menuju ke Yogyakarta, bermaksud menemui anak dan istrinya. Alangkah kagetnya dia sewaktu menemui anak dan istrinya. Sebelum dididik dan dibina oleh HB Muhammadiyah, anaknya masih kecil dan lugu. Kini, sang anak telah tumbuh besar, berpenampilan rapih, dan terdidik.
Sang anak menyambut ayahnya dengan hormat lagi santun. Tutur katanya sangat sopan, berbeda jauh kondisinya ketika masih hidup di Porong. Begitu juga istri Drijowongso, lebih kelihatan rapih penampilannya, dan sangat sopan perilakunya. Anak dan istri Drijowongso seolah-olah pernah mengenyam pendidikan formal karena mereka memiliki wawasan yang luas, bahkan pengetahuan keagamaan yang memadai.
Batin Drijowongso tersentuh. Ia merasa berhutang budi kepada Muhammadiyah. Pada hari itu juga, ia bertekad untuk terlibat aktif di Muhammadiyah. Pada waktu itu pula, HB Muhammadiyah sedang menggelar Rapat Tahunan (1923) bertempat di rumah R. Wedana Djajengprakosa. Sekretaris HB Muhammadiyah menerima Drijowongso yang bermaksud mengabdi di Muhammadiyah.
Dalam notulen “Peringatan Perkoempoelan Tahoenan Moehammadijah 30 Maart- 2 April 1923 di Jogjakarta,” Ng. Djojosoegito menulis, “S. Drijowongso, jang baroe pada siangnnja hari itoe keloear dari pendjara di Magelang sebab dihoekoem 1 1 /2 tahoen karena perka ra pergerakan, berpidato keadaan dirinja. Kemoedian dimoeka orang ramai ini melahirkan terima kasihnja kepada perserikatan Moehammadijah, karena soedah memeliharakan anak bininja selama dia didalam pendjara 1 1 /2 tahoen itoe. Tiada henti dipeliharakan makan dan pakaiannja sahadja, tetapi djoega dipeliharakan pengadjarannja. Sekarang ia keloear dari pendjara ketemoe dengan istrinja jang soedah beroebah sifatnja, ja’ni jang dahoeloenja tida mempoenjai kepandaian sekarang soedah mempoenjai kepandaian, teroetama kepandaian perkara agama. Inilah sesoenggoehnja terlebih perloe, jang selama mendjadi istrinja dia tiada tjakap mengadjar, sebab memang dia sendiri beloem mempoenjai pengertian akan hal itoe.”
Di hadapan para peserta sidang, Drijowongso mengucapkan banyak terima kasih kepada Muhammadiyah. Tanpa ragu, ia menyatakan siap mengabdi di Muhammadiyah. Dia pun dipilih sebagai Sekretaris Bagian PKO, mendampingi Kiai Syuja’. Sejak saat itulah, perlahan-lahan, nama Drijowongso mulai dikenal di kalangan Muhammadiyah. Spirit revolusioner tafsir Al-Maun yang menjadi landasan teologis gerakan PKO rupanya mampu menggetarkan hatinya.
Jika sebelumnya Drijowongso mengenal gagasan-gagasan revolusioner lewat pemikiran-pemikiran Sosialisme-Marxis (gerakan kaum buruh kiri), setelah bergaung dengan Muhammadiyah ia menemukan spirit yang sama namun berhaluan religius. Selain mengurus administrasi Bagian PKO, Drijowongso juga aktif menggalang dana untuk membangun rumah miskin dan balai pengobatan yang diperuntukkan bagi para dlu’afa pribumi. Drijowongso juga tercatat sebagai redaksi majalah Suara Muhammadiyah 1925-1926-an.
Sedangkan istri Drijowongso, yakni Marakati, setelah mendapat bantuan, bimbingan, dan pengajaran dari HB Muhammadiyah, ia menjadi wanita terdidik. Mengikuti jejak suaminya, ia pun terjun ke medan pergerakan kaum perempuan pribumi. Marakati Drijowongso aktif di Perempuan Partai Sarekat Islam yang mewakili organisasinya dalam Kongres Perempuan Pertama tahun 1928 di Mataram (Yogyakarta). Susan Blackburn (2007) mencatat peran Marakati Drijowongso sebagai utusan organisasi perempuan yang menjadi organisasi sayap Partai Sarekat Islam. Ia bersama Nyonya Soekonto (utusan Wanito Oetomo) adalah dua orang perempuan yang menjadi peserta Kongres Perempuan Pertama dengan latar belakang pendidikan non formal.
Mu’arif, Pengkaji sejarah Muhammadiyah-Aisyiyah
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 1 Tahun 2019