Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Saya FR dari kota B. Saya ingin minta pendapat yang rajih mengenai permasalahan saya. Ketika terjadi percekcokan dengan istri, saya telah menjatuhkan talak kepada istri saya, kemudian saya meninggalkan rumah. Namun kurang dari dua hari saya mengajak istri saya untuk rujuk dan kami berhubungan suami istri. Istri saya menanyakan kepada saya apakah talak itu sudah jatuh. Dan dia juga bertanya kepada dosen agama Islam yang menyatakan kalau talak sudah jatuh. Saya juga bertanya kepada ustadz yang ada di organisasi Muhammadiyah dan beliau menganggap talak saya jatuh. Tapi saya membaca tanya jawab agama HPT Muhammadiyah jilid 7 menyatakan talak tidak jatuh dikarenakan tidak di Pengadilan Agama. Saya bingung manakah dalil yang bisa saya gunakan dan bisa saya sampaikan kepada istri saya kalau talak itu tidak jatuh. Mohon penjelasan dan argumennya, baik yang menyatakan jatuh maupun menurut HPT yang menyatakan tidak jatuh. Hal ini karena saya sebagai warga Muhammadiyah, harus ada dalil yang kuat dalam mengambil sebuah keputusan.
Sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terima kasih atas jawaban dan argumen-argumennya.
(disidangkan pada Jum‘at, 21 Rajab 1437 H / 29 April 2016 M)
Jawaban :
Wa ‘alaikumus-salam wa rahmatullahi wa barakatuh.
Terima kasih atas pertanyaan yang saudara ajukan. Pada dasarnya ditetapkannya syariah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan. Sebagaimana firman Allah swt.:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ [الأنبيآء (21): ١٠٧].
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” [QS al-Anbiya’ (21): 107]
Tujuan pernikahan adalah untuk menciptakan keluarga yang sakinah. Namun, apabila antara suami dan istri terjadi perselisihan yang tidak memungkinkan untuk berdamai kembali antara keduanya, maka dapat dipastikan tujuan disyariatkannya pernikahan itu sendiri tidak akan terwujud. Jika tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh, maka jalan terakhir yang ditawarkan syariat Islam adalah talak. Namun demikian, pelaksanaan talak harus disertai dengan alasan-alasan yang kuat. Artinya, perceraian jangan dianggap enteng, gampang atau bahkan dimudah-mudahkan. Wujud dari tidak menganggap gampang atau enteng itu adalah bahwa talak hanya dapat dilakukan bila telah terpenuhi alasan-alasan hukum yang cukup kuat untuk melakukannya.
Salah satu alasan talak yang tidak dibenarkan adalah talak yang dilakukan dalam keadaan emosi atau marah. Hal ini karena pada saat marah, bisa jadi seseorang tidak menyadari apa yang diucapkannya termasuk ketika suami menjatuhkan talak pada istrinya. Padahal mungkin suami tidak berniat untuk itu, hanya saja terpancing emosi sesaat sehingga tidak dapat berpikir secara jernih. Hadis Nabi saw. terkait hal ini adalah:
عَنْ عَائِشَةَ تَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَا طَلاَقَ وَلَا عِتَاقَ فِي إِغْلاقٍ [رواه ابوداوود].
“Dari Aisyah [diriwayatkan] ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: tidak ada talak dan pembebasan budak di dalam keadaan marah” [HR Abu Dawud no. 1874].
Keadaan seperti ini dipandang dari sudut pemeliharaan kepentingan keluarga, kepastian hukum dan ketertiban masyarakat, tidak dapat mewujudkan maslahat bahkan berpotensi menimbulkan kerugian terutama bagi kaum perempuan (istri).
Selain itu talak harus dilakukan di hadapan pengadilan, agar dapat menjamin kepastian hukum dalam masyarakat, apakah satu pasangan telah berpisah atau masih dalam ikatan perkawinan. Oleh karena itu, demi terwujudnya kemaslahatan maka perceraian harus diproses melalui Pengadilan. Jadi di sini memang ada perubahan hukum dari fikih klasik, yaitu dari kebolehan suami menjatuhkan talak kapan dan di manapun menjadi keharusan menjatuhkannya di depan sidang Pengadilan. Perubahan hukum semacam ini adalah sah, sesuai dengan kaidah fikih:
لاَ يُنكَرُ تَغَيُرُ الأَحكَامِ بِتَغَيُّرِ الأَزمَانِ.
“Tidak diingkari bahwa terjadinya perubahan hukum karena terjadinya perubahan zaman”.
Ibnu al-Qayyim menyatakan:
تَغَيُّرُ اْلفَتْوَى وَاخْتِلاَفُهَا بِحَسْبِ تَغَيُّرِ اْلأَزْمِنَةِ وَاْلأَمْكِنَةِ وَاْلأَحْوَالِ وَالنِّيَّاتِ وَاْلعَوَائِدِ [إعلام الموقعين، 2: 3].
“Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat” [I’lam al-Muwaqqi’in, Juz III, hlm. 2].
Oleh karena itu ijtihad hukum Islam modern, antara lain seperti tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (pasal 115), mewajibkan prosedur perceraian itu melalui pengadilan; dan perceraian itu terjadi dihitung sejak saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan (KHI, pasal 123). Seandainya alasan dibenarkan oleh pengadilan, maka jatuhlah talaknya, namun jika alasan tidak dibenarkan, talak tidak jatuh.
Menurut pasal 39 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan Pasal 65 UU No. 9/1989 tentang Peradilan Agama, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Perceraian dapat terjadi karena permohonan suami kepada Pengadilan untuk menyaksikan ikrar talak yang disebut cerai talak atau karena gugatan istri yang disebut cerai gugat. Untuk melakukan perceraian harus ada alasan yang cukup.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk mewujudkan kemaslahatan talak harus dilakukan di depan sidang pengadilan. Oleh karena itu, talak yang saudara jatuhkan di rumah dan dalam keadaan marah tersebut tidak sah, sehingga belum terjadi perceraian antara saudara dan istri saudara atau dengan kata lain masih berada dalam ikatan perkawinan yang sah.
Wallahu a’lam bish-shawab
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 5 tahun 2017