وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيْضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ ۚ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ ٢٢٢ نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنّىٰ شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوا لِأَنفُسِكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُم مُّلَاقُوهُ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِيْنَ ٢٢٣
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah bahwa haid itu adalah kotoran/gangguan. Karena itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita yang sedang haid dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri (222) Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman”. (223)
Ayat ini memberi penegasan bahwa wajib bagi para suami untuk tidak melakukan hubungan seksual dengan istrinya yang sedang dalam keadaan haid, sebab hal itu menyebabkan bahaya dan penyakit. Ketentuan syariat ini diperkuat oleh penemuan para dokter yang menyatakan bahwa melakukan hubungan seksual dengan wanita yang sedang haid akan menimbulkan bahaya sebagai berikut:
- Menimbulkan rasa sakit pada vagina, terkadang bisa menimbulkan infeksi rahim yang mengakibatkan kerusakan pada sel-sel telur, sehingga wanita bisa mengalami kemandulan.
- Darah haid yang masuk ke penis dapat menimbulkan infeksi yang kadang-kadang bisa menyebabkan kencing nanah, kadang-kadang bisa menyebabkan penyakit syphilis yang ditularkan oleh wanita yang digaulinya.
- Hubungan seks pada masa haid ini bisa juga menyebabkan kedua-duanya, pria dan wanita mandul (Wahbah az-Zuhaylī, al-Tafsīr al-Munīr, hl 670.)
Setelah firman Allah yang berbunyi فَاعْتَزِلُوا النِّسَآءَ فِي الْمَحِيْضِ yang memerintahkan suami untuk menjauhi istrinya yang sedang haid, ayat ini dilanjutkan dengan firman-Nya وَلاَ تَقْرَبُوْهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ yang berarti “Jangan kamu mendekati mereka sebelum mereka suci”. Lanjutan ayat ini selain mempertegas hukum haramnya juga menunjukkan batas waktu keharaman itu. Ayat ini menjelaskan bahwa keharaman itu berlangsung selama istri dalam keadaan haid, yaitu dari mulai haidnya datang sampai haid itu berakhir.
Dalam memahami makna حَتَّى يَطْهُرْنَ, sebagai batas akhir larangan, para ulama tidak sepakat. Setidaknya terdapat tiga pendapat tentang hal itu, yaitu:
- Abu Hanifah berpendapat bahwa istri itu telah halal bagi suaminya apabila haidnya telah berhenti walaupun belum mandi, apabila berhentinya haid itu pada waktu terpanjang dari kebiasaan haidnya. Tetapi kalau haid itu berhenti pada waktu terpendek dari kebiasaannya, maka ditunggu dulu sampai lewat satu waktu shalat.
- Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak halal bercampur sampai haidnya berhenti dan mandi janabah.
- Thawus dan Mujahid berpendapat bahwa telah halal bercampur apabila haidnya telah berhenti dan ia berwudu seperti wudu untuk shalat (Wahbah az-Zuhaylī, al-Tafsīr al-Munīr, hlm. 672.)
Larangan mencampuri istri hanyalah selama masa haidnya. Apabila masa itu telah berlalu, haidnya sudah berhenti, atau ia sudah bersuci dengan mandi dari hadas besar, sesuai dengan perbedaan pendapat di atas, maka suami boleh kembali mencampuri atau melakukan hubungan seks dengan istrinya pada tempat yang menjadi kecenderungan jiwa, yaitu pada tempat dimana secara sunnatullah hubungan itu akan dapat berbuah dan menjaga kelestarian umat manusia. Hal tersebut ditunjukkan dengan firman Allah, “Maka apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu”. Ini berarti bahwa larangan itu hanya bersifat sementara, karena Allah sebagai penetap hukum memahami bahwa keinginan biologis manusia menurut fitrahnya sulit untuk dibendung dan tidak bisa dikekang dalam waktu yang lama.
Ketentuan ayat di atas mengandung suatu pengertian bahwa syariat Islam menganjurkan umatnya untuk menikah dan melarang selibat (tidak menikah seumur hidup). Seorang muslim tidak dibolehkan sengaja meninggalkan pernikahan karena ingin beribadah atau mendekatkan diri kepada Allah, karena Allah telah mendorong hamba-Nya untuk menikah melalui firman-Nya:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوْآ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
“Di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya di antara kamu rasa kasih sayang”. (Q.S. al-Rūm [30]: 21).
Selain itu Allah menyuruh kita agar selalu berdoa kepada-Nya memohon kebahagiaan berumah tangga dengan mendapatkan istri yang saleh dan anak-anak yang berbakti, sebagaimana diajarkan dalam firman-Nya dalam Q.S. al-Furqān [25]: 74 yang berbunyi:
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ إِمَامًا.
“Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. Dan berdoa untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia, sebagaimana dalam firman-Nya pada Q.S. al-Baqarah [2]: 201:
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
“Wahai Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebahagiaan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka”.
Menurut ajaran Islam, pernikahan dan mencampuri istri untuk mendapatkan keturunan adalah salah satu bentuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Oleh karena itu, meninggalkan atau tidak mau menikah tanpa ada halangan, dalam kondisi mampu melakukannya, adalah bertentangan dengan fitrah manusia, sunnatullah dan ketentuan syariat-Nya, karena Rasulullah saw telah bersabda,
وفي بضع أحدكم صدقة قالوا : يا رسول الله أيأتي أحدنا شهوته ويكون له فيها أجر قال : أرأيتم لو وضعها في حرام أكان عليه وزر
Pada kemaluan kamu ada sedekah. Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, salah seorang di antara kita menyalurkan syahwatnya, apakah ia mendapatkan pahala? Rasulullah saw menjawab, “Bagaimana pendapat kalian, jika ia meletakkannya pada yang haram, apakah ia akan berdosa?”. (Wahbah az-Zuhaylī, al-Tafsīr al-Munīr, hlm. 675. Bandingkan dengan Muhammad Rasyīd Ridhā, Tafsīr al-Manār, hlm. 361.) Bersambung
Tafsir Tahlily ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan naskah awal disusun oleh Dr Isnawati Rais, MA
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 24 Tahun 2017