Prof Dr Haedar Nashir, MSi
George W Bush pernah melontarkan kata-kata “crusade” usai dua menara kembar World Trade Center dibom teroris pada 11 September 2001. Diksi tentang “perang salib” tersebut meluap begitu emosional atas tindakan yang tak disangka terjadi di jantung kota dunia itu. Boleh jadi kata-kata kontroversial itu merupakan pantulan bawah sadar Presiden Amerika Serikat itu, yang oleh Tariq Ali disebut sosok “imperial fundamentalist”, yang memperoleh momentum untuk meledak. Kalangan Muslim sedunia sontak mengutuk tragedi yang membuat Islam menjadi tertuduh dan kambing hitam, sembari mengeritik ucapan orang nomor satu di negeri Paman Sam itu.
Namun selalu ada hikmah di balik peristiwa. Pasca tragedi September Eleven itu tidak sedikit kalangan nonmuslim di Barat (kawasan Amerika Utara dan benua Biru Eropa) justru penasaran dan ingin mengetahui tentang Islam. Kini bahkan tumbuh “revolusi damai” (silent revolution) di kalangan masyarakat Barat untuk lebih menerima Islam.
Dari hari ke hari banyak kaum muda dan intelektual yang gigih mencari jalan spiritual dan menemukan Islam. Masjid-masjid berdiri di sejumlah negara Eropa dan Amerika Utara. Tidak jarang datang pengunjung nonmuslim yang mendatangi rumah ibadah kaum muslim itu untuk bertanya tentang masjid dan Islam. Babak baru relasi Islam dan Barat telah dimulai menuju masa depan yang insya Allah cerah.
Islam di Barat
Paradigma lama selama ini masih menyisakan pandangan negatif tentang hubungan Islam dan Barat. Bahwa Barat memusuhi Islam, begitu sebaliknya. Masih terdapat sebagian kalangan masyarakat atau negara Barat yang bersikap buruk terhadap Islam. Islam dipandang sebagai sumber kekerasan, terorisme, dan ancaman. Sementara kalangan Muslimin memandang Barat sebagai sumber masalah dan tukang intervensi politik yang melemahkan dunia Islam. Dari relasi Islam versus Barat tersebut lahir ketegangan dan konflik, yang disebut Huntington secara agak gegabah disebut benturan antarperadaban (the clash of civilizations).
Tiga kecenderungan sikap terhadap Barat tumbuh di kalangam muslim saat ini. Pertama kalangan Islam yang cenderung menutup diri karena ingin hidup puritan di tengah dunia Barat yang dipandang sumber demoralisasi kehidupan. Kelompok ini serba anti-Barat, yang dipandang serba buruk dan musuh Islam. Kelompok kedua yang serba pro-Barat, seolah Barat tanpa cacat dan masalah, sehingga cenderung terjebak menjadi kelompok yang terbaratkan (westernized). Ketiga, pihak moderat, yang melihat Barat dalam dua sisi, yaitu sisi positif dan negatif yang perlu kritik dan selektif.
Namun seiring dengan berbagai ikhtiar dari kedua belah pihak, termasuk melalui berbagai kekuatan nonnegara seperti kelompok-kelompok lintas agama, makin mengalir proses saling memahami dan dialog antara Islam dan Barat. Lambat laut ketegangan, konflik, dan salah paham antara keduanya mulai terminimalisasi.
Kendati masih dijumpai masalah dan kasus yang muncul, tampaknya relasi antara Islam dan Barat makin memberi harapan baru bagi dialog, perdamaian, dan kerjasama demi membangun tatanan global bersama yang saling menguntungkan untuk membangun peradaban ke depan. Islam dan Barat masuk pada fase baru saling memahami dan dialog yang lebih terdewasakan.
Bagi kalangan Islam juga tumbuh harapan baru tentang nasib Islam di Barat. Bahwa masyarakat Barat pun terbuka pada kehadiran Islam dan umat Islam.
Sebuah lembaga survei internasional The Few Forum, memaparkan catatan dan prediksi yang menarik. Bahwa pasca tahun 2030 penduduk Islam akan menempati posisi kesatu. Jika kini 22% Muslim dan 33% Kristen-Katholik, ke depan posisi pemeluk Islam akan menjadi nomor pertama. Perkembangan demografis dan sosiologis Islam di Barat tersebut tentu melahirkan perubahan sikap umat Islam terhadap Barat.
Kini bahkan tumbuh sikap akomodatif dan ikhtiar untuk integrasi antara Islam dan Barat. Tarriq Ramadan, cendekiawan Muslim cucu Hasan Al-Bana yang menetap di Swiss, menawarkan jalan akomodasi dan integrasi itu. Menurut Tariq, diperlukan perubahan paradigma Islam terhadap dunia Barat, bukan lagi dikhotomi Islam and the West, tetapi Islam in The West, bahkan “The Western Muslims” (Muslim Barat). Hal itu penting dan menguntungkan bagi Islam maupun Barat.
Bagi Tarik, bahwa kaum Muslim Perancis, Inggris, Jerman, Kanada, atau Amerika, kini sedang berjuang membangun “kepribadian Muslim”. Di belahan lain juga sedang membentuk “Islam Amerika” dan seterusnya. Mereka berupaya tetap setia pada prinsip-prinsip Islam sekaligus hadir dengan budaya Amerika-Eropa. Menjadi Muslim sekaligus tetap memiliki kepribadian dan budaya Barat, tidak harus menjadi muslim Timur Tengah.
Tariq juga mengupas “Beyond Islamism” berisi kritik terhadap kecenderungan gerakan Islam di beberapa negara, termasuk Turki, Mesir, dan Tunisia. Bahwa Gerakan Islam politik (Islamis) selama ini memang mampu menarik dukungan populer di pentas demokrasi, tetapi gagal mengelolanya dengan baik dan beberapa berujung pada konflik yang lebih besar.
Menurut Tariq, penting dilakukan pembaharuan dalam paradigma gerakan Islam saat ini, tidak hanya bergerak di wilayah politik kekuasaan, tetapi juga dalam gerakan politik pengetahuan dan kebudayaan. Dalam konteks kebudayaan modern yang membuana, Tariq menawarkan Islam sebagai al-badil al-tsaqafy, suatu format peradaban alternatif.
Islam Kosmopolitan
Baik dalam konteks relasi dengan Barat maupun kawasan dunia lainnya, kini seiring dengan perkembangan globalisasi maka umat Islam dan negara-negara Muslim secara niscaya harus terlibat dalam mengambil peran global itu. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam pembaru dan dikenal reformis atau modernis juga tidak dapat menghindar dari pergaulan antarbangsa yang mendunia itu.
Keadaan dan perkembangan hidup umat manusia yang mendunia dan nyaris tanpa sekat-sekat negara, bangsa, dan relasi konvensional itu menuntut pandangan keislaman yang memiliki corak membuana, yang dikenal sebagai pandangan Islam kosmopolitan. Muhammadiyah dalam Mukatamar ke-46 tahun 2010 di Yogyakarta bahkan merumuskan pandangan “kosmopolitanisme Islam” sebagaimana tekandung dalam “Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua”.
Dalam Pernyataan Pikiran Muhammadiyah tersebut dinyatakan, bahwa dalam menghadapi perkembangan kemanusiaan universal Muhammadiyah mengembangkan wawasan keislaman yang bersifat kosmopilitan. Kosmopolitanisme merupakan kesadaran tentang kesatuan masyarakat seluruh dunia dan umat manusia yang melampaui sekat-sekat etnik, golongan, kebangsaan, dan agama. Kosmopolitanisme secara moral mengimplikasikan adanya rasa solidaritas kemanusiaan universal dan rasa tanggungjawab universal kepada sesama manusia tanpa memandang perbedaan dan pemisahan jarak yang bersifat primordial dan konvensional.
Muhammadiyah memiliki akar sejarah kosmopolitan yang cukup kuat. Secara sosio-historis, Muhammadiyah lahir di era kolonialisme dengan interaksi antar-bangsa baik pribumi, Eropa, Cina, dan Arab, yang membentuk persatuan nasional.
Para perintis Muhammadiyah generasi awal memiliki wawasan dan pergaulan budaya yang bersifat kosmopolit yang berinteraksi dengan orang-orang asing dari Eropa, Turki, Arab, Cina, India, dan lain-lain. Secara intelektual pendiri dan tokoh Muhammadiyah berinteraksi dengan pikiran-pikiran maju dari Timur Tengah dan Barat, yang membentuk dan memperluas cakrawala kosmopolitan. Secara ideologis Muhammadiyah merupakan gerakan Islam modernis yang banyak mengadopsi perangkat, metode, dan unsur-unsur modernisme Barat sebagai embrio sikap kosmopolitan tanpa terjebak pada pembaratan.
Kosmopolitanisme Islam yang dikembangkan Muhammadiyah dapat menjadi jembatan bagi kepentingan pengembangan dialog Islam dan Barat serta dialog antar peradaban. Dalam perspektif baru konflik antar peradaban merupakan pandangan yang kadaluwarsa dan dapat menjadi pemicu benturan yang sesungguhnya. Tatanan dunia baru memerlukan dialog, kerjasama, aliansi, dan koeksistensi antar peradaban. Dalam kaitan relasi antar peradaban dan perkembangan kemanusiaan universal saat ini sungguh diperlukan global ethic (etika global) dan global wisdom (kearifan global) yang dapat membimbing, mengarahkan, dan memimpin dunia menuju peradaban yang lebih tercerahkan.
Bersamaan dengan itu Muhammadiyah memandang bahwa peradaban global dituntut untuk terus berdialog dengan kebudayaan-kebudayaan setempat agar peradaban umat manusia semesta tidak terjebak pada kolonisasi budaya sebagaimana pernah terjadi dalam sejarah kolonialisme masa lampau yang menyengsarakan kehidupan bangsa-bangsa. Globalisasi dan multikulturalisme tidak membawa hegemoni kolonialisme baru yang membunuh potensi kebudayaan lokal, tetapi sebaliknya mau berdialog dan mampu memberikan ruang kebudayaan untuk tumbuhnya local genius (kecerdasan lokal) dan local wisdom (kearifan lokal) yang menjadi pilar penting bagi kelangsungan peradaban semesta.
Pasca relasi Islam dan Barat, Muhammadiyah juga penting menghadapi perkembangan baru pergeseran geo-politik, geo-ekonomi, dan geo-budaya ke Asia Timur dan Asia Tenggara. Di sinilah pentingnya warga, kader, dan pimpinan Muhammadiyah memahami perkembanhan Islam di tengah pentas pergumulan kebudayaan dan peradaban dunia yang diwarnai dinamika baru itu dengan tetap tegak di atas prinsip dan kepribadian Islam.
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 6 Tahun 2015