dr H Agus Taufiqurrahman, MKes
Masa lalu, HW bisa membangun spirit yang luar biasa. Energi spirit itu, harusnya diterjemahkan untuk era sekarang ini. Bagaimana dengan model era sekarang ini dapat melahirkan kader-kader dengan kualitas HW.
Negeri ini tegak juga karena pengorbanan para HW. Salah satunya, Jenderal Sudirman yang menjadi panglima tentara yang pertama. Maka jelaslah HW ikut merintis bangsa ini. Karenanya HW harus juga bertanggungjawab dan ikut serta mengelola bangsa ini. Harapannya nanti dari HW mampu memunculkan jenderal-jenderal baru di TNI dan Polri.
Di sekolah-sekolah Muhammadiyah sering kami sampaikan, “Ibu jangan cuma murid disuruh jadi dokter insinyur. Mereka yang fisiknya bagus dibisiki agar nanti bisa masuk ke TNI dengan benar dan kemudian menjadi kader bangsa sebagai anak panah Muhammadiyah disitu.” Kalau itu tidak ditanamkan ya selamanya kita tidak punya jenderal lagi.
Kalau profesornya, Muhammadiyah cukup banyak. Tetapi yang menata bangsa ini tidak semuanya profesor. Insinyur nya banyak tetapi tidak cukup semua level butuh itu. Nah, oleh karena itu, kita berharap tradisi melahirkan jenderal berlanjut terus.
Lebih kaget lagi yang menyiapkan pelantikan Kwarnas HW ternyata anak-anak HW yang bukan dari kampus Muhammadiyah, justru HW dari UIN. HW dari UIN saya yakin tingkat militansinya nanti jadi lebih jelas lagi, karena di kompleks yang dikuasai orang lain saja bisa hidup. Saya yakin kemudian kader-kader yang dari UIN ini akan tangguh dan kemudian juga bisa bertarung di luar. Sudah saatnya memang begitu.
Namun demikian Sekolah Muhammadiyah terus tetap kita kawal, HW nya dengan pendekatan organisatoris kita jaga. Tetapi juga kader-kader kita yang diluar sekolah Muhammadiyah harus difasilitasi untuk mengenal spirit HW.
Nah, problemnya hanya satu, kalau kemudian kita ini kehilangan semangat apalagi kemudian di dalamnya ada kehilangan spirit kekompakan. Dan ini yang harus tetap dijaga. Tidak boleh ada HW perjuangan. Semuanya berjuang bersama bukan karena sempalannya.
Kita harus menghadirkan mercusuar di kota-kota dimana Indonesia dikenal, Muhammadiyah harus tampil disitu. Bali, ini sebagai salah satu pintu Indonesia, sekarang kita sedang persiapkan bagaimana Muhammadiyah ada bangunan monumental di sana. Kita berharap nanti sekolah Muhammadiyah unggulan disana juga punya HW uggulan di Bali, termasuk di Jakarta. Kalau besok kita diminta untuk ke Sorong, pokoknya kita berharap di daerah perbatasan ada Muhammadiyah, di pusatpusat kota dimana orang mengenal Muhammadiyah, mengenal Indonesia, Muhammadiyah juga ada disitu.
Kita ingin tunjukkan, seperti kata Nakamura, ketika orang belajar tentang Muhammadiyah tiba-tiba dia sudah mengenal Indonesia. Karena ketika belajar Muhammadiyah ternyata Muhammadiyah itu keberadaannya di seluruh Indonesia. Apalagi dengan Aisyiyah yang kemampuannya penetrasi ke pelosok-pelosok itu luar biasa.
HW adalah ortom yang unik. Aisyiyah itu ortom dengan segmentasi gerakan perempuan dan ibu-ibu, Nasyiyah adalah gerakan perempuan dengan segmentasi ibu muda dan remaja, Pemuda Muhammadiyah segmentasinya adalah anak muda laki-laki, sementara IPM dengan segmentasi pelajar, IMM segmentasi mahasiswa, sementara HW ini boleh dibilang radius segmennya itu sangat luas, laki-laki perempuan bisa masuk, pelajar dan alumni bisa masuk. Sehingga harusnya ini menjadi ortom yang memiliki kekuatan megapower.
HW bisa masuk SD, bisa masuk UNISA, bisa masuk UMY, bisa masuk masjid. Dulu yang bisa masuk masjid cuma IMM, IPM sama, Pemuda Muhammadiyah. Sekarang dengan HW kita bisa masuk ke situ. HW hanya boleh meninggalkan buah bibir kebajikan sehingga akan dikenang sebagai periode kebangkitan HW yang kita cintai. (Bela)
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 20 Tahun 2016